Bab 6

101 13 0
                                    

"Dia pingsan lagi?" tanya Cantika.

Lead mengangguk, "dengan kejadian yang hampir sama. Hanya saja, dia masih sempat sadarkan diri awalnya. Wajahnya... tetap sama. Pucat, seperti mayat hidup. Nafasnya saat itu sesak. Untungnya dia masih hidup. Nggak bisa aku bayangin kalau dia mati di depanku. Itu akan jadi trauma besar dalam hidupku," Lead tertawa pelan.

Cantika tersenyum. Ia selalu tahu bahwa Lead memang anak yang baik. Anugerah terindah yang pernah dia miliki dalam hidup ini adalah Lead dan Jemmy.

"Tante sudah hubungi orang tuanya, tapi mereka nggak bisa dateng. Katanya, mereka udah berangkat ke luar kota dari tadi pagi. Jadi, kita tunggu dia sadar aja dulu. Setelah sadar, kita antar dia pulang," ucap Cantika.

Lead mengangguk.

Matanya kembali mengamati gadis itu. Kulitnya yang pucat adalah penampakan yang paling mendominasi. Melihat sekilas, mungkin orang akan mengira bahwa ia sudah mati, tapi ia masih hidup, ia hanya tak sadarkan diri. Sedetik kemudian, kelopak matanya mengerjap lemah.

"Dia sadar!" seru Lead.

"Puji Tuhan!" Cantika berucap lega.

"Aku dimana?" Anggy berbisik lirih.

"Kamu ada di UKS. Tenang aja," Lead menenangkannya.

Anggy bisa menangkap dua sosok di hadapannya sekarang, guru Bimbingan Konselingnya yang menjadi pembina OSIS dan gadis kuncir kuda yang baik hati.

"Sebentar, Queen. Tante ambilkan minum dulu buat dia," ucap Cantika. Ia menepuk pundak Lead sebelum akhirnya pergi.

"Kamu yang kemarin 'kan?" tanya Anggy. Ini pertama kalinya Lead mendengar gadis penari ini berbicara dengan kesadaran yang utuh. Suaranya ternyata memang lembut dan lirih, lebih lirih daripada suara Suci.

"Iya. Dua kali 'kan?" senyum Lead.

"Makasih untuk yang kedua kalinya..."

"Sama-sama," Lead memotong. Ia memegang tangan gadis itu. Dingin seperti es. "Kenapa kamu bisa pingsan, sampai dua kali pula?" tanya Lead lagi.

"Enggg... Nggak papa. Aku cuma kecapekan aja, kok," jawab Anggy.

Lead ber-oh singkat, meski ia sendiri tidak percaya akan jawaban Anggy. Biar bagaimanapun, akan tetap terlihat jelas perbedaan orang yang jujur dengan yang sedang berbohong. Dan semua tahu itu.

"Kamu minum dulu, ya," ucap Cantika yang kembali dengan segelas teh hangat di tangannya.

Anggy berusaha duduk.

"Aaargh..." Dahinya mengernyit, menahan sakit tak tertandingi di sekujur tubuhnya.

"Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Lead.

Anggy hanya menggeleng, terus berusaha duduk, tapi ia terlalu sakit untuk bisa bergerak. Lead membantunya duduk. Tangannya menerima gelas dari Cantika.

"Makasih, Bu," ucapnya sebelum menyeruput teh hangat itu.

Rasa hangat teh mengalir, lebih menenangkan dibanding rasa manisnya yang hanya dirasakan di lidah. Rasa hangat itu menyebar dengan amat cepat, seolah meredakan dingin yang membuat tulang-tulangnya bergemeletuk.

"Setelah ini, kamu pulangnya sama Ibu dan Queen aja. Orang tua kamu lagi ke luar kota 'kan?" ucap Cantika.

"Memangnya nggak papa, Bu?"

"Nggak papa. Oh, ya! Kamu udah kenal 'kan sama Queen, eee... Maksudnya Lead."

"Udah, Bu."

"Kalau gitu, kalian ngobrol dulu, ya. Ibu tinggal sebentar. Queen, kamu tunggu di sini. Tante keluar dulu, mau ngecek om kamu, udah sampai apa belum," ucap Cantika sebelum akhirnya berlalu pergi.

OSIS? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang