Aku berlari sepanjang koridor rumah sakit, menyusul ranjang putih yang didorong oleh sejumlah suster. Sosok di atas sana terbaring lemas. Kuharap ia hanya mengalami shock ringan usai melihat semua hal di tengah hutan tadi.
"Maaf, adik-adik." Salah satu suster menghentikan langkah kami di depan sebuah ruanganan. "Silakan kalian menunggu di luar sementara kami menangani pasien."
"Tapi, Sus --"
"Tolong lakukan yang terbaik, Sus." Eben menginterupsi kalimatku.
"Pasti. Kami akan melakukan yang terbaik," suster muda itu menyahut sebelum akhirnya menutup pintu ruangan tersebut.
"Kita harus percayakan semuanya kepada para medis. Masuk ke dalam sana justru akan mengganggu tim medis yang sedang bekerja," Eben berucap seolah mengerti maksud wajah tak terimaku. Aku tak melawan ucapannya, sebaliknya justru duduk di bangku tunggu. Eben, Yasfa, dan Anida ikut duduk di sisiku, sementara Dinu sibuk menelepon orang tua Putri.
Malam itu aku tiba-tiba merasa gelisah. Iseng, aku mengecek GPS yang sengaja kupasang pada telepon genggam Anggy, Suci, dan Putri. Anggy dan Suci berada di rumah mereka, tapi Putri justru berada di tempat lain. Aku bisa melihatnya melalui monitorku. Titik merah itu terus bergerak menjauh menuju hutan di tepi kota. Cemas, aku lekas-lekas menghubungi Eben. Ia memberikan respon yang berbeda kali ini, lekas-lekas menjemputku bersama Dinu, Yasfa, dan Anida, lantas diam-diam kami pergi melapor ke kantor polisi.
"Orang tua Putri lagi ada di luar kota. Mereka sedang dalam perjalanan pulang, mungkin besok pagi baru sampai," ucap Dinu. Aku tak menjawab, masih shock mengingat darah yang tiba-tiba muncrat dari kaki kelima orang itu.
"Jangan takut. Mereka akan mendapat balasan setimpal dengan perbuatan mereka. Pihak kepolisian sudah menemukan bukti yang menguatkan bahwa mereka adalah pengedar serta pemakai narkoba. Kasus pembunuhan Arvin juga mereka yang lakukan. Mereka akan dikenai pasal berlapis untuk setiap kejahatan mereka," ucap Eben tiba-tiba.
"Bukan itu. Gimana kalau Putri dan anaknya sampai kenapa-kenapa? Aku takut."
Eben mengelus puncak kepalaku. "Semua akan baik-baik saja. Menurut dugaanku, Putri hanya mengalami shock ringan. Kita doakan saja semoga Putri cepat membaik."
***
Aku mengerjapkan mataku pelan, mendapati diriku yang berada di ruangan serba putih. Aku memegangi kepalaku yang terasa berat.
"Aku di mana?" Mulutku tanpa sadar bergumam.
"Kamu ada di rumah sakit, Put." Suara itu terdengar lembut, akrab di telingaku. Kak Lead. Kepalaku terasa berat, tapi aku mengingat segalanya sekarang.
Pistol yang menodong kepalaku, gelap. Aku menutup mataku, gelap. Ketakutan itu meliput sekitar, gelap. Hingga suara letupan pistol itu terdengar memecah. Aku memberanikan diri membuka mata, mereka berlima tumbang di depan mataku. Mataku berkunang-kunang dan semua jadi benar-benar gelap.
Dadaku mulai terasa sesak, seolah ada sesuatu yang kutahan. Tapi, apa? Aku ingin melepasnya, melepasnya begitu saja. Tanpa kusadari, air mataku tiba-tiba jatuh, aku terisak sendiri di bawah tatapan tak mengerti kelima kakak kelasku.
Aku kembali gila, mungkin itu anggapan mereka. Entahlah. Sepertinya aku memang gila karena bayangan kejadian semalam tak mau berhenti berputar di kepalaku.
***
Perlu waktu dua minggu untuk Putri bisa sembuh total. Bukan dari sakit fisiknya karena sesuai dengan perkiraan Eben, ia hanya menderita shock ringan, janinnya yang kuat juga baik-baik saja. Tapi, tidak dengan psikisnya. Kurasa penculikan itu lebih menekannya daripada kehamilan di luar nikah yang dialaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS? [Completed]
Подростковая литература"Waktu kecil, aku sering melihat beberapa ikan sardin berekor panjang, berwarna keemasan, berenang di angkasa malam, lalu secara tiba-tiba satu per satu mereka melesat jatuh dengan cahaya menyembur dari mulut mereka" *** Ini hanya sebuah kisah, tent...