Joice mengerjapkan matanya pelan. Tepat ketika kedua mata itu membuka, ia mendapati wajah pria yang paling dicintainya, berbaring menghadapnya.
"Selamat pagi, sayang," ucap Arvin.
"Pagi," senyum Joice merekah. Arvin memegang kepala Joice, lantas mencium bibir gadis itu.
Joice menerima ciuman itu. Lega karena tak ada satu hal pun yang terjadi pada mereka. Pagi ini, mereka masih bisa bangun, melihat mentari, dan mendapati satu sama lain masih bersama.
"Ayo bangun! Kita harus cepat pulang. Keluarga kamu pasti cemas nungguin kamu," ucap
Bangkit, keduanya lantas mengenakan pakaian mereka, bergegas meninggalkan ruangan hotel mewah itu, melewati lorong hotel. Ini benar-benar masih pagi. Penghuni kamar lain bisa jadi masih tidur. Tepat beberapa langkah jaraknya dari lobi,
TAP! TAP!
Dua tangan tiba-tiba muncul, kuat membekap keduanya dengan sapu tangan. Arvin dan Joice meronta, berusaha melepaskan diri. Tapi, sial! Dua orang itu terlalu kuat.
"Ssshhh... Tenang dan diamlah, tuan pangeran dan putri. Tenang dan tidurlah lagi. Kalian akan menemui pangeran yang lain sebentar lagi," ucap seorang di antara mereka, lantas keduanya tertawa licik tanpa sedikit pun melonggarkan bekapan mereka.
Arvin memberontak. Satu hal untuk kata-kata pria itu, satu hal lagi karena ia mengenali suara itu. Ingin rasanya ia menggerakkan tangannya, menghantam wajah si bangsat itu dengan satu bogeman mentah, tapi dia sungguh tak berdaya. Bukan karena tenaga dua pria bangsat itu, tapi karena sapu tangan yang mereka pakai untuk membekap mulutnya dan Joice.
Ya! Tidak salah lagi! Sapu tangan itu pasti sudah dituangi dengan obat bius.
Arvin melirik Joice. Gadis lemah itu sudah jatuh pingsan, tapi si bajingan itu tak mau melepaskan bekapannya. Arvin meronta. Sial! Apa yang bajingan itu lakukan?! Ia tahu sendiri bahwa gadis itu memiliki penyakit asma. Apa setakut itu ia kalau-kalau Joice dan Arvin kabur? Apa mereka pikir keduanya sebodoh itu? Dengan obat bius dan kondisi tak sampai separuh sadar, mana mungkin mereka bisa kabur?
Tapi, percuma, pelan-pelan, Arvin juga kehilangan kesadarannya. Suara tawa licik kedua orang itu perlahan hilang bersama kaburnya penglihatan dan ia jatuh tertidur.
***
Nada panggil berdengung untuk kesekian kalinya.
"Come on, angkatlah, Jo!" Lead menggumam, menggigit bibir bawahnya, separuh cemas dan separuh khawatir.
Semalam, tepat pukul dua belas malam, orang tua Joice tiba-tiba menelepon Lead. Entah bagaimana caranya wanita itu bisa mendapat kontak Lead. Mungkin dari Joice sendiri atau dari suaminya yang adalah dokter. Lead memang menyimpan kontak ibu Joice, iseng, memintanya dari Joice sendiri dengan alasan apalah.
Lead masih ingat, itu rasanya seperti mimpi, seolah tidak nyata. Dengan terpatah-patah, Lead mengangkat telepon itu, menguap, bertanya. Suara khawatir wanita di ujung sana membuat mata mengantuk Lead membulat. Wanita itu menanyakan, apakah Lead mengetahui keberadaan putrinya juga kekasih putrinya yang tak kunjung pulang usai pesta dansa di gedung sekolah.
Lead diam-diam mengutuk mendengar telepon itu. Dasar Joice sialan! Kenapa bocah itu begitu keras kepala? Bukankah Lead sudah memperingatkannya? Dan, Arvin! Astaga! Betapa bodohnya pria itu!
Lead terjaga sejak pukul 12 malam. Ia berusaha menghubungi Joice terus-menerus (Ia ingin menghubungi Arvin, tapi dia sendiri tidak punya kontak pria itu), tapi gadis itu tak kunjung mengangkat teleponnya.
Pukul lima dini hari, pintu rumah Lead diketuk, dan -- seperti yang sudah kalian tebak, tepat di depan sana menanti dua pasang suami-istri, wajah mereka cemas, menunggu seseorang membukakan pintu. Audrey -- dengan masih berpiyama -- membukakan pintu untuk keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS? [Completed]
Teen Fiction"Waktu kecil, aku sering melihat beberapa ikan sardin berekor panjang, berwarna keemasan, berenang di angkasa malam, lalu secara tiba-tiba satu per satu mereka melesat jatuh dengan cahaya menyembur dari mulut mereka" *** Ini hanya sebuah kisah, tent...