Bab 32

39 7 0
                                    

Aku mengetuk-ngetuk meja kayu di hadapanku dengan jari, terus menunggu dengan jenuh dan penasaran yang menyatu terlalu banyak di dada. Aku bahkan tidak menyentuh roti panggang dengan lelehan mozzarella dan segelas cappuccino di hadapanku.

Aku mengembuskan nafas lantas menunduk dalam pelan, mengingat kembali semua yang sudah terjadi, semua yang kualami dengan begitu cepatnya. Setelah peristiwa di padang ilalang hari itu, kedua teman yang sejak semalam terus kucari, keduanya dilarikan ke rumah sakit. Dengan cepat, yang satu dinyatakan meninggal dan yang lain dirawat di ICU lengkap dengan selang transfusi darah.

Gadis itu sadar beberapa hari setelah pemakaman kekasihnya, tapi ia menolak untuk bicara dan bertemu dengan siapapun. Aku tahu hal itu dari ibunya, yang terus mengeluh setiap kali aku berbaik hati mampir membawakan buah tangan, sekaligus mencoba berbicara, tapi ia terus menolak.

"Hai," sapaan datar itu membuatku mengangkat kepala, demi melihat gadis berbehel dengan senyum kaku di wajahnya.

Aku menelan ludah. Hari ini, tepat sebulan setelah tragedi padang ilalang itu, gadis itu akhirnya mau ditemui oleh seseorang, yaitu aku sendiri.

  "Hai," aku berusaha menjawab selepas mungkin, "I'm so sorry for the tragedy, I wish I could help you and Ar--"

"Nope. It's okay, Lead," Joice menginterupsi kalimatku. Ekspresi wajahnya seolah sengaja agar aku tak menyebut nama pria itu, "semuanya sudah terlanjur terjadi. Apa yang berlalu, biarkan berlalu. Satu-satunya yang bisa dan harus kamu lakukan sekarang adalah menemukan pembunuh itu. Anggap saja ini permintaan terakhir kekasihku sebelum dia pergi. Bagaimana?"

Aku meneguk ludah mendengarnya.

"Kuharap jawabanmu iya, Lead, dan, kuharap kamu punya teman yang bisa membantumu. Karena kali ini, aku tidak akan turut bergabung. Aku dan Gabriel-ku, kami sama-sama tahu siapa dia," ucap Joice.

"Tunggu! Kamu tahu siapa pelakunya, tapi kamu nggak mau bicara? Kenapa?"

Joice tersenyum ganjil, "karena dia ingin bermain, Lead. Aku dan Gabriel-ku sama-sama tidak suka merusak permainan orang lain. Tapi, aku akan memberimu klu. Tidak adil 'kan kalau kamu bermain tanpa klu?" Ia mengangkat alis menatapku.

"Apa klunya?" tanyaku lagi.

"Klunya adalah apakah bintang yang jatuh bisa bangkit dan kembali ke angkasa lagi?" ucap Joice.

"Itu bukan klu, itu pertanyaan," sahutku mulai kesal. Gadis aneh ini mungkin mulai gila karena kematian kekasihnya, tapi masalahnya adalah kegilaannya itu mulai membuang waktu Lead.

Joice justru tertawa datar, "pertanyaan itu adalah klunya, Lead," ucapnya sebelum menghentikan tawanya, "Gabriel-ku bilang bahwa aku harus bertemu dengan sang Mikael sebelum pergi, tapi apakah Mikael masih bisa menghentikan Lucifer sekarang?" Ia kembali bertanya lantas diam, menatap mataku dalam, membuat nafasku seolah berhenti oleh tatapannya. Tanpa berucap apapun ia kemudian pergi, meninggalkanku  yang masih terpaku dan bahkan belum sempat basa-basi menanyakan ke mana ia akan pergi.

***

"Jadi, apa hasil pertemuan lu sama Joice?" tanya Anida.

"That's gonna be our last meet. We'll never see her again," Aku mengembus nafas berat.

"Itu bukan poin dari pertanyaan gue, Lead," Anida menginterupsi hembusan nafasku, "yang gue tanya itu hasilnya. Supaya kita bisa mecahin semua masalah ini," tegasnya lagi.

"Oh iya. Maaf, temen-temen. Aku agak sedikit nggak fokus," ucapku.

"Are you okay?" Eben memegang pundakku, bertanya.

OSIS? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang