Ternyata benar apa yang dibilang Langit saat jam istirahat tadi. Laki-laki itu serius dengan ucapannya. Ia menunggu Bintang keluar kelas tepat di depan pintu masuk ruang kelas gadis itu. Bel pulang berbunyi beberapa menit yang lalu, dan murid yang satu kelas dengan Bintang sudah mulai keluar kelas.
Sesekali Langit membalas sapaan orang yang kenal dengannya. Masih dengan menyender di tembok samping pintu masuk sambil memasukkan tangannya di saku hoddienya. Tak lama kemudian, Bintang muncul. Saat menoleh, agak terkejut melihat keberadaannya.
"Ayo, Bin, pulang!" ajak Langit semangat.
Bintang hanya bergumam. Ia pikir kalau Langit hanya bercanda dengan ucapannya, tetapi ia salah. Lelaki itu justru menunggunya dan mengajaknya pulang. Oke, satu hari saja, lalu setelah itu jangan ada hari yang kedua, ketiga, atau seterusnya.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju parkiran sekolah yang sudah pasti masih ramai. Bintang nampak biasa saja berjalan dengan Langit. Bahkan seolah tidak menganggap kalau ia sedang berjalan di sampingnya.
"Jangan diem aja dong, Bin, ngomong gitu atau apa," ucap Langit merasa tidak kuat dengan keheningan yang tercipta.
Bintang menoleh sekilas lalu menatap ke depan kembali. "Lo aja," sahutnya.
Langit tersenyum cerah. Ia senang disuruh berbicara oleh Bintang. "Gue mau ngajak lo ke danau, mumpung masih siang juga. Mau ya, Bin? Nanti gue anterin lo pulang juga sampe rumah gak sore."
"Jangan aneh-aneh, Langit."
Langit menggeleng keras. Lelaki yang memiliki tubuh tinggi tegap itu tidak setuju dengan ucapan Bintang barusan. "Enggak aneh tau, Bintang. Pokoknya lo harus mau diajak ke sana."
"Itu aneh, Langit. Lo cuma bilang kalo gue harus pulang sama lo, bukan bilang kalo gue harus ikut lo ke danau."
Mereka berjalan berbelok ke arah kanan setelah menuruni anak tangga. Menyusuri koridor yang menuju jalan tempat parkir berada. Tinggal beberapa murid saja yang masih setia duduk di kursi panjang depan koridor kelas.
"Iya, gue tau. Tapi kan lo pulang sama gue, dan gue mau ke danau. Itu tandanya, lo juga harus ikut gue ke danau."
Bintang mulai kesal dibuatnya. "Gue pulang sendiri," katanya. Kemudian berjalan mendahului Langit yang terkejut.
"Eh, eh, Bintang!"
Langit berjalan lebih cepat. Untung saja kakinya itu panjang, jadi ia bisa berjalan menyusul Bintang. Dan, untung saja Bintang lebih pendek darinya, jadi gadis itu kalah cepat jalannya.
"Bintang!"
"Bintang ... sekali ini aja ikut gue. Gue seret nih kalo gak mau ikut!" ancam Langit.
Bintang memelankan langkah kakinya. Langit mensejajarkan tubuh di sampingnya. "Terserah lo aja, Lang, gue nyerah ngadepin orang macem lo." Dalam hati ia sudah sangat dongkol pada lelaki itu
Langit tertawa mendengar kata pasrahan dari mulut Bintang. Ia kemudian menyuruh gadis itu untuk menunggu di gerbang sekolah, sementara dirinya mengambil motornya di parkiran.
Bintang melangkahkan kakinya ke gerbang sekolah. Sambil menunggu Langit yang sedang mengambil motor, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Melihat semua murid yang berlalu lalang di depannya.
Tak butuh waktu lama, akhirnya Langit muncul dengan motor matic warna hitam dan juga helm yang sudah terpasang di kepalanya. Ia berhenti di depan Bintang dan langsung memberikan helm pada gadis itu.
Bintang menerima dan langsung memakai helm itu, kemudian naik ke atas motor, mencari posisi nyaman juga. Setelah itu Langit mulai melajukan motornya membelah jalan raya bersama Bintang di siang hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
JugendliteraturSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...