"Pulang sekarang atau nanti?"
Langit bertanya pada Bintang yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Pemuda itu menghampiri Bintang yang sudah duduk di sana sejak setengah jam yang lalu. Jam kini menunjukkan pukul tiga sore.
Saat kembali menuju ruang inap Mama Bintang berada, Langit dan Wira tak menemukan Bintang di sana. Kata Papa dan Mamanya, gadis itu pergi ke taman. Langit memutuskan untuk menyusulnya, sedangkan Wira pamit untuk pulang ke rumahnya, dan menitipkan Bintang pada Langit, lagi.
Bintang mengerjapkan matanya pelan. Dilihatnya kini Langit duduk di sampingnya, dan menyandarkan tubuhnya di bangku taman itu.
Bukannya menjawab, Bintang malah balik bertanya. "Lo abis darimana?"
"Dari kantin," jawab Langit.
Bintang membulatkan bibirnya. Kemudian bangkit dari duduknya. "Pulang ayo, Lang!" ajaknya.
Langit bangkit dan mengikuti langkah Bintang yang sudah mendahuluinya itu. Menatap punggung itu dengan berbagai perasaan. Perasaan yang lebih kepada takut mengecewakan gadis itu di kemudian hari.
Mungkin, seharusnya ia tak seperti ini. Menyembunyikan sesuatu yang mungkin bisa saja membuat gadis itu akan membencinya. Yang bisa saja membuat Bintang akan berjarak lagi dengannya.
Karena pada hakikatnya, Langit dekat dengan Bintang karena memang dari hatinya yang paling dalam ingin terus bersama dengan gadis itu. Bukan karena ia mengetahui alasan Bintang berbeda dan merasa iba padanya. Bukan. Sama sekali bukan itu.
Langit hanya takut. Takut kalau Bintang akan salah memahami alasan yang sebenarnya. Alasan yang memang karena dari dalam hatinya, bukan karena kenyataan yang gadis itu alami sekarang.
"Udah pamit belum? Pamit dulu sana," kata Langit. Mensejajarkan langkahnya di samping Bintang.
"Udah pamit," sahut Bintang.
"Ah! Yang bener?" Terdengar nada menggoda di sana. Bintang jadi geli sendiri. Untung ini Langit. Kalau bukan sudah pastikan ia tendang mukanya. Sadis.
"Maaf, karena gue, lo jadi ikut ke sini. Seharusnya gue gak minta lo buat nganterin gue," ucap Bintang yang lain. Ia menolehkan kepalanya ke samping.
Langit tersenyum. "Nggak papa kali, Bin. Bukannya gue bakal selalu ada buat lo, ya? Lo gak usah sungkan buat minta bantuan apapun sama gue. Katanya lo udah percaya sama gue kan?"
Bintang tersenyum tipis. "Makasih. Gue harap, kekecewaan gue cukup sampe sini. Semoga orang yang gue sayang di esok hari gak akan ngecewain gue lagi."
Hati Langit mencelos.
Maaf.
Kemudian Langit berdehem pelan. "Kenapa lo gak mau pulang?" tanyanya.
Bintang mengernyit. "Pulang? Bukannya ini mau pulang ya?"
"Bukan itu, maksudnya kenapa nggak mau pulang ke rumah orang tua lo."
"Gue belum siap."
"Apa yang bikin lo gak siap?"
"Kenyataan yang sebenarnya."
"Terus kapan lo akan siap? Ayolah, Bin! Hidup itu berjalan maju, jangan mau terpaku diem di tempat kayak gini. Kapan lo akan nemuin jawabannya? Tau semua kebenaran yang sebenarnya?"
Bintang berhenti melangkah. Koridor rumah sakit yang ramai ini membuatnya tak nyaman jika harus membicarakan hal itu di sini. "Satu minggu lagi. Gue pasti siap. Dan gue butuh lo saat itu," sahut Bintang mantap.
Langit diam. Tapi, kemudian ia tersenyum.
¤•¤•
Keesokan paginya. Langit berangkat sekolah dengan Bintang. Tepat pukul 6 pagi, ia sudah menunggu gadis itu depan kost-annya. Dan memberi tahu padanya kalau ia sudah ada di depan menunggunya untuk pergi ke sekolah bersama.
Bintang sempat heran kenapa Langit mau berangkat bersama dengannya, tapi ia hanya cuek dan menurut saja. Hitung-hitung irit uang naik kendaraan umum.
Sekarang mereka telah sampai di sekolah. Mungkin, yang mengenal siapa itu Langit dan siapa itu Bintang, akan melihat keduanya dengan tatapan aneh. Sejak kapan mereka dekat? Kurang lebih seperti itulah arti tatapan mereka.
Bintang pagi ini memakai cardigan warna hijau lumutnya. Sangat cocok dipakai gadis itu. Dan Langit memakai hoddie berwarna abu-abunya.
Setelah menaruh motor di parkiran, mereka berjalan menuju kelas. Menyusuri koridor yang cukup ramai. Karena jam sudah menunjukkan hampir pukul 7. Itu tandanya bel akan segera berbunyi.
"Nyokap lo keadaannya gimana?" tanya Langit.
Bintang menoleh sambil terus berjalan. "Gak papa, sih. Cuma banyak pikiran, dan itu karena ... gue." Suara kalimat akhirnya melemah.
"Jangan nyalahin diri lo sendiri," ucap Langit.
Mereka berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua.
"Tapi, itu kenyataannya," sahut Bintang sedikit cuek.
Langit menarik rambut Bintang yang dikuncir kuda itu dengan gemas. "Hih!"
"Argh! Sakit, Badak!" pekik Bintang. Merasakan sensasi pedas di rambutnya.
"Lagian lo tuh ya, doyan banget sih nyalahin diri sendiri? Heran gue sama lo. Sekali-kali tuh ubah coba pikiran lo itu, ganti sama sesuatu yang positif!"
"Terus nih ya, kayak lirik lagu ostnya kartun Kiko nih begini.
Tak perlu ditakuti, tak perlu disesali. Ayo kita hadapi, ayo kita hadapi."
Langit menyanyikan lirik lagu kartun Kiko yang sudah ia hafal di luar kepala karena adiknya itu selalu menonton acara kartun tersebut di setiap weekend.
Kini giliran Bintang yang menarik rambut Langit. "Berisik! Ini di sekolah bukan di ruangan kedap suara, bego!"
Langit melotot sambil menarik tas Bintang ke atas membuat tubuh gadis itu terangkat sedikit. Langit tertawa dan menurunkan kembali. Tapi setelahnya, ia dihujani beberapa pukulan mantap dari Bintang.
•~•
"Pa, Mama takut," ucap seorang wanita paruh baya yang masih terbaring di ranjang Rumah Sakit.
Tiwi--Mama Bintang, dan Putra--Papa Bintang, nama mereka. Di jam makan siang ini, Putra memilih untuk pulang ke kantornya lebih cepat karena istrinya itu tidak ada yang menjaga. Dan khawatir jika terjadi sesuatu pada istrinya.
Cyra, gadis kecilnya juga ikut bersamanya setelah pulang sekolah. Kini gadis itu sedang duduk di sofa sambil mewarani gambar di buku gambarnya. Dan Putra duduk di kursi samping ranjang istrinya.
"Gak ada yang perlu ditakutin, Ma," sahut Putra. Menggenggam tangan Tiwi dan mengelusnya dengan lembut.
"Mama takut, kalo Bintang gak akan mau kembali lagi sama kita. Mama gak mau kehilangan Bintang, Pa. Mama takut."
Putra menghela nafasnya. Ia juga pusing memikirkan semuanya yang telah terjadi. Semua resiko dari apa yang sudah ia putuskan belasan tahun yang lalu. Keputusan yang membuatnya sekarang merasa--sedikit menyesalinya. Atau bahkan memang benar-benar menyesal.
Keputusan karena keegoisan mereka berdua.
Putra tahu, cepat atau lambat, Bintang pasti akan tahu kebenaran yang sebenarnya. Kebenaran yang membuat siapa saja yang mengalaminya akan merasakan sakit hati--termasuk Bintang, anaknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Fiksi RemajaSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...