Langit mencondongkan kepalanya ke dalam pintu kelas Bintang. Kelas itu sepi, hanya ada tiga orang di dalamnya, termasuk Bintang. Gadis itu sedang membaca novel di jam istirahat ini. Langit yang melihat itu langsung berjalan mendekatinya setelah menarik nafasnya dalam-dalam.
"Bintang," panggil Langit. Pemuda itu berdiri di samping tempat duduk Bintang.
Gadis itu mendongak. Melihat siapa yang memanggilnya. Saat mengetahui kalau Langit lah yang memanggilnya, jantung Bintang rasanya ingin meledak karena tiba-tiba saja detaknya berpacu lebih cepat dari biasanya.
Ada apa dengan dirinya? Setelah sehari tidak bertemu dengan pemuda itu, jantung Bintang mendadak seperti ini saat melihat wajahnya secara langsung.
Bintang langsung menutup novelnya. "Ya?" sahutnya dengan nada rendah.
Langit menggaruk tengkuknya. Awkward. Itulah yang terjadi sekarang. Entah kenapa, Langit mendadak menjadi canggung. Pasalnya ia takut kalau Bintang masih marah padanya karena perdebatan tempo hari.
"Lo ... ada waktu sekarang? Gue mau ngomong sesuatu."
Bintang tidak langsung menjawab. Gadis itu malah menaruh novelnya di laci meja. Setelah itu menganggukkan kepalanya dan berdiri. "Iya," sahutnya dengan pelan.
Bintang udah gak marah apa ya?
Langit bertanya-tanya dalam hati. Tumben sekali Bintang mencair. Ya meskipun menjawabnya masih singkat-singkat. Biasanya kalau menghadapi dirinya selalu saja sewot atau tidak sehalus seperti tadi. Langit bernafas lega mendapati respon Bintang yang seperti itu.
"Taman belakang aja, ya."
Setelah itu, Bintang melangkahkan kakinya mendahului Langit. Langit mengikuti gadis itu dari belakang. Membuntutinya. Sudah seperti pengawal yang menjaga ratunya.
Sampai di taman belakang sekolah, mereka duduk berdampingan. Belum ada yang membuka suaranya. Langit masih mempersiapkan kata-katanya, dan Bintang masih mengurusi detak jantungnya yang masih terus berdetak kencang itu.
Dalam hati Bintang, ia sudah menyiapkan kata terima kasih dan maaf untuk Langit. Ia tahu, semuanya bukan murni kesalahan Langit. Ia sadar kalau apa yang dilakukan pemuda itu demi kebaikannya. Dan seharusnya Bintang sadar sejak awal, kalau Langit memang tulus padanya.
"Bin." Langit menyelipkan helaian rambut Bintang yang tertiup angin itu ke belakang telinga. Membuat tubuh gadis itu seketika membeku. Perlahan namun pasti, Bintang menatap manik mata Langit yang sangat berbeda dari biasanya. "Dengerin semua yang bakal gue omongin, ya," kata Langit.
Sial, gue deg-degan ngadepin cewek, batin Langit.
Bintang masih diam. Gadis itu diam-diam memegang gelang yang sedang dipakainya hari ini. Gelang dari Langit saat mereka berdua ke pasar malam waktu itu. Bintang membenarkan letak kacamatanya yang merosot.
"Gue minta maaf sama lo, bener-bener minta maaf. Maafin gue karena udah sensi sama lo kemaren. Maaf karena gue ninggalin lo sendirian. Maaf kalo gue udah bikin lo marah. Gue cuma mau yang terbaik buat lo, Bin. Gue cuma mau lo bahagia sama keluarga lo. Lo pasti tau alasannya apa gue ngelakuin semua ini buat lo, kan?"
Bibir Bintang mendadak kelu. "Lang, gue ... "
"Lo, apa?" todong Langit.
Bintang menundukkan kepalanya. Menatap gelang yang sedang dimainkan oleh jari tangannya. "Gue minta maaf sama lo. Seharusnya gue nggak marah sama lo hari itu. Dan seharusnya juga gue menghargai usaha lo selama ini buat gue. Maaf. Maaf, Lang," ucap Bintang tulus.
Langit melihat pergelangan gadis itu. Ia bisa melihat gelang pemberiannya ada di sana dan Bintang sedang memainkannya. Ia tersenyum kecil. Lalu membawa tangannya ke kepala Bintang. Mengusap kepalanya. Membuat Bintang sedikit mendongakkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Teen FictionSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...