Ia tidak suka saat semua mata menatapnya penuh tanda tanya. Menatapnya penuh selidik. Menatapnya seakan-akan ia adalah hama yang siap dimusnahkan saat itu juga. Ia tidak suka. Memangnya, apa yang dirinya perbuat sehingga mendapatkan tatapan seperti itu?
Oh--mungkin saja karena ia berjalan di samping sang most wanted sekolah ini.
Iya, SMA Cakra Angkasa.
SMA yang dimiliki oleh keluarga sepupunya--Cakra. Dan saat ini dirinya sedang berjalan di samping Cakra yang menebar senyuman mautnya. Tidak sadar akan tatapan semua orang yang mengujam dirinya.
Bisikan-bisikan itu mulai terdengar. Jika saja ia tidak terburu-buru berangkat karena Cakra yang menjemputnya terlalu pagi, Bintang pasti akan memilih memakai aerphone. Memakai hoodie dan menutup kepalanya. Tidak ingin peduli pada sekitar. Ia risih.
Masa bodo dengan tatapan banyak orang, Bintang bertanya pada Cakra, "Kelas ak--gue di mana?" Kata Cakra, ia tidak perlu canggung sampai-sampai menggunakan aku-kamu. Gue-elo seperti biasa saja juga sudah lebih dari cukup.
"Gak bisa langsung ke kelas, Tari. Lo ke ruang TU dulu." TU alias Tata Usaha.
"Ngapain?"
Cakra berdecak, "Ck. Bikin sambel!" katanya.
"Serius!"
"Ya laporan ke guru BK lah. Mau ngapain lagi?"
Cakra menoleh sebentar pada gadis di sampingnya itu. "Jadi, nanti guru BK yang kasih tau kelas lo di mana. Tapi lo gak ke ruangan BK nya langsung. Gue anter lo sampe TU," jelasnya.
"Oohh. Oke."
...
"Lo tau cewek yang lagi Agam pepet? Imut banget, anjir!" umpat Malik. Berbisik pada Langit yang memangku gitar.
Mereka berempat, Langit, Malik, Agam dan Refan ada di rumah Agam seperti biasa. Sudah pulang sekolah juga. Namun mereka ingin mampir ke rumah Agam. Kata Agam, mamanya membuat kue kering. Jadi, bagi siapa yang ingin, silahkan mampir ke rumah. Tentu saja hal itu langsung diserbu oleh Langit dan Malik. Sedangkan Refan mengikut saja.
"Tau dari mana lo? Sok tau!"
"Yee! Gue tau kemaren. Kecyduk kan dia suka sama anak sekolah CA. Kayaknya tuh cewek masih kelas sepuluh dah."
CA?
Langit menghentikan petikan gitarnya. "Cakra Angkasa maksud lo?"
Malik mengangguk. "Iyalah, apalagi kalo bukan itu."
"Itu sekolahnya Bintang yang sekarang," ujar Langit.
"Mulai dari kapan dia pindah ke sana?"
"Hari ini, tadi pagi lebih tepatnya."
"Dan lo gak ada niat jemput dia ke sekolahnya pulang tadi?" Malik terkejut.
"Masalahnya di mana?"
"Goblok emang, Lang, lo mah. Makanya gak usah pacar-pacaran deh. Pengalaman lo aja kagak ada, segala macem pacarin anak orang. Gak peka amat!"
Langit menaikan satu alisnya. Tidak mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh Malik. Memang ya, di antara ketiga temannya yang lain, hanya Malik yang kalau menjelaskan sesuatu itu pasti tidak jelas.
"Maksudnya apaan sih, Mal?"
Malik berdecak sebal, "Ck, elah. Lo gak takut Bintang digondol cowok lain?"
"Gue percaya sama Bintang, Mal."
"Bukan itu pointnya, Langitai! Jangan bego amat kenapa sih. Lo dulu waktu Bintang belum nerima lo juga, lo pasti bakal berjuang terus kan?"
Langit mengangguk mantap.
"Nah! Cowok yang suka sama Bintang di sekolah barunya itu, pasti bakal ngelakuin apa yang lo lakuin. Lo ngerti apa maksud gue sekarang?"
Langit terdiam beberapa saat. "Kalo ada yang berani rebut apa yang gue punya, awas aja!"
Malik tertawa. Mengacungkan jempolnya di udara. "Gue suka gaya lo. Ini baru temen gue," ujarnya.
"Nih kukernya! Siapa yang mau makan, siapa yang ngambil!" dumel Refan saat tiba di halaman belakang sambil membawa dua toples kuker. Masing-masing dengan rasa yang berbeda. Menyusul Langit dan Malik. Diikuti Agam di belakangnya yang membawa empat kaleng minuman soda.
"Lo juga bakal ikut makan! Gitu doang ngedumel kek cewek lo!"
"Gam, temen lo emang tai semua ya?" tanya Refan dengan kesal pada Agam yang kini sudah duduk di samping Malik.
"Temennya aja tai, lo nya gimana?"
Langit dan Malik bertos. Lalu terbahak. "Mamposss!" maki keduanya.
Poor you Refan.
***
Pada malam hari, Langit video call Bintang. Tepat pukul sembilan malam. Hari ini ia tidak bertemu gadis itu. Hanya berkabar lewat chat saja.
Langitai
Gue vc ya?Bintang
IyaPada sambungan kedua, video call itu langsung tersambung. Langit bisa melihat wajah Bintang kini sudah ada di layar ponselnya. Sontak saja ia langsung tersenyum lebar.
"Hai, Bin. Gimana hari ini?"
"Emm? Ya, gitu."
"Gitu gimana?"
"Not bad. But, gak senyaman Purnama." Purnama adalah nama sekolah Bintang yang dulu. Di mana Langit juga bersekolah di sana.
"Kenapa emangnya?"
"Lo tau, bokap Cakra yang punya sekolah itu, otomatis gue jadi sorotan karena tadi pagi berangkat bareng dia."
"Oohh, nanti juga terbiasa. Asal inget pesen gue. Oke?"
"Hmm."
Bintang kini melihat Langit menjauh dari kamera. Tubuhnya hilang entah pergi ke mana. Sesaat kemudian sudah kembali lagi. Kali ini ada gitar. Oh, mengambil gitar rupanya.
"Mau ngamen lagi?" tanya Bintang.
Langit menderai tawa. Tawa yang membuat Bintang ingin menerbitkan senyum. Namun gadis itu menahannya. Masih gengsi.
"Ngamen cinta, kayak biasa," balas Langit. Memposisikan dirinya dengan nyaman. Ponselnya dia taruh di atas meja belajar. Sedangkan dirinya duduk di kursi.
"Mau lagu apa, Bin?"
Bintang terdiam beberapa saat. Ia juga bingung ingin meminta dinyanyikan apa. "Terserah," putusnya.
Langit berdehem sebelum memulai nyanyiannya. Ia memetik senar gitar. Bintang menyimak dengan baik. Meskipun suara Langit tidak sangat bagus, tapi cukup merdu.
Kan 'ku abaikan segala hasratku
Agar kaupun tenang dengannya'Ku pertaruhkan semua ragaku demi dirimu, bintang
Langit tersenyum. Bintang terkejut karena lagu itu seperti memang sangat khusus untuknya.
Biarkan 'ku menggapaimu, memelukmu, memanjakanmu
Tidurlah kau di pelukku, di pelukku, di pelukkuTerus hingga selesai. Hingga sampai di akhir lirik, dan waktu sudah semakin malam, Langit mengucapkan, "Good night, Bintang. Gih, sana tidur."
Tanpa sepatah kata, Bintang langsung mematikan sambungan. Jarinya mengetik sederet kalimat yang akan ia kirimkan pada Langit.
Makasih buat lagunya, good night too, Langit.
....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Genç KurguSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...