Yang dekat belum tentu bisa bersama, namun yang bersama sudah pasti dekat.
Iya, seperti itulah mereka berdua.
Peejuangan adalah suatu hal yang pada akhirnya tidak akan sia-sia. Tuhan tidak pernah tidur. Dia pemeran utama yang ikut andil dalam perjuangan seseorang mendapatkan apa yang ia inginkan.
Entah sudah berapa banyak hari yang mereka berdua lewati sejauh ini, yang jelas keduanya semakin menyayangi satu sama lain.
Meskipun berbeda sekolah dan bertemu dua atau tiga kali dalam seminggu, tidak membuat jarak mereka membentang. Mereka selalu memberi kabar satu sama lain. Dan hal itu tidak boleh terlewatkan.
Perlahan sisi lain sosok Bintang mulai mencuat keluar dengan sendirinya. Langit masih dengan tingkah konyol dan garingnya bisa membuat senyum dan tawa Bintang melebur jadi satu.
Hubungan mereka sudah berjalan enam bulan. Selama itu juga keluarga kandung Bintang sudah mengenal Langit. Begitu juga Nizam yang menyandang status kakak kandung Bintang. Awalnya memang selalu dicurigai oleh ayah dan abang Bintang, namun semakin ke sini, Langit semakin dipercaya oleh mereka.
Tidak hayal juga Bintang sering membawa Marini--marmut milik Langit--ke rumahnya. Ia akan merawatnya seminggu. Lalu akan dikembalikan lagi kepada laki-laki itu.
Malam ini Langit dan Bintang sedang berada di taman kompleks perumahan rumah Bintang. Mereka duduk dengan kedua tangan yang menyangga tubuh masing-masing. Menatap ke arah langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Juga bulan yang bersinar.
"Bin?"
"Hm?"
"Ribuan bintang di langit kalah cantiknya sama bintang yang ada di samping gue," ucap Langit. Menolehkan kepalanya ke samping kanan. Perlahan ia duduk dengan tegak. Tangan kanannya kini merangkul bahu gadis itu.
"Lo udah ngomong kayak gitu lebih dari sepuluh kali, Lang," ingat Bintang. Ia tidak habis pikir dengan apa yang Langit ucapkan. Alih-alih ia baper, dirinya malah ingin gumoh.
Langit mengeratkan rangkulannya sambil tertawa. Namun, saat kepala Bintang bersandar pada bahunya, tawa itu luntur. Digantikan dengan jantungnya yang berdetum menggila di dalam sana.
Ya Tuhan, debaran itu masih sama ternyata. Terkadang Langit bingung, ia laki-laki, namun dirinya tidak ahli dalam mengontrol perasaan sendiri. Sedangkan Bintang, gadis itu nampak biasa saja. Tapi, tidak tahu di dalamnya seperti apa. Siapa tahu mau meledak karena terbawa perasaan.
"Siapa tau lo lupa," elak Langit.
"Lupa ndasmu!"
Ada hening beberapa menit.
Langit mengusap rambut Bintang yang bertambah panjang itu. Meskipun Bintang selalu bermata empat, tidak membuat gadis itu terlihat cupu atau kutu buku. Malah semakin bertambah manis, menurut Langit.
"Lo seneng sama kehidupan lo yang sekarang?"
Bintang menjauhkan tubuhnya. Menatap Langit yang melontarkan pertanyaan tadi. "Seneng. Tapi, ya gitu deh. Pasti ada aja gak enaknya. Namanya juga hidup, kan?"
"Tapi, lo gak ngerasa tertekan, kan, sama peraturan bokap lo?"
Ayah Bintang lebih over protektif dari abangnya. Wajar saja, namanya juga seorang ayah, pasti akan melakukan hal demikian untuk anak perempuannya.
"Biasa aja. Yang penting gue masih bisa nginep di rumah Papa dan Mama. Dan masih bisa ketemu sama lo."
Aih.
Langit tersenyum lebar. Mengusap kepala Bintang dengan sayang. Gadis di sampingnya adalah sosok yang ia sayangi. Dari dulu rasa itu belum luntur sama sekali. Langit begitu menyayangi Bintang dan ingin selalu bersama gadis itu.
"Gue boleh cium gak?"
Bintang langsung memukul lengannya. "Ngomong apa tadi?!" semburnya.
Langit tertawa. "Becanda. Cium ini aja deh." Dengan cepat Langit memegang sisi kepala kanan dan kiri Bintang. Lalu menariknya mendekat. Satu detik ia sudah bisa mendaratkan kecupan ringan di ubun-ubun gadis itu.
Diam-diam Bintang terpaku. Ngeblank.
THE END***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Ficção AdolescenteSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...