Hari senin. Hari di mana upacara bendera dilaksanakan. Semua murid tidak mau telat datang ke sekolah, karena tidak mau dihukum berdiri di depan lapangan. Dan itu adalah hal yang paling dihindari oleh murid yang sangat takut akan hukuman.
Hari ini cuaca tidak secerah pagi kemarin atau kemarinnya lagi. Pagi ini matahari nampak bersembunyi di balik awan yang sedikit mendung itu. Membuat mereka bersorak karena tidak akan terkena paparan sinar matahari saat upacara dilaksanakan.
Bel masuk berbunyi nyaring. Semua murid langsung berhamburan keluar kelasnya menuju lapangan utama sekolah yang tak bisa dikatakan kecil. Mereka berbaris rapih di lapangan. Dan jangan lupakan pakaian yang sudah rapih dan atribut sekolah yang lengkap.
Bintang berbaris di urutan ketiga dari depan. Memang badannya tidak terlalu tinggi, jadi ia diharuskan berbaris di depan. Di sampingnya ada Fikri--ketua kelasnya. Sedangkan Alani berbaris di belakangnya.
Pagi ini, Bintang belum bertemu dengan Langit. Setelah menikmati malam Minggu bersama itu, mereka berdua belum bertemu kembali. Di hari minggu kemarin pun, Langit tak henti-hentinya mengirimi ia chat. Hal itu membuat Bintang risih, namun tetap saja, jari-jarinya itu tak henti mengetikkan balasan untuk chat dari Langit.
Upacara di mulai. Semuanya tidak ada yang bersuara, kecuali protokol yang sedang menyebutkan susunan demi susunan upacara. Tak terasa, upacara telah berjalan selama hampir setengah jam. Matahari sama sekali tidak muncul, malah tertutup awan hitam yang kian semakin menggumpal dan gelap.
Di depan sana, Pak Sanusi sedang berbicara. Memberi wejangan-wejangan dan juga peringatan untuk muridnya akan tidak melakukan ulah dan melanggar peraturan sekolah. Tetes demi tetes air hujan mulai turun. Tetesan kecil itu kian semakin besar. Sedangkan Pak Sanusi masih berbicara di depan sana.
Semua murid risau, antara ingin kabur dari lapangan atau tetap mendengarkan. Tapi setelah pak Sanusi berbicara, "Setelah ini akan ada rapat guru. Kalian free class sampai jam pulang berbunyi. Tapi jangan ada yang keluar kelas." Hujan turun dengan derasnya.
Semua lari dari lapangan. Bahkan ada yang sampai jatuh karena terdorong atau karena terburu-buru. Begitupun Bintang, tubuh gadis itu sedikit oleng karena ada yang menubruknya dari belakang entah siapa.
"Aduh!"
Tiba-tiba saja, tangan kiri Bintang ditarik oleh seseorang. Membuat ia menoleh dan kaget. "Eh? Langit?"
Langit. Pemuda itu menarik tangan Bintang agar cepat berlari. Bintang menyamai langkah kaki Langit yang lebar itu. Apalagi sampai berlari seperti ini. Setelah berhasil, mereka berhenti di depan koridor lantai satu.
Bintang dan Langit mengibaskan bajunya yang sedikit basah karena terkena air hujan tadi. Langit melepaskan topi dari kepalanya.
"Lo lelet banget sih, Bin? Udah tau ujannya gede, tapi nggak cepet larinya," ucap Langit.
Bintang mendongakkan kepalanya. Sedikit cemberut. "Tadi kan kaget, jadi kayak linglung gitu."
Langit tertawa pelan. Kemudian mengajak Bintang menuju ke kelas mereka yang ada di lantai dua. Mereka berjalan beriringan. Koridor masih ramai akan siswa-siswi yang berlalu lalang.
"Bin, masa iya kudu di dalem kelas terus sampe jam pulang sekolah? Bete dong kita nantinya," ucap Langit.
Bintang mengernyit. "Kita?"
Langit menoleh ke samping dan mengangguk dua kali. "Iya, kita."
"Lo aja kali, gue mah nggak!"
Langit langsung cemberut mendengar itu.
¤••¤
Jam dinding kelas masih menunjukkan pukul 09.05 menit. Di dalam kelas, mereka sibuk dengan masing-masing. Menghilangkan rasa kebosanan mereka. Bahkan ada yang sampai menggambar di papan tulis menggunakan spidol, entah menggambar apa. Tapi, sepertinya menggambar kartun Naruto--ya sepertinya.
Bintang duduk gusar di bangkunya. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Seperti ada sesuatu yang terjadi, namun ia tak tahu apa. Bahkan rasanya sangat membuat Bintang menerka-nerka apa yang terjadi. Namun ia tak menunjukkan raut itu di wajahnya.
Di sampingnya, Alani sedang tidur pulas. Gadis itu mengantuk sekali, karena semalaman begadang membaca salah satu cerita yang ada di Wattpad, katanya. Dan hal itu membuat Bintang tak diajak ngobrol oleh Alani.
Ponsel Bintang bergetar di atas meja. Menampilkan nama Kak Wira di sana yang menelfonnya. Bintang menatap layar ponselnya heran. Tumben sekali Wira menghubunginya.
Bintang menggeser tombol hijau, seketika panggilan itu tersambung. Ia ingin berucap, namun suara Wira sudah terlebih dahulu terdengar.
"Halo, Bin? Kamu di sekolah kan?"
"Iya. Kenapa, Kak?"
"Bisa kamu ijin hari ini? Mama kamu masuk rumah sakit."
Tubuh Bintang menegang seketika. Lidahnya kelu. Hal yang tak pernah ada di pikirannya itu kini menimpa Mamanya. Dan itu membuatnya merasa sesak.
Bintang memang pergi dari rumah. Tapi, bukan berarti ia tak menyayangi orang tua dan adiknya. Namun, ia hanya butuh ketenangan dan sedikit menjauh dari mereka. Pun ingin mengambil keputusan yang akhirnya tak ia sesali di kemudian hari.
Se-kecewa dan se-marah apapun Bintang pada orang tuanya, tetap saja, rasa sayang, cinta, dan perduli itu tidak akan pernah hilang dalam hatinya. Bintang masih tahu diri untuk menghilangkan rasa itu dalam hatinya.
"Rumah sakit Bunga Bangsa. Kakak tunggu."
Setelah itu sambungan terputus. Bintang berdiri dari duduknya dengan tergesa dan memakai tas. Membuat teman kelas yang melihatnya itu menoleh. Menatapnya heran.
Dada Bintang terasa sesak. Matanya memanas. Ia yakin, kalau dalam lima menit belum meninggalkan kelasnya. Sudah dipastikan ia akan menangis di dalam kelas.
Fikri--ketua kelasnya, menatap Bintang dengan heran. "Bin? Mau ke mana?" tanyanya kemudian.
Bintang menatap teman kelasnya yang menatap dirinya itu. "Fikri, gue ijin pulang," katanya.
Fikri berdiri dari duduknya dan menghampiri Bintang. "Lho? Kenapa?"
Nampaknya Bintang harus menahan genangan itu di matanya agar tidak meluncur. Berusaha menepiskan hal-hal negatif yang ada di kepala tentang Mamanya itu.
"Pokoknya ijinin gue, hiks..."
Seisi kelas terkejut. Speechless melihat Bintang yang menangis sambil menunduk. Gadis itu langsung keluar kelas dan dikejar oleh Fikri. Alani bangun dari tidurnya yang nyenyak itu. Menatap teman kelas yang menampilkan ekspresi terkejutnya.
"Bintang!"
Tepat di depan kelas, Bintang menubruk dada seseorang. Ia berhenti dan mendongak. Langit di depannya dengan tatapan yang sulit didefinisikan.
Fikri yang tadi memanggil nama dan mengejarnya itu berhenti melangkah. Ia menatap Langit yang kebetulan sedang menatapnya, dan memberi isyarat 'tenang aja, serahin sama gue'. Dan akhirnya, Fikri kembali ke dalam kelas yang sudah pasti akan diberi berbondong-bondong pertanyaan.
"Langit, anterin gue," ucap Bintang terisak kecil. Bahkan nyaris tak terdengar.
Langit menggenggam tangan Bintang dan menariknya pelan untuk mengikuti langkahnya menuju parkiran sekolah.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Teen FictionSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...