"Eh, anjir! Tadi Bintang beneran ngeluarin air mata?" tanya seorang siswi yang paling heboh di kelas XI IPA 2.Mereka masih sedikit tidak percaya Bintang menangis. Pasalnya, gadis itu memang pendiam dan mungkin akan berbicara jika diajak mengobrol berdua saja. Tapi, tadi gadis itu menangis. Membuat mereka sangat terkejut bukan main.
Alani. Gadis itu bahkan baru mendengar penjelasan dari Fikri yang sudah kembali ke dalam kelas. Ia juga tak tahu kenapa Bintang seperti itu, karena memang tidak pernah cerita apapun. Kecuali hanya mengobrol biasa.
"Ya lo kira tadi dia ngeluarin apa? Darah? Slime? Atau air comberan?" tanya ketus seorang siswa sambil melempar gumpalan kertas pada siswi tadi yang heboh.
Setelahnya, terjadilah perdebatan kecil. Alani duduk di depan Fikri yang mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Ia masih berpikir apa yang terjadi dengan Bintang.
"Jadi, tadi Bintang udah sama Langit?" tanya Alani.
Fikri menatapnya. "Oh, namanya Langit? Nggak tau sih gue itu anak namanya siapa. Yang jelas dia pernah berdiri di depan pintu kelas kita pas jam pulang sekolah tempo hari."
"Berarti bener si Langit. Gak papa deh. Pasti Bintang aman sama dia."
"Entar lo tanyain dah tuh si Bintang kenapa. Sial banget tau gak sih? Gue kaget dia tiba-tiba bawa tas terus ijin pulang. Matanya berkaca-kaca lagi, terus nangis. Untung nangisnya nggak kenceng. Kalo kenceng kayak si heboh itu gimana?" Fikri menunjuk si heboh yang masih berdebat dengan siswa yang melemparinya dengan gulungan kertas tadi.
Alani mengikuti arah tulunjuk Fikri, dan kemudian tertawa kecil. "Gitu-gitu juga dia yang udah bikin kelas ini bersuara kali," sahutnya.
Fikri mendengus. "Bersuara sih bersuara, tapi kalo suaranya over mah ya berisik."
Alani hanya tertawa lagi mendengar ucapan ketua kelasnya itu.
•¤¤•
Saat dalam perjalanan menuju Rumah Sakit, Bintang terus meremas ujung jaket Langit yang pemuda itu pakai. Hal-hal yang memenuhi kepalanya itu tak bisa ia enyahkan begitu saja. Dan bertanya-tanya kenapa bisa pemuda yang sedang mengemudi kendaraan di depannya itu tiba-tiba ada di depan kelasnya?
Bintang menggeleng pelan. Berusaha menghilangkan hal-hal buruk dan teka-teki di otaknya itu. Ia menghela nafas beratnya. Semilir angin yang menerpa wajahnya itu sama sekali tak membuat perasaannya menjadi sejuk ataupun tenang. Tidak sama sekali.
Tak lama kemudian, Langit membelokkan setirnya ke arah parkiran Rumah Sakit. Mereka sudah sampai. Bintang turun dan melepas helmnya. Memberikan pada Langit yang sudah lebih dulu melepas helm. Setelah itu, mereka masuk ke dalam area Rumah Sakit.
Langkah kaki Bintang terasa berat. Ia belum siap bertemu mereka--Papa-Mamanya, tapi ia juga tak bisa tinggal diam jika Mamanya jatuh sakit. Apalagi jika itu karena dirinya.
Langit memperhatikan wajah Bintang yang sangat sulit dijelaskan. Bukan tanpa alasan ia tiba-tiba nongol di depan kelas gadis itu dan menerima permintaannya untuk mengantar ke Rumah Sakit ini. Ya, semua ada alasannya. Dan entah kapan alasan itu bisa ia jelaskan pada gadis yang berjalan di sampingnya. Atau tidak sama sekali.
Ponsel Bintang bergetar di saku roknya. Ia berhenti melangkah dan mengambil ponselnya. Membuat Langit pun ikut berhenti dan menatapnya heran. Terdapat satu pesan masuk dari Wira. Memberi tahu kalau ruangan Mamanya dirawat itu ada di lantai 2 No. 35.
"Kita ke lantai dua," ucap Bintang.
Langit mengangguk. Mereka berjalan kembali menyusuri koridor Rumah Sakit yang ramai di jam hampir tepat pukul 10 ini. Setelah menaiki lift untuk naik ke lantai dua, kini Bintang dan Langit sudah sampai di depan pintu rawat inap No. 35.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Teen FictionSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...