"Bego!"
Bugh
Bugh
Bugh
"Bego!"
"Bego!"
"Bego!"
"Iya, lo emang bego, Lang. Biasa aja ngapa."
Dengan nafas yang memburu dan dada naik turun, serta keringat yang sudah memasahi tubuh, Langit menatap sebal pada Agam yang duduk cukup jauh darinya. Bersama Malik dan Refan tentu saja ada. Di jam tujuh malam ini, mereka berempat kini sedang berada di rumah Agam.
Di halamam belakang rumah Agam, yang terdapat samsak itu langsung menjadi sasaran Langit. Pemuda itu memukul-mukul samsak dengan tidak karuan. Malik dan Refan yang datang agak lambat itu menggeleng tak habis pikir dengan apa yang dilakukan temannya itu.
Langit terus mengumpat sambil memukul samsak. Ia hanya memakai kaus pendek putih dan celana panjang. Setelah tadi sore meninggalkan Bintang di koridor sekolah, ia tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan pergi ke gang sebelah dekat sekolahnya.
Langit menghubungi Wira untuk menjemput Bintang di sekolah. Tidak peduli jika Wira sedang sibuk atau apa pun itu, yang jelas ia membutuhkan bantuan Wira untuk menjemput Bintang di sekolahnya. Setelah diberi respon kalau Wira bisa menjemput, Langit langsung menjalankan motornya menuju rumah. Ia tidak mungkin benar-benar meninggalkan gadis itu di sekolah. Sekesal dan semarah apa pun dirinya pada Bintang, Langit tetap akan selalu menjaganya. Meskipun tidak dengan secara langsung menunjukkannya.
Kini, Langit berhenti memukul samsak dan berjalan menghampiri teman-temannya. Menghempaskan tubuhnya di samping Refan. Temannya yang lebih pendiam dari Malik dan Agam itu menepuk pundaknya dua kali. Menenangkan emosinya yang sedang tidak stabil.
"Kita udah denger masalah lo dari Malik. Nunggu lo cerita sendiri keburu lo lupa." Agam berucap sambil melempar satu botol air dan langsung ditangkap dengan sigap oleh Langit.
Sebelum menjawab, Langit meneguk minumnya dulu. "Menurut kalian gimana?" tanyanya. Menutup botol kembali dan menaruhnya di samping.
"Gue muak sama diri gue sendiri, Mal. Gue gak tau apa yang gue rasain selama ini sama Bintang. Jujur, gue emang suka sama dia, sejak kelas sepuluh. Cuma, semakin ke sini, gue ragu sama perasaan gue sendiri. Gue beneran suka, sayang atau cuma kasihan sama dia?"
"Kasihan gimana maksud lo?"
"Intinya, dia punya masalah, dan gue berniat bantu setelah tau apa masalah dia."
"Jadi, kalo sebelumnya lo belum tau masalah dia apa, lo gak bakalan segininya sama dia gitu?"
Langit mengangkat bahunya tidak tahu."Gue suka sama dia, dan setelah tau dia punya masalah, gue pengen terus ada di samping dia. Nemenin dia. Ada buat dia."
"Itu emang karena lo sayang sama dia, Lang. Bukan kasihan. Tapi rasa simpati. Gue juga kalo orang yang gue sayang ada masalah, pasti bakal ngelakuin apa yang lo lakuin ke Bintang. Terus, apalagi yang buat lo ragu? Perasaan lo udah jelas."
"Gue bohong. Bohong sama Bintang kalo gue gak tau apa-apa tentang masalah dia. Padahal, gue udah tau masalah yang dia alami dari orang lain."
Malik menoyor kepala Langit. "Si Bego, emang!" Langit melotot mendengarnya.
"Itu kalo Bintang sampe tau, pasti dia salah paham. Bisa aja dia ngira lo kasihan sama dia. Awas, Lang, perasaan cewek tuh sensitif. Sama satu lagu, keras kepalanya cewek lebih gede daripada cowok. Kuat-kuat lo ngadepin cewek."
"Ya, kalo suatu saat nanti Bintang tau yang sebenernya, lo jelasin aja. Jelasin sejelas-jelasnya. Urusan dia percaya atau enggak itu bukan urusan lo. Yang penting lo udah ngejelasin, Lang," kata Refan.
Malik yang baru saja membuka bungkus kuaci itu menyaut, "Tapi, kebanyakan cewek kalo rasa kepercayaannya udah dipatahin itu, nanti susah buat percaya lagi." Ia mulai memakan kuacinya. Tak lupa menawari temannya yang lain.
"Cewek emang keras kepala dan egois, tapi mereka itu banyak munafiknya lho. Gue ada bukti." Agam langsung dihujami tatapan kepo temannya. "Biasa aja anjir ngeliatinnya."
Langit berdecak, "Ck, cepetan!"
"Oke, cerita dikit. Lo tau kan adek gue, Afia? Yang sekarang kelas sembilan SMP. Gue pernah sengaja nguping--"
Ucapannya terpotong oleh suara Malik. "ANJIR, PARAH LO NGUPING PEMBICARAAN ADEK SENDIRI!"
"Berisik, kudaa!!" kata Langit. Malik malah terkekeh pelan. Lalu meminta Agam melanjutkan ceritanya kembali.
"Gak sengaja nguping maksud gue. Nah, dia lagi telponan tuh sama pacarnya kali, ya? Berantem, woy! Masih bocah udah berantem sama cowoknya, duh adek gue! Terus, dia bilang gini sama cowoknya, "Aku muak sama kamu. Aku benci. Kamu brengsek, jahat, setan. Pokoknya gak usah lagi hubungi aku. Kita putus." Anjir, menurut kalian sebagai cowok, gimana rasanya diomong gitu?"
"SAD BOY!" Langit, Malik dan Refan kompak menjawab.
Emosi Langit seketika luruh. Teman-temannya itu bisa menghilangkan emosinya dengan hanya bercerita. Ya, hitung-hitung ilmu baru tentang cewek.
Mereka berempat tergelak bersama. Agam melanjutkan ceritanya kembali, "Nah, abis itu, kayaknya mah udah berhenti telponan. Adek gue malah nangis sambil ngedumel. Tapi ngedumel curhat. Sumpah, gue mau ngakak dengernya."
"Buset dah. Keknya seru nih dumelnya cewek abis putus. Gimana, Gam, gimana?" Malik heboh.
"Abis itu dia ngedumel gini "aku sayang sama kamu, tapi kalo disakitin terus-terusan kayak gini aku gak sanggup. Aku lebih baik mundur. Meskipun sakit, seenggaknya itu yang terbaik buat aku. Maafin aku" gitu."
"Munafik banget, anjir!" ceplos Malik.
"Kenapa masih sayang, tapi rela mutusin?" Langit bertanya. Tangannya mengambil kuaci dan mulai memakannya.
"Cewek emang gitu. Munafik. Tapi, mereka kayak gitu bukan berarti nyerah sama perasaannya. Terkadang, mundur itu perlu kalo disakitin melulu mah. Kita sebagai cowok juga harus ngerti, kalo mereka memilih pergi itu bukan berarti rasanya hilang, tapi emang udah gak bisa mempertahankan apa yang ngebuat hati sakit."
"BOS REFAN BUCIN, GASKEUN BOSS GASKEUN!!"
"BUDAK CINTA BANGET, WOY! NGAKAK GUE, HAHAHA!!!"
Saat sedang asyik-asyiknya terbahak, Langit menyuruh berhenti. "Bentar. Ini gak ada hubungannya sama masalah gue dan Bintang, kan? Ngaco, sialan!" rutuknya.
"Yaudah sih, Lang. Toh, ada hubungan atau enggaknya cerita dari Agam sama masalah lo dan Bintang juga gak papa. Ini mah cowok ngobrolin tentang cewek aja. Biar kita yang udah remaja itu bisa ngerti dikit kamus cewek. Pusing gue dibilang gak peka mulu." Malik curhat diujung ucapannya.
"Ini satu, bucin juga," kata Agam.
"Lo dibilang gak peka karena lo suka marah-marah sama cewek, kan? Makanya Mal, jangan galak-galak sama cewek. Gak peka sih lo mah. Sama cewek tuh yang lembut. Tapi jangan suka ngalus juga."
Agam beranjak. "Bucin, anjir, bucin. Enggak Langit, enggak Malik, enggak Refan, bucin semua! Bodo amat woy bodo amat!"
Mereka tergelak melihat Agam. Saat punggung pemuda itu tidak terlihat lagi karena memasuki rumah, mereka berhenti. Langit membuang nafasnya kasar.
"Ada satu masalah lagi. Gue berantem sama Bintang tadi sore," ujar Langit. Langsung dihadiahi oleh lemparan kulit kuaci dari Malik.
"Najis. Budak cinta banget," sindir Malik.
"Selesain, Lang, secepatnya. Jangan sampe kelamaan, nanti makin runyam." Refan memberi saran, dan Langit mengangguk lesu.
×××
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Teen FictionSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...