Bintang telentang di atas kasurnya. Malam ini, setelah ia diantar pulang oleh Langit, ia merenungi semuanya. Semua yang telah terjadi. Apa yang telah pemuda itu katakan ada benarnya juga. Namun, ia masih ragu untuk bisa melangkah maju menghadapi semuanya.
Ini semua terlalu membuat Bintang malas untuk berpikir. Menebak. Bertanya-tanya. Itu semua membuatnya malas. Dan terjadilah hanya rasa dan pikiran negatif yang ada di dalam otaknya.
Jika disuruh menyebutkan satu-persatu pertanyaan yang ada di dalam pikirannya, Bintang akan menyebutkan.
1. Kenapa ini semua terjadi padanya?
2. Kenapa Tuhan menggariskan takdir untuknya seperti ini?
3. Kenapa ada manusia yang tega menggambil anak orang lain demi kebahagiaannya?
4. Kenapa kecelakaan itu terjadi?
5. Kenapa baru sekarang ia mengetahui semunya?
6. Kenapa orang tua kandungnya tak berusaha mencari dirinya?
7. Kenapa ini terlalu rumit untuk ia hadapi?
Tapi, Bintang lupa. Kalau yang membuatnya rumit adalah dirinya sendiri yang tak mau mendengarkan penjelasan orang tuanya terlebih dahulu.
Ini semua adalah garis takdir yang Tuhan telah berikan untuknya. Baik atau pun buruk. Bahagia atau pun sedih. Senang atau pun susah. Ini adalah takdirnya. Takdir yang harus ia jalani dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Seharusnya ia bersyukur karena Papa-Mamanya tak membuang dirinya saat Cyra telah lahir. Kalau saja hal itu terjadi, sudah dipastikan kalau ia tidak akan berada di tempat ini--kost-annya. Tempat untuk sementara waktu ia singgahi.
Kini pikirannya bergeser pada hal yang juga membuatnya bingung. Langit. Kenapa pemuda itu masih bersikukuh terus ada di sampingnya? Selalu menyadarkan kalau apa yang ia lakukan ini bukan jalan terbaik. Dan karena pemuda itu pula, ia kini mencairkan bentengnya.
Benteng tentang masalahnya dan orang tuanya.
"Kepala gue cenut-cenut, deh, kalo mikirin semuanya. Jadi pengen es campur. Seger!" ucapnya tiba-tiba saat merasakan kepalanya sedikit pening.
Bintang kemudian meraih ponselnya untuk menghubungi Wira. Ia akan minta dibelikan es campur. Mumpung masih jam setengah delapan. Ini masih sore. Pasti Wira sedang tidak sibuk.
Bintang
Kak Wira!
Bintang mau es campur. Minta tolong beliin bisa gak?Bintang mengirim pesan pada kakak sepupunya itu. Terakhir kali ia bertemu dengannya adalah saat di Rumah Sakit. Sewaktu Mamanya sedang sakit. Dan setelah itu, ia belum bertemu kembali.
Sementara itu. Di lain tempat, namun masih di kota yang sama. Ponsel milik Wira bergetar di saku celananya. Ia masih berada di Cafe bersama dengan Langit tentu saja. Ia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang mengiriminya pesan.
Dilihatnya pesan masuk dari Bintang, adik sepupunya. Ia menatap Langit sekilas, lalu menatap ponselnya kembali. Membuat Langit menaikkan satu alisnya bingung. Wira mengetikkan balasan untuk Bintang.
Wira
Bisa. Tungguin, ya. Mau apalagi?Wira menaruh ponselnya di atas meja setelah membalas pesan dari Bintang. Dan langsung berkata, "Bintang minta dibeliin es campur. Gue cabut duluan, oke?" sambil beranjak dari duduknya.
"Serius?! Gue aja deh yang beliin. Lo pulang aja sana!" Langit langsung menyerobot. Bahkan ia sudah berdiri seperti Wira.
Wira gemas pada pemuda yang usianya berbeda satu tahun dengan dirinya itu. Ia menoyor kepala Langit, "Heh! Bego sih bego aja, tapi jangan kebegoan juga dong! Nanti kalo Bintang nanya kenapa lo yang bawa es campur itu, lo mau semuanya kacau, hah?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Fiksi RemajaSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...