Part 18

282 41 26
                                    

Setelah pulang sekolah, Bintang sudah diseret untuk mengikuti langkah pemuda yang sudah bisa menyelusup masuk ke hidupnya, Langit. Pemuda itu menunggu dirinya setelah berlatih bernyanyi untuk perlombaan nanti. Hari ini jadwalnya latihan sendiri dengan Kak Mella tentu saja. Dan dua hari lagi, ia akan latihan dengan Cakra--teman duetnya itu.

Langit dengan hoddie putih yang pemuda itu pakai membuat Bintang menyadari kalau pemuda itu memang ganteng, tapi tidak pake banget. Baru saja Bintang akan menolak jika diajak keluar lagi Langit, pemuda itu malah langsung membungkamnya dengan mengatakan-

"Anterin gue beli marmut ya, Bin."

Bintang tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Langit selalu saja berbuat aneh. Bintang hanya bisa pasrah ketika tangannya terus digenggam. Jarinya mengisi sela-sela ruang kosong yang ada di jari pemuda itu. Dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda.

Dan, di sinilah mereka berada. Di toko hewan khusus Marmut. Setelah turun dari motor, mereka memasuki toko hewan itu. Bintang mengikuti langkah Langit di belakangnya. Ruangan yang bercat putih dan biru langit itulah yang pertama kali mereka lihat.

Langit menyuruh Bintang untuk terus mengikutinya saja. Dan ia bilang padanya kalau Bintang boleh melihat-lihat hewan Marmut yang ada di sana. Bintang hanya mengangguk dan menghampiri para Marmut yang ada di dalam kandang kecil.

"Bin, lo boleh liat-liat marmutnya, kok. Liat doang mah gratis, kalo mau dibawa pulang ya bayar," kata Langit sebelum Bintang menghampiri para marmut itu. Dan hanya dibalas lengosan oleh gadis itu.

Langit menuju penjaga toko yang berseragam putih. Macam dokter, pikirnya. Padahal itu adalah orang yang merawat dan menjaga marmut yang ada di sana.

"Mbak, saya mau marmut yang lucu dan imut kayak yang belinya, dong!"

Orang yang dipanggil 'Mbak' oleh Langit tadi hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapannya. Kemudian perawat hewan itu menunjukkan marmut yang menurutnya lucu dan imut seperti permintaan Langit.

Hanya ada marmut di sana. Kandang-kandang itu berisikan marmut semua. Bintang yang sedang melihat-lihat pun jadi ingin membeli. Marmut itu lucu dan imut dengan warnanya. Ada yang berwarna coklat-putih, hitam-putih, dan lainnya.

Langit terus memilah-milih marmut yang akan ia beli. Sedangkan Bintang hanya memperhatikannya saja. Sesekali ia menahan tawa karena perkataan Langit mengenai marmut itu dan membuat perawat marmut itu kesal.

Setelah hampir 15 menit memilih marmut, akhirnya Langit menentukan pilihannya. Pilihannya jatuh pada marmut berwarna coklat-putih. Setelah membayarnya, Langit dan Bintang keluar dari toko untuk bergegas pulang.

"Bin, tadi marmutnya lucu-lucu, ya? Rasanya pengen gue beli semua. Nanti gue kasih buat lo satu, adik gue satu, ibu, ayah, Malik, Refan, kalo bisa juga Papa-Mama lo gue kasih deh!" Langit mengoceh saat berada di perjalanan pulang.

Bintang membiarkan pemuda itu mengoceh sambil terus menyetir. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala dan tersenyum tipis. Ia baru pertama kali menemukan orang yang seperti Langit, yang selalu punya cara untuk membuatnya tersenyum. Meskipun ia masih malu untuk menunjukkan senyum itu di hadapan Langit.

"Tadi, yang warna hitam itu, Bin, maco banget ya? Cool, cool, gimana gitu."

Langit membelokkan setirnya saat melihat ada Cafè. Ia tahu kalau Bintang pasti lapar. Dan ia tidak mau kalau gadis itu kelaparan karenanya lagi. Bintang mengernyit di jok belakang saat Langit memberhentikan motornya di parkiran Cafè.

Nama Cafè itu terpampang jelas. Langit menyuruh Bintang turun dan melepas helm. Gadis itu masih bungkam dengan kebingungannya.

"Kita makan dulu. Gue gak mau lo kelaperan lagi. Nanti ngerengek minta donat." ucap Langit sambil membawa kandang yang berisi marmut di dalamnya itu.

Bintang menatapnya. Gadis dengan kacamata yang selalu membingkai wajahnya itu menatapnya datar. Dan selalu seperti itu.

"Udah, gak usah banyak protes, Bin. Lo bawa duit kan? Nanti bayar sendiri, ya!" Langit langsung melengos pergi. Meninggalkan Bintang yang ingin sekali mencakar wajahnya.

~~~

"Bin, gue suka sama lo, tau!"

Itu bukan pernyataan yang aneh lagi di telingan Bintang. Ia sudah tahu. Dan sangat tahu. Hanya saja, ia tak mau menganggap itu serius. Ia malas meladeni sesuatu yang menyangkut perasaan. Ia malas mengambil resiko yang akan datang.

Dengan separuh makanan yang telah dimakannya, Bintang melihat Langit yang hanya menumpukan dagunya di atas lipatan tangan yang ada di meja. Pemuda itu tak memesan makanan, hanya minum saja. Dan juga, memaksa Bintang agar makan. Sungguh, luar biasa memang. Bintang hanya pasrah, lagipula perutnya terasa lapar.

"Lo gak perlu balas perasaan gue, gue cuma mau lo suka karena sikap gue dan emang dari hati lo," lanjut Langit.

Makanan yang sedang dimakan Bintang terasa hambar kalau sudah membahas tentang perasaan dan hati. Malas sekali. Ia menaruh sendok dan menghela nafasnya. Meraih minumnya dan meneguknya hingga habis. Hal itu tak luput dari mata Langit.

"Gimana gue mau suka sama lo, kalo sikap lo aja bikin gue kesel terus?" Bintang bersuara setelah menaruh gelas di atas meja kembali.

Langit menegakkan duduknya, tapi dengan tangan yang masih bertumpu di atas meja. "Emang gue se-ngeselin itu sampe buat lo kesel, ya? Gue sih ngerasanya gue itu asik, lucu, baik, ganteng pula," ujarnya.

"Semua itu gak ada hubungannya sama perasaan, Lang. Kalopun suka, ya, suka aja. Udah, deh, gue males bahas ginian." Bintang menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Gue pikir gue udah berhasil masuk ke hati lo, tapi ternyata belum, ya? Ya udah, gue gak maksa. Mungkin minggu depan gue udah nyelusup masuk ke hati lo."

Langit beranjak. Meninggalkan satu suara hati yang menjerit di dalam sana karena perasaannya terlalu ditutupi rapat-rapat dan tak mau menganggap itu ada.

°~~°

Bintang menyusuri trotoar jalan setelah ke mini market. Ia memakai sweater warna jingga. Dengan kacamata yang terus membingkai iris hitamnya, ia bersenandung kecil. Menapaki jalan itu sambil menikmati udara malam dan kebisingan klakson kendaraan yang bersahutan, meskipun suaranya tidak sekencang jika siang hari.

Kuingin saat ini, engkau ada di sini
Tertawa bersamaku, seperti dulu lagi
Walau hanya sebentar, Tuhan, tolong kabulkanlah
Bukannya diri ini tak terima kenyataan
Hati ini hanya rindu....

Ibu...

Di bawah gelapnya malam, disinari oleh bulan dan bintang yang selalu menampakkan wujudnya, Bintang merasa rindu. Rindu akan kehadiran sosok yang telah berjuang untuknya agar bisa ada di dunia ini. Dunia yang kini malah menyakitinya.

Bintang tahu, tawanya pernah melebur dengan tawa sang ibu yang telah melahirkannya. Meskipun saat itu ia tahu kalau ia belum mengerti siapa ibu yang telah melahirkannya dan ibu yang telah membesarkannya.

Dengan terus bersenandung, Bintang menitikkan air matanya, lagi. Ia menangis untuk semuanya lagi. Semua yang kini telah terjadi. Dan ia ingin semua ini cepat terselesaikan. Tanpa tersisa pertanyaan satu pun.

"Pelukkan ibu yang melahirkan Bintang ke dunia ini yang paling pertama Bintang minta ke ibu setelah kita bertemu. Bintang, mau pelukkan ibu yang paling hangat, Bu ... "

Keinginannya tertiup oleh angin malam dan akan diwujudkan oleh Tuhan. Angin membawa keinginannya pada kenyataan di masa depan, kalau ia akan mendapatkan pelukkan hangat itu. Pelukkan yang sudah lebih dari 16 tahun tak ia rasakan.

•••

Bi(n)lang (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang