Pagi ini Bintang pergi ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Alasannya karena ingin menghindari sosok lelaki yang kemarin mengajukan harapan yang tak bisa ia setujui. Ya, siapa lagi kalau bukan Langit? Ia memakai jaket warna pink softnya, dengan kedua telinga yang tersumpal aerphone.
Setelah memasuki gerbang sekolah, Bintang melangkahkan kakinya menuju taman belakang sekolah yang sudah pasti sepi di jam 06.15 menit ini. Ia tak merasa takut dengan keadaan koridor yang ia lewati itu terasa sepi, sama sekali tidak takut. Dirinya sudah biasa merasakan kesepian ini.
Sampai di taman belakang sekolah, ia duduk di bawah pohon. Memastikan tempat itu bersih untuk ia duduki. Menyimpan tasnya di samping tempatnya duduk. Kemudian menyandarkan tubuhnya di pohon itu. Memejamkan matanya untuk bisa menikmati udara pagi yang sejuk.
Lagu Garis Waktu - Fiersa Besari itu mengalun indah di pendengarannya. Tiba-tiba saja perkataan Langit kemarin masih terngiang di pikirannya. Seolah-olah jika ia menutup mata, ucapan lelaki itu terus menghantuinya.
"Gue nggak bisa lagi percaya gitu aja sama orang. Gue nggak yakin sama ucapan-ucapan lo itu kemaren, Lang."
"Hidup gue gak seindah hidup lo yang dikelilingi orang yang lo sayang, orang yang selalu nganggep lo ada. Orang-orang yang menginginkan lo. Hidup gue jauh dari kata itu."
Masih dengan menutup matanya, Bintang terus mengucapkan kata-kata tentang kehidupannya sekarang ini. Hidupnya berbeda dari satu tahun yang lalu. Kenyataan pahit yang harus ia terima dan ia telan dengan sakit. Kehidupan yang ia tak menyangka akan seperti ini pada akhirnya.
"Takdir hanya Tuhan yang menentukan, Bin."
Bintang membuka matanya, mengecilkan volume musik yang ia dengar, tapi tak melepaskan aerphonenya. Suara itu tepat ada di belakangnya, dan ia tak mau menoleh sedikitpun.
"Lo jangan lari dari masalah, hadapin dengan sabar. Kalo lo terus-terusan ngelak sama takdir dan gak mau nyari kebenaran dan jawaban atas masalah lo itu, ya semuanya gak akan pernah lo tau, Bin."
"Dari dulu, gue pengin jadi orang terdekat lo yang selalu ada buat lo, tapi nyali gue ciut waktu itu. Tapi, sekarang ini, gue gak bisa nahan lagi, Bin. Ijinin gue buat sama lo, gue bakal bantuin lo cari jawaban atas semua masalah lo yang belum selesai."
"Lo pasti bakal ninggalin gue, Langit!" sentak Bintang pada akhirnya mengeluarkan suaranya.
Bintang beranjak dari duduknya dan melepas aerphone dan menaruh ponsel di atas tasnya yang tergeletak di tanah. Ia menatap mata Langit yang tiga langkah di depannya.
Langit menggelengkan kepalanya. "Gue nggak akan ninggalin lo, apapun keadaannya. Kecuali lo yang minta gue pergi. Gue mohon sama lo, Bintang, percaya sama gue kali ini."
"Gue gak bisa percaya lagi sama orang," cetus Bintang. Ia memalingkan wajahnya.
Kemudian ia mengambil tas dan ponselnya. Setelah itu segera beranjak pergi dari hadapan Langit. Namun, tak ia sangka, perkataan Langit pasti akan kembali menghantuinya.
"Kalo gitu gue yang bakal buat lo percaya sama gue, percaya sama orang-orang di sekitar lo, kalo mereka peduli sama lo. Untuk kali ini gue gak akan minta persetujuan dari elo, Bin, gue bakal yakinin lo dengan cara gue sendiri. Gue akan usaha, dan pasti berhasil. Langit ada karena selalu dekat dengan Bintang, dan Bintang sudah seharusnya dekat dengan Langit."
...
Di jam istirahat ini, semua murid memilih untuk menuju kantin sekolah. Tapi berbeda dengan Langit, pemuda itu malah menuju kelas Bintang yang hanya terpaut dua ruang kelas dari kelasnya berada. Di tangannya ia membawa kantung plastik yang berisi roti rasa coklat dan juga sebotolu air mineral.
Langit yakin kalau Bintang berada di dalam kelas. Ia sudah paham di mana gadis itu berada saat di jam istirahat. Ia terlalu sering--bahkan hampir setiap hari--memperhatikan Bintang. Gadis yang sudah menyangkut di hatinya.
Langit memasuki kelas Bintang yang sepi itu. Di dalamnya hanya terdapat Bintang yang sedang menatap ke arah luar jendela sana. Gadis itu duduk di samping jendela, kedua dari belakang. Langit berjalan mendekatinya, dan gadis itu belum menyadari keadaan Langit karena sibuk melamun.
"Bin," panggil Langit sambil meletakkan kantung plastik di atas meja dan duduk di samping Bintang.
Bintang menoleh ke samping. Menatap kantung plastik yang ada di atas meja dengan tidak malas. "Gue beliin itu buat lo, jangan keseringan gak makan pas jam istirahat, Bin. Kesehatan lo juga penting," ucap Langit mengambil roti dan membuka bungkusnya.
"Gue nggak mau," jawab Bintang dengan malas.
Langit menghembuskan napas kerasnya. Tangannya mengambil satu tangan Bintang yang bebas, manaruh roti yang sudah dibuka itu di telapak tangannya. "Mulut lo gak mau, perut lo mau, cacing udah pada demo, tuh," balasnya.
Dalam otaknya, Bintang terus berpikir kenapa Langit dengan repot harus mengurus dirinya? Peduli padanya? Apa motif laki-laki itu?
Gak guna, batin Bintang menyikapi sikap Langit padanya.
Gadis itu mulai memakan rotinya dengan setengah hati. Ia menyandarkan tubuhnya di tembok dan memusatkan pandangannya pada papan tulis di depan kelas.
Lain dengan Bintang, lain juga dengan Langit. Pemuda itu malah terus menatap Bintang dengan berbagai perasaan. Ia tersenyum tipis mendapati Bintang yang mau menurut padanya--meski hanya memakan roti yang ia beri khusus untuk gadis itu. Langit kemudian mengambil air mineral dan membuka tutupnya.
"Pulang sekolah sama gue ya, Bin. Nanti gue tungguin di depan kelas, biar lo gak bisa kabur, hehehe ...."
Langit menaruh air itu di atas meja Bintang dengan tutup yang sudah terbuka. Bintang mengunyah roti itu sambil memantap Langit. "Jangan maksa, pelanggaran HAM namanya!"
Langit tertawa kecil mendengar perkataan Bintang, ditambah dengan muka gadis itu yang lucu saat mengunyah roti. "Sekali aja, Bin, nanti gue nggak akan jadi pemaksa lagi kok." Kebohongan publik. Modal usaha semua laki-laki.
"Lo tau gak, Bin? Gue itu sebenernya mau pindah kelas biar satu kelas sama lo, tapi pas gue bilang minta pindah kelas ke Pak Jojo, eh gak dibolehin. Katanya gini, "kalo kamu mau pindah kelas, ya udah sana pindah sekolah aja sekalian" gitu masa, Bin? Ngeselin banget, kan?" Langit berceloteh panjang. Tatapannya menerawang.
Bintang hampir tersedak mendengarnya. Yang benar saja Langit mau pindah kelas demi dirinya? Hah! Tidak mungkin, pasti itu hanya kibulan Langit saja. Ia tak membalas perkataan Langit tadi, biarkan saja pemuda itu berceloteh semaunya.
"Terus, akhirnya gue nurut deh gak jadi pindah kelas. Tapi, gue kesel harus ngawasin lo dari jauh. Ya ... gak jauh banget sih, kelas kita kan cuma beda dua ruangan doang."
Bintang menelan roti yang ada di dalam mulutnya. Setelah itu berkata, "Gue bukan penjahat yang harus lo awasin, Lang."
"Gue juga tau kali, Bin." Langit menjeda, kemudian melanjutkan kembali, "Mungkin ini aneh menurut lo, tapi bagi gue enggak. Gue tau, kita sekelas pun gak deket banget, tapi bukan berarti gue gak perhatiin lo dulu. Di kelas, di kantin, di lab, di lapangan, di perpustakaan, ya di mana aja pokoknya, pas ada gue terus ada elo, gue perhatiin lo terus, Bin. Coba aja lo tau gue suka perhatiin lo diem-diem, mungkin gue udah dilempar pake sapu sama lo."
Roti yang dimakan Bintang sudah habis, ia meminum airnya. Setelah itu menatap Langit yang sudah lebih dulu menatap dirinya.
"Lo seharusnya gak ngelakuin itu semua, Langit. Masih banyak orang yang pantes lo perhatiin kayak tadi," ujar Bintang.
"Gue tau, tau banget malah. Tapi gue cuma maunya elo."
"Kenapa harus gue?"
"Karena lo Bintang, dan gue Langitnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Ficção AdolescenteSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...