Secara mendadak, orangtuanya mengajak dirinya untuk ikut pergi. Tidak lupa berpesan kalau ia harus berpakaian rapih. Bintang bingung. Namun pada akhirnya, gadis itu tetap manut. Meskipun ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh orangtuanya.
Sekitar pukul tujuh malam, Bintang dan orangtua beserta Cyra, pergi meninggalkan pekarangan rumah. Dengan Papa yang mengemudi mobil dan Mama yang duduk di sampingnya. Bintang duduk di belakang bersama Cyra yang tengah asyik membaca buku cerita anak-anak.
"Pa, kita.., sebenernya mau ke mana?"
Sedari tadi hati Bintang tidak tenang. Seperti ada yang menjanggal di dalam hatinya. Entah apa itu. Ia pun tidak bisa menjabarkannya. Yang jelas hatinya dilanda rasa gundah dan ... takut.
Apa yang akan terjadi setelah ini?
Atau ... Papanya akan membawanya ke ...?
Tidak. Bintang menggeleng pelan. Mengenyahkan pikiran itu. Terlalu cepat, pikirnya.
Putra yang sedang mengemudi itu melirik dari kaca kecil yang menggantung di atas. Tersenyum kecil. "Ada deh. Nanti juga kamu tau."
Tidak ingin bertanya lagi, Bintang menyandarkan tubuhnya pada kursi. Lebih memilih melihat lampu-lampu kota yang gemerlap indah. Setidaknya itu membuat perasaannya tenang, walau hanya sementara.
•••
"Ma, Pa, ini rumah siapa? Kita sebenernya di mana sih?"
Mama dan Papanya saling melirik. Tiwi langsung menggenggam tangan Bintang yang masih menatap rumah megah di depannya. Bahkan rumah itu lebih besar dari pada rumah Mama dan Papanya. Ini di mana?
"Ini ... rumah orangtua kandung kamu, Bintang."
Menoleh cepat. Lalu membulatkan matanya. Menggeleng keras. "Nggak. Nggak mungkin! Mama jangan becanda. Pa, mama bohong kan?" Ia menatap penuh permohonan pada Papanya. Dan kemudian hanya dibalas oleh rangkulan bahu oleh Papanya.
Bintang mundur. Terus menggeleng. Matanya berair. Cyra yang melihat kakaknya seperti itu hanya bisa diam. Ia juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi antara orangtua dan juga kakaknya ini.
"Bintang gak mau! Kenapa gak bilang dari awal?!"
Putra mengembuskan napas beratnya. Lalu memegang kedua bahu anak gadis remajanya itu. "Nak, udah saatnya, papa mohon sama kamu, kita masuk ya? Papa gak mau terus-menerus dilingkupi rasa menyesal. Papa mohon," katanya. Menatap penuh harap pada Bintang yang mengusap air matanya.
Dalam hatinya Bintang juga ingin bertemu dengan orangtua kandungnya, tapi ada satu sisi di mana ia takut. Takut kalau orangtuanya tidak percaya kalau dirinya adalah anak mereka yang sempat pergi dan sekarang datang saat sudah besar. Lalu mengaku sebagai anak? Bukannya itu lelucon yang tidak masuk akal?
Hingga akhirnya Bintang menyerah dan memilih bungkam, mereka mendekati pintu berwarna cokelat itu. Putra menekan bel. Mengabaikan perasaan dirinya sendiri yang berkecamuk. Juga Bintang yang kini meremas jemarinya.
Tidak lama kemudian pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita paruh baya dengan rambut sepunggung. Cukup tinggi. Kurus. Dan wajahnya sedikit pucat. "Ya? Mau cari siapa ya?" tanyanya, heran. Menatap empat orang berbeda usia di depannya.
Bintang memilih untuk menunduk. Memejamkan mata sebentar saat suara lembut itu terdengar. Apakah itu suara ibunya?
"Kami ingin berbicara penting pada keluarga pak Denis. Apa bisa?"
Wanita itu mengangguk dan tersenyum. Membuka pintu lebar-lebar. Menyuruh mereka masuk.
Bintang berjalan melewati wanita itu. Ia mendongak dan tiga detik mata mereka saling tatap dengan senyum yang tidak wanita itu lunturkan, Bintang tertegun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Teen FictionSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...