Part 16

292 44 25
                                    

Bintang pulang ke rumah di jam lima sore karena baru selesai ekskul nyanyi. Ia memasuki area rumahnya saat setelah menutup pagar rumahnya kembali. Tangannya sudah berada di knop pintu akan membukanya. Namun, karena terdengar suara orang berbicara serius, ia urungkan niatnya itu.

Ia mengernyit saat mendengar suara berat milik Papanya itu seperti sedang berbicara serius. Ia menempelkan telinganya di pintu agar bisa mendengar dengan jelas. Entah apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang tuanya itu, ia tak tahu. Dan karena rasa keingin tahuannya ia menguping.

Kali ini terdengar suara milik Mamanya yang berbicara. Ia semakin merapatkan tubuhnya ke pintu dan berusaha agar tidak menimbulkan suara apa pun.

"Seharusnya waktu itu kita gak ngambil Bintang dari orang tuanya."

Bintang mengernyit. Jantungnya berpacu lebih cepat. "Maksudnya apa?" gumamnya.

"Kalo kita gak ngambil Bintang dari orang tuanya yang luka parah waktu itu, mungkin kita belum punya Cyra saat ini." Itu suara Papanya.

Tangan Bintang yang memegang knop pintu itu mendingin. Pikirannya berkecamuk. Pertanyaan-pertanyaan muncul di kepalanya. Dan itu mengganggu sekali.

"Mama cuma takut kalo Bintang tau pasti dia bakalan kecewa sama kita, Pa. Karena seharusnya kita gak jadiin Bintang anak pancingan saat orang tua kandungnya luka parah karena kecelakaan."

Mata Bintang memanas. Apa? Anak pancingan? Serendah itu kah dirinya?

"Mama tenang aja. Kita harus bisa bicarain ini baik-baik sama Bintang. Dan Papa udah pastiin kalo orang tua kandungnya sampai sekarang masih hidup."

Tepat saat semburat warna jingga muncul di ujung barat, Bintang kecewa pada orang tuanya. Ia menahan tangisnya di depan pintu rumah. Berusaha terlihat baik-baik saja.

Ia menarik nafasnya dalam. Dan mengucapkan salam sambil memasuki rumah. Dari raut wajah kedua orang tuanya, Bintang bisa menebak kalau mereka takut ia mendengar semuanya. Tapi, memang ia sudah mendengar. Namun, pura-pura tak tahu apa-apa.

"Papa udah pulang? Kok gak jemput Bintang, sih?" kata Bintang sambil mencium tangan mereka.

Papanya tergagap. "Oh, iya udah pulang. Maaf, lain kali Papa pasti jemput kamu."

Bintang mengangguk. "Bintang pamit ya."

Papa dan Mamanya tidak tahu kalau itu adalah ucapan yang bertanda -aku izin pergi dari sini-. Karena tepat pukul sebelas malam, Bintang pergi dari rumah. Membawa barang dan juga keperluan yang lainnya.

Bintang menangis di setiap jalanan yang ia tapaki. Menangisi semuanya. Kekecewaan. Kepercayaan. Kebahagiaan. Dan atas luka yang kini ia rasakan.

-

"Apa gue serendah itu buat dijadiin anak pancingan sama mereka? Buat apa gue bahagia selama ini, tapi gue cuma anak yang hanya dimanfaatin, Lang? Buat apa?!"

Bintang menangis di sampingnya. Gadis itu menceritakan semuanya. Semuanya yang bahkan ia sudah tahu ceritanya seperti apa. Sudah lebih dulu tahu sebelum Bintang menceritakan padanya.

Sesekali Bintang mencabut rumput yang ada di hadapannya dengan perasaan yang berkecamuk. Ia melepas kacamata yang membingkai matanya. Untuk yang kesekian kalinya, ia menangis lagi. Dan kali ini tepat di samping Langit.

"Terus, orang tua kandung gue kenapa gak nyari gue? Mereka masih hidup! Dan setelah enam belas tahun, mereka gak nyariin gue? Apa semua orang setega itu sama gue, Lang? Hiks ... "

Bi(n)lang (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang