"Ngapain sih lo ngajak gue ke kedai es krim? Gue males, Lang," ucap Bintang sambil turun dari motor dengan raut malas.
Kini keduanya tengah berada di depan kedai es krim yang tidak terlalu besar. Setelah bel pulang sekolah bunyi, Langit langsung menuju kelas Bintang dan menyeret gadis itu untuk ikut dengannya. Bintang yang sudah tahu akan dibawa ke mana itu hanya diam. Mengikuti kemauan Langit yang akan membawanya ke kedai es krim.
Jam munjukkan pukul tiga sore. Namun, cuaca masih panas. Itulah alasan kenapa Bintang malas ke kedai ini. Gadis itu masih memakai helmnya tanpa disadari, tapi langsung memasuki kedai dengan menghentakkan kakinya. Langit yang melihat itu hanya terkikik geli. Pasti setelah ini Bintang akan mengamuk padanya.
Langit yang sudah melepas helmnya itu bercermin di kaca spion motor sebentar. Ia tersenyum miring sambil menatap wajah gantengnya di kaca.
"Udah ganteng aja, Bintang suka sama gue-nya lama. Apalagi kalo gue gak ganteng? Bisa-bisa Bintang gak ngelirik gue sama sekali. Ya Allah, makasih atas kegantengan ini."
Setelah itu, pemuda yang berbicara dengan pantulan dirinya sendiri di kaca itu langsung menyusul Bintang yang kini malah berhenti melangkah. Berbalik badan. Menghadap pada Langit yang menaik-turunkan alisnya. Menggoda Bintang.
"Helm lo belum dilepas, Bintang. Jadi orang tuh yang sabaran kenapa sih?" Bintang malah melotot pada Langit. "Apa? Mau marah? Mau nyerocos karena lo lupa lepas helm dan itu karena gue?"
Langit berhenti di depan gadis itu. Ia membuka pengait helm yang dipakai Bintang dengan tubuh sedikit membungkuk karena tinggi gadis itu lebih pendek darinya. Setelah itu, ia melepas helm dan berbalik menuju motornya kembali untuk menaruh barang itu. Meninggalkan Bintang yang terpaku karena tindakan kecilnya barusan.
Gue gak mungkin baper, gumam Bintang.
Bintang mengerjap. Gadis itu berdecak sebal karena jantungnya sedikit maraton. Pipinya terasa memanas. Lalu memasuki kedai es krim minimalis itu. Bunyi lonceng terdengar. Langit mengekorinya dari belakang setelah menaruh helm di motor.
Bintang duduk di meja pojok. Samping jendela. Ia melepas tasnya dan menaruh di sampingnya. Menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi sambil menarik nafasnya dalam-dalam. Pipinya sudah normal kembali. Tidak terasa panas. Mungkin karena sudah di dalam ruangan. Atau karena ... Oh, tidak!
Baper!
Ia berdecak karena hal itu terlintas di dalam pikirannya. Masa iya dirinya baper? Karena tindakan kecil si Tengil barusan? Yakin?
Bodoh.
Ngapain juga Bintang harus terbawa perasaan?
Gadis itu tak sadar kalau Langit kini sudah duduk di depannya. Dengan dua mangkuk es krim yang sangat indah dipandang, enak untuk dimakan, dan menggoda sekali.
"Nih!" Menggeser mangkuk es krim ke hadapan Bintang. Namun tak ada respon dari gadis itu. "Ngelamun?" tanya Langit.
Bintang mengerjap. Ia menatap mata pemuda itu. Hanya dua detik. Lalu beralih pada es krim yang sudah ada di hadapannya. Daripada ia memikirkan rasa kebaperannya mending langsung memakan es krimnya. Keburu mencair kan mubadzir.
"Ditanya gak dijawab." Langit mengusap kepala Bintang yang menunduk menatap mangkuk es krim itu. Entah dari mana ia bisa dengan tidak canggung mengusap kepala gadis itu. "Udah biasa gue mah. Gak papa-gak papa. Udah kebal juga kan. Udah biasa. Santai aja. Nanti juga diginiin lagi. Udah biasa. Santai, santai," sindir Langit menjauhkan tangannya.
Bintang masih diam. Ia diam bukan karena tidak mau menjawab pertanyaan pemuda itu.
Tetapi, ia terpaku. Dengan pipi yang kembali memanas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Teen FictionSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...