Part 06

440 68 4
                                    

Bintang menghentikan langkahnya di halaman kost-annya. Di sana, di kursi teras depan, ada Wira duduk sambil menatap lurus padanya. Bintang tidak menyangka kalau Wira akan datang ke kost tempat tinggalnya. Entah siapa yang memberi tahu Wira, yang jelas Bintang tidak pernah memberi tahu siapapun tentang tempat tinggalnya yang sekarang.

Bintang terpaku di tempatnya berpijak. Sementara Wira berjalan menghampirinya. Bintang masih bertanya dalam hati, darimana Wira tahu ia tinggal di sini? Apakah kakak sepupunya itu mengikuti dirinya saat pulang?

"Kak Wira ngapain? Kenapa di sini?" Pertanyaan tak suka itu keluar dari mulutnya.

Wira berusaha menggapai tangan Bintang untuk ia genggam. Namun gadis itu menghindar. Ia menarik napasnya dalam sebelum berbicara.

"Ketemu kamu," sahut Wira santai.

"Kakak pulang sana."

"Tega kamu ngusir kakak? Sumpah ya, Bin, kamu kenapa gini sama kakak, sih?"

Bintang diam. Ia malah menundukkan kepalanya. Tak berani menatap mata Wira. Karena saat menatap matanya, ia menjadi teringat akan Papa-Mama dan adiknya. Membuat kerinduan yang ada dalam hatinya itu semakin menjadi.

"Kenapa diem? Jawab kakak, Bintang."

"Kalo kamu nggak mau pulang, ya gak papa. Kakak ngerti gimana perasaan kamu. Gimana kecewanya kamu sama Papa-Mama kamu yang udah nyembunyiin hal sebesar itu dari kamu. Tapi jangan pernah berubah sama kakak, Bintang."

Wira mendekat dan memegang kedua pundak Bintang yang masih menunduk. Bahkan, mungkin gadis itu akan menangis.

"Nggak papa kalo kamu mau tinggal di sini. Tapi, kamu juga harus mikirin perasaan Papa-Mama kamu. Mereka nyariin kamu, Cyra nangis terus kangen kamu. Bintang nggak kangen? Kak Wira kangen Bintang."

Tangis Bintang pecah saat itu. Memeluk tubuh Wira yang selama ini selalu menjadi pelindungnya, yang mengerti apa kemauannya dan yang selalu sabar untuk selalu menjadi pengingatnya. Wira memang kakak sepupunya, tapi Wira juga sudah seperti kakak kandungnya sendiri.

Wira memeluk Bintang sangat erat. Sudah sebulan ia membiarkan Bintang pergi dan menenangkan diri semaunya. Tapi, setelah ia membiarkan gadis itu sendirian selama satu bulan, nyatanya Bintang tak kembali ke rumah. Sejak saat itu Wira mulai mencari dan mengunjungi sekolah Bintang untuk melihat apakah gadis itu baik-baik saja atau tidak. Dan ternyata, Bintang memang baik-baik saja. Tapi itu hanya dari luar. Bukan dari dalam hatinya yang sedang kacau.

"Bintang masih mau tinggal di sini? Nggak mau pulang ke rumah dengerin penjelasan Papa-Mama dulu?"

Masih dalam dekapan hangat itu Bintang menggeleng lemah. Ia belum siap sama sekali bertemu dengan mereka. Mereka yang membuat ia tahu kalau kenyataan menyakitkan itu seperti sekarang ini. Kenyataan yang kenapa baru ia tahu kebenaran yang sebenarnya?

Wira tersenyum. Mengecup pucuk kepala gadis itu. "Ya udah, nggak papa. Tapi, kalo kakak main pintunya dibukain, ya?"

Bintang mengangguk sambil mengeratkan pelukannya. Rindu terobati pada Wira. Masih tersisa tiga orang lagi yang rindunya ia pendam dalam-dalam.

"Utuk-utuk-utuk, Sayang ... Udah lepas. Tadi nyuruh pergi, sekarang meluk gak mau lepas-lepas," gurau Wira.

Bintang menjauhkan tubuhnya dan mengusap pipinya yang basah. Wira merapihkan rambut gadis itu yang berantakkan entah karena apa.

"Denger. Semua sayang sama kamu, gak ada yang gak sayang. Papa, Mama, Cyra, kakak, sayang sama kamu. Jangan pernah ngerasa sendiri. Jangan pernah benci mereka yang sayang sama kamu. Bintang selalu memberi kehangatan dan menyinari kehidupan kita. Bintang akan menjadi orang yang banyak disayangi dan dicintai orang lain. Oke?"

Wira memberi senyuman terbaiknya. Selalu seperti itu. Ia yakin kalau suatu hari nanti, Bintang akan mau mendengarkan semua penjelasan untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya.

Bintang tersenyum manis. "Makasih, Kak Wira. Maafin, Bintang. Tapi, untuk saat ini, Bintang masih mau tinggal di sini."

"Nggak papa. Kalo ada apa-apa hubungi kakak aja."

Bintang mengangguk. "Bintang butuh gitar," katanya. Setelah itu tersenyum kuda.

Wira tertawa pelan. Dalam hati ia bersyukur kalau Bintang sudah kembali seperti Bintang yang dulu. Yang selalu manja kepadanya. Dan ia suka.

"Ya udah, nanti malem kakak bawain ke sini. Gitarnya di kamar kamu kan?"

"Iya. Di pojok kamar kalo nggak salah."

"Emang buat apa?"

"Buat latihan lomba. Kurang lebih dua bulan lagi bakalan ada lomba nyanyi vokal. Bintang yang jadi perwakilan sekolah. Ngeselin nggak sih, Kak?" tanyanya sambil cemberut.

Wira hanya menarik hidung Bintang. Dan dibalas tabokkan dari gadis itu. Bintangnya sudah kembali. Meskipun setelah tahu kebenaran yang sebenarnya, ia hanya berharap semuanya akan baik-baik saja.

...

Keesokan harinya. Setelah bel pulang berbunyi.

"Bintang! Pulang, yuk?"

Tahu itu suara siapa? Suara penuh kegirangan dan kebahagiaan terselip di sana. Suara sang Langit yang selalu saja terlihat ceria di setiap waktunya.

Tepat setelah bel pulang berbunyi nyaring. Langit sudah menstaykan dirinya di depan kelas Bintang. Tujuannya untuk mengajak gadis itu pulang bersama. Hitung-hitung melancarkan misinya. Misi untuk tetap dekat dan bersama Bintang, dan juga untuk membuat gadis itu percaya sepenuhnya dengan dirinya.

Bintang keluar kelasnya bersama Alani. Dalam hati ia meringis mendapati Langit di sana. Sementara Alani menyenggol lengan Bintang, meledek.

"Acie, ditungguin Langit."

Bintang mendengus. "Apaan sih, Lan."

Alani hanya terkekeh geli. Kemudian pamit pulang lebih dulu. Menyapa Langit saat melewati lelaki itu. Bintang berdiri di hadapan Langit.

"Gue mau latihan dulu," kata Bintang.

"Dih, emangnya ada yang nanya ya?" Langit bercanda sambil menaikkan satu alisnya.

Bintang berpikir. Ah iya benar juga kata Langit. Ya maksudnya itu memberi tahu kalau Langit pulang sendirian saja. Toh, ia juga tak meminta Langit untuk pulang bersama atau sejenisnya.

"Bodo amat!" ketusnya. Berlalu dari hadapan Langit.

Langit tertawa. "Ya udah, gue tungguin lo latihan sampe selesai kalo gitu."

Bintang berbalik badan. "Nggak usah," cegahnya.

"Kan gue mau proses pencairan es kepercayaan dalem hati lo itu berjalan mulus. Makanya gue mau nungguin lo."

"Es kepercayaan? Apaan deh lo, Lang!" Bintang berbalik badan kembali menghadap depan.

Langit mensejajarkan tubuhnya dengan Bintang. Mereka berjalan beriringan menuju ruang musik yang berada di lantai satu. Sementara mereka kini di lantai dua.

"Nih ya, kan gue mau lo percaya sama gue. Jadi, gue harus mencairkan es kepercayaan yang ada di dalem hati lo itu biar percaya sama gue. Percaya kalo gue bakal selalu ada buat lo, di samping lo, selalu support lo dalam keadaan apapun. Dan ...."

Langit menggantungkan ucapannya. Bintang menoleh sambil mengernyit. "Dan?" beonya.

"Dan sayang sama lo, hehe.."

Krik. Krik.

"Garing!"

Hati Langit mencelos seketika. "Judes banget ya ampun." Dengan dramatis ia berbicara seperti itu.

Bi(n)lang (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang