Part 15

340 47 32
                                    


Seorang wanita paruh baya menatap foto yang ada dalam genggamannya. Entah sudah keberapa kali air matanya lagi-lagi turun membasahi pipinya yang tirus itu. Dan entah sudah keberapa kali ia berharap kalau keluarganya itu utuh kembali. Lengkap tanpa kekurang satu anggota pun.

Ia menatap foto dirinya, suami, anak laki-laki dan juga gadis kecil yang baru berusia satu tahun dalam gendongannya. Foto itu diambil ketika acara ulang tahun anak perempuannya. Dan sekarang, ia sedang mengenang masa-masa itu. Masa di mana gadis kecil yang selalu dalam gendongannya itu sudah tak pernah ia lihat dan ia sentuh selama 16 tahun terakhir ini.

Sejak kejadian itu, kejadian di mana yang membuat ia dan sang suami kehilangan gadis kecilnya, ia selalu berharap kalau anaknya itu dapat kembali dan bersama dengannya lagi. Namun, selama bertahun-tahun ia mencari dan menunggu, tidak ada hasilnya. Nihil. Anaknya tak bisa ditemukan dan tidak pernah kembali. Tapi ia yakin kalau anaknya itu masih hidup.

Dan tanpa ia sadari kalau jarak mereka kian semakin dekat.

×××

Suasana di dalam kelas sangat ramai bak acara pasar barang loak yang dihadiri oleh ibu-ibu. Kelas XI IPA 2 saat ini sedang tidak guru yang mengajar. Seharusnya saat ini mereka tengah belajar pelajaran Olahraga. Namun, di karenakan gurunya sedang tidak berangkat, jadilah jam kosong tercipta.

Sebagian murid sedang tidur, dan sebagiannya lagi sedang mengobrol dan semacamnya. Bintang, gadis itu sedang mengobrol dengan Alani dan juga beberapa teman kelas yang lainnya. Meskipun ia memang tidak terlalu dekat dengan mereka seperti Alani, tapi ia masih bisa menyeimbangi obrolannya. Dan mungkin, ia akan belajar terbiasa dengan mereka mulai saat ini.

Meja tempat duduk Bintang dan Alani sedang dikelilingi oleh Fikri, Heru, Fatin dan juga Caca--gadis yang dijuluki si heboh di kelas IPA 2. Mereka duduk sambil mengobrol. Dan ternyata, ini hal yang tidak buruk bagi Bintang. Ini ... menyenangkan?

Ternyata benar. Kita hidup bukan hanya tentang diri kita sendiri. Tapi, kita hidup juga membutuhkan orang lain dan orang lain pasti akan membutuhkan itu dalam kurung waktu yang tak bisa kita tentukan dan kita tebak.

"Oh, iya, Bin. Waktu kemaren itu yang lo pergi ijin itu kenapa?" Pertanyaan yang sedikit sensitif itu diajukan oleh Alani. Pasalnya, ia lupa jika mau bertanya seperti itu pada Bintang. Dan baru sekarang ia mengingatnya.

Bintang menatap teman kelasnya secara bergantian. "Emm ... Mama gue masuk rumah sakit," jawabnya.

"Rumah sakit? Terus, sekarang keadaan nyokap lo gimana?" tanya Caca yang duduk di samping Bintang. Membuat gadis itu sedikit kaget mendengar suaranya yang agak memekakkan di telinganya.

"Udah gak papa. Katanya, hari ini udah boleh pulang."

Mereka berucap kata syukur mendengarnya. Fatin yang duduk di samping Heru itu bertanya pada Bintang.

"Lo lagi deket sama anak IPA empat?"

Bintang menaikkan satu alisnya. "Anak IPA empat? Siapa?"

"Yang waktu itu ada di depan kelas pas lo ijin pergi. Langit, ya, namanya kalo gak salah?" Fikri memastikan.

Emang gue deket ya sama tuh anak tengil? batin Bintang.

"Dia temen kelas gue pas kelas sepuluh," kata Bintang.

"Dih, jangan ngelak lo! Kita setuju kok kalo lo sama si Langit-Langit angkasa itu deket." Caca nyerobot tanpa ada titik dan koma. Membuat Heru ingin sekali meraup wajah gadis itu.

"Ngomong itu pake titik koma, Ca!"

Caca hanya nyengir kuda mendengar teguran Heru.

"Udah, bahas yang lain." Bintang berusaha mengalihkan topik.

Ia bingung sendiri. Sebenarnya itu Langit gebetannya? Atau teman saja? Tapi, kok Bintang rasanya beda ya? Kayak ada manis-manisnya gitu.

•~•

Sepulang sekolah.

Langit mengajak Bintang ke danau saat pertama kali ia tunjukkan pada gadis itu tempo hari. Bintang tidak protes sama sekali saat akan diajak ke tempat itu. Gadis itu hanya mengiyakan ajakan Langit.

Hanya dalam waktu setengah jam, mereka berdua telah sampai di danau itu. Mereka berjalan memasuki area hijau itu beriringan. Kemudian duduk di atas rumput sambil memandang danau yang ada di hadapannya.

Di sana sepi. Hanya ada segelintir manusia. Termasuk Langit dan Bintang. Langit menengok ke kanan dan kiri untuk mencari batu krikil. Saat menemukannya, ia mengambil krikil itu. Ada sekitar sepuluh batu krikil yang ia taruh di antara dirinya dan Bintang.

Langit melemparkan batu itu ke dalam danau. Membuat bunyi plung-plung terdengar sangat jelas karena suasananya yang sepi. Pemuda itu nampak senang mendengar suara yang dihasilkan dari batu yang ia lempar ke dalam air.

Sedangkan Bintang, gadis itu masih diam dan hanya memperhatikan Langit. Dilihatnya pemuda itu kini berhenti melemparkan batu ke danau. Dan menatap balik Bintang yang tercyduk sedang menatapnya.

"Kenapa? Mau?" Langit mengangkat batu ke hadapan Bintang. Dan langsung dijawab dengan gelengan. Kemudian Langit melemparkan batu itu ke danau kembali.

"Bin, apa lo belum siap buat cerita semuanya sama gue? Tentang masalah lo sama nyokap-bokap lo itu. Waktu lo buat ngedengerin penjelasan mereka tersisa empat hari lagi. Sedangkan gue belum tau masalahnya, kan? Kata lo, lo butuh gue saat itu. Kalo lo butuh gue, seharusnya lo cerita dulu sama gue biar gue gak planga-plongo pas nemenin lo nanti. Kayak orang bego dong gue." Langit membeo panjang lebar sambil terus melempar batu.

Bintang terdiam. Haruskah ia bercerita? Haruskah ia menjelaskan masalahnya? Masalah yang membuatnya harus pergi sementara dari rumah.

Melihat Bintang yang hanya diam saja, Langit kembali berbicara. "Gue tau, lo gak gampang percaya sama orang. Gak gampang interaksi bebas kayak yang lain. Lo itu ... apa, ya? Semacam kaku ... ya gak kaku amat sih sebenernya. Lo itu cuma terlalu males buat ngomong sama orang banyak. Ya, kan? Iya dong pasti."

Bacot sangat lo Langit angkasa jagat raya, batin Bintang.

"Bibir gue nanti dower karena banyak omong. Males," ucap Bintang.

Langit tertawa saat melemparkan batu terakhirnya ke danau. Mendengar kata 'dower' tadi, ia tak habis pikir dengan ucapan gadis yang ada di sampingnya. Teori darimana itu kalau banyak omong bisa jadi dower?

"Teori darimana itu, Bin? Ngaco lo!" kata Langit setelah berhenti tertawa.

"Gak usah ketawa! Gue cuma banyak omong sama lo doang. Itu juga karena gue kasian ngedenger lo ngerocos sendirian gak disahutin."

Langit menarik ujung rambut Bintang yang gadis itu kuncir. "Halah! Ngelak aja terus! Lo kan emang udah nyaman sama gue, makanya jadi banyak omong!"

Bintang menabok lengan pemuda itu dengan gemas. Kebiasaan sekali Langit ini, pasti selalu menarik rambutnya. Kalau rambutnya tercabut bagaimana? Susah-susah ia manjangin rambut nanti hanya dalam sekejap bisa ilang karena hanya ditarik oleh Langitai anaknya ibu Litta.

"Langit, gue gak suka lo narik rambut gue. Sakit!"

Langit jadi merasa bersalah. Lalu sisi modusnya keluar. Itulah kenapa ia menarik rambut Bintang agar bisa melancarkan aksi modusnya yang satu ini.

"Aduh, maaf ya, Bi-Binku. Sini, gue elus-elus palanya."

Bintang menepis kasar tangan Langit yang akan mengelus kepalanya. Dasar modus!

"Elusin aja noh kepala Badak! Jangan kepala gue!" teriaknya.

Langit tertawa mendengar teriakan Bintang.

×××

Bi(n)lang (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang