"Gue boleh gandeng tangan lo?"
Di bawah sinar bulan dan bintang yang ada di atas langit sana. Gadis di depannya itu tersenyum kecil dan mengaitkan jari kelingking mereka.
Langit speechless! Sangat-sangat hngg sekali untuknya. Pikirannya sudah berkelana ke mana-mana. Apakah Bintang sudah mau mempercayainya? Apakah Bintang sudah mau memberinya kesempatan? Apakah Bintang sudah mau membuka hati untuknya?
Oke. Sepertinya opsi terakhir harus ia buang jauh-jauh dari otaknya. Tak mau berpikir lebih. Kalau tak terjadi nanti pasti sakit hati.
Langkah kecil Bintang mendahuluinya di depan. Langit masih terdiam dengan keterkejutannya. Dengan jari kelingking yang masih menyatu, mereka berjalan menyusuri pasar malam.
Langit berdehem. Kemudian menyamakan langkahnya dengan langkah Bintang. "Mau ke mana dulu?" tanyanya.
Bintang mendongak sambil menoleh ke samping. "Ke mana aja, terserah sama lo."
"Mau naik wahana? Atau kuliner sama main game?"
Bintang berdecak sebal. "Terserah. Tapi jangan naik wahana."
"Oke. Kita main game dulu kalo gitu. Ayo, Bin!"
Di depan sana, banyak stand permainan yang sangat menggiurkan untuk dimainkan. Banyak permainan yang bisa dimainkan. Dan Langit memilih satu permainan pertamanya, yaitu memasukkan bola pimpong ke dalam gelas kecil dengan jarak 3,5 meter.
"Masukin yang bener, Lang!" seru Bintang. Membuat Langit tersenyum lebar.
"Pasti masuk nih, Bin. Lo tenang aja."
Ada tiga bola dalam genggaman tangan Langit. Satu bola di tangan kanan dan dua bola di tangan kiri. Langit mengambil ancang-ancang untuk melempar bola itu agar masuk ke dalam gelas. Membuat beberapa pengunjung pasar malam menatapnya.
"Bismillah. Untuk Bintang," gumamnya dalam hati.
Asik. Untuk Bintang katanya.
Langit melempar bola itu dan langsung masuk ke dalam gelas. Ia bersorak heboh. Tak butuh menghabiskan semua ketiga bola itu, tapi ia sudah bisa melemparnya masuk ke dalam gelas.
Langit bersorak, sedangkan Bintang bertepuk tangan sambil tertawa kecil. Kemudian Langit mulai melempar bola itu. Meleset. Bola kedua tak masuk. Berlanjut ke bola ketiga, dan tetap meleset. Oke, tak apa. Yang penting sudah masuk bola yang pertama tadi.
Langit bertanya pada Bintang, hadiah apa yang mau diambil. Tapi, kata gadis itu terserah Langit saja karena ia yang berhasil melemparkan bola itu masuk ke dalam gelas.
Hadiah yang disediakan bukan cuma boneka, tapi ada juga topi, gelang dan semacamnya. Langit memilih dua gelang berwarna hitam. Untuknya dan untuk Bintang.
"Gue ambil ini gelang, Bin. Lo mau ambil satu?"
"Boleh?"
Langit tersenyum. "Boleh lah, nih." Kemudian memberikan satu gelang itu pada Bintang dan gadis itu langsung memakainya.
Langit memakai gelang itu juga. Setelah itu mereka mencari stand permainan yang lainnya. Dan tujuannya adalah stand permainan ketapel kaleng. Permainan kesukaaan Bintang. Gadis itu menarik jari kelingking Langit dengan semangat.
"Mau main ini," katanya. Sangat semangat sekali. Langit berusaha mati-matian agar jantungnya itu tidak berdegup kencang.
Langit memberikan ketapel dan tiga buah kelereng pada Bintang setelah membayarnya. Permainannya kali ini adalah dengan cara menapel kaleng yang ditumpuk itu dengan kelereng yang diarahkan ke sana.
Bintang bermain bukan karena ingin mendapatkan hadiah. Tapi karena ingin merasakan sensasinya. Sensasi saat menapel kaleng kosong itu. Sensasi senang saat kaleng itu jatuh dan sensasi kesal saat kaleng itu tidak kena sasaran.
Bintang mulai mengarahkan ketapel itu. Mengambil titik utamanya agar kelereng itu bisa tepat sasaran. Sementara Langit terus memperhatikan wajah Bintang yang serius itu.
Bintang menapel kaleng dengan kelereng pertamanya. Namun, gagal. Kelereng kedua, tetap gagal. Tinggal satu lagi. Biasanya jika sesuatu yang terakhir itu akan berhasil dan berjaya. Dan benar saja. Kelereng ketiga itu berhasil meruntuhkan kaleng-kaleng kosong itu.
Bintang bersorak heboh. Langit tertawa melihatnya. Akhirnya.
Bintang memilih hadiahnya. Sempat bingung untuk memilih hadiah apa yang ia inginkan. Setelah berpikir dan melihat hadiah yang disediakan. Akhirnya pilihan Bintang jatuh pada pulpen. Ya, pulpen berbentuk kepala Unicorn di ujungnya. Lucu sekali.
"Langit, mau warna apa?" tanyanya.
Langit menaikkan satu alisnya, bingung. "Apanya?"
"Lo mau pulpen warna apa? Biru aja ya? Kan lo Langit, langit kan warna biru," kata Bintang.
Langit hanya mengangguk saja. Bintang mengambil pulpen warna biru dua-duanya. Lalu ia masukkan ke dalam tas yang ia pakai. Akan ia berikan pada Langit nanti.
Setelah itu, mereka kembali beraksi. Menuju stand permainan yang lainnya. Sangat asyik untuk keduanya. Melupakan sejenak masalah dan urusan yang mengganggu otak dan pikirannya.
Bintang senang. Langit bahagia. Dan semesta akan mengijinkan mereka bersama setelahnya.
Langit mengajak Bintang ke salah satu stand makanan yang cukup besar dan juga sepertinya makanan dan minuman di sana lengkap. Mereka duduk di salah satu tempat yang sudah disediakan setelah selesai mengantre dan menunggu makanannya jadi.
"Bin, fotoin gue dong. Tapi ala-ala candid gitu," ucap Langit.
Hampir saja Bintang tersedak minuman yang sedang ia minum. Ia menatap Langit tak percaya. Pemuda itu benar-benar serius dengan ucapannya dan langsung menyodorkan ponselnya pada Bintang.
Bintang menerima ponsel Langit yang sudah terbuka aplikasi kameranya. Langit bergaya dengan matanya melirik ke samping dan sedang menyedot minumannya. Ganteng sih, cuma sedikit menyebalkan mukanya.
Cekrek
Dapat. Bagus. Cakep. Ganteng. Bintang memberikan ponsel itu kembali sambil menahan bibirnya yang berkedut ingin tersenyum. Langit melihat fotonya sendiri dan tertawa.
"Narsis banget sih lo, Lang," cibir Bintang.
Langit memasukkan ponselnya ke saku celana. Ia terkekeh. "Sekali-kali, mumpung sama lo," sahutnya.
"Lang?"
"Hem?"
Aura serius mulai muncul. Jantung Langit deg-deg di dalam sana. Ia takut kalau Bintang akan mengucapkan sederet kalimat yang tak ingin ia dengar. Namun, kenyataannya salah. Ucapan Bintang malah membuatnya tersenyum lebar.
"Gue mau percaya sama lo."
•~•
Setelah Langit mengirimi Bintang chat.
Bintang membaca chat yang masuk dari Langit. Ia sempat heran kenapa pemuda itu mengajaknya keluar di malam Minggu ini. Sebenarnya Bintang malas, tapi setelah ia pikir lebih dalam. Akhirnya ia menyetujuinya.
Bintang berpikir kalau kapan ia akan bisa percaya pada Langit kalau ia saja tidak pernah mau memberi pemuda itu kesempatan? Apakah ini sudah saatnya ia terbuka pada Langit? Apakah pemuda itu akan bisa menjaga rahasia tentang masalahnya?
Bintang menatap langit-langit kamarnya yang putih polos. Ia akan memutuskan malam ini. Memutuskan sebuah keputusan yang sudah ia yakini dalam hati.
Selama setengah jam bergelut dengan keputusan itu, akhirnya Bintang menemukan keputusannya. Keputusan untuk mempercayai Langit.
Meskipun pada akhirnya kepercayaan itu akan dipatahkan suatu hari nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Teen FictionSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...