"Pagi, Bintang!" sapa Langit bersemangat.
"Hm, pagi."
Langit tersenyum lebar saat Bintang membalas sapaannya. Pemuda itu berjalan di samping Bintang. Menyusuri koridor demi koridor sekolah yang mulai ramai.
Hari ini, mereka berdua tidak berangkat bersama. Bintang sudah jarang berangkat bersama dengan Langit. Gadis itu berangkat bersama Papanya. Saat pulang, terkadang ia bersama Langit, atau bersama ojol.
"Ini hari apa, Bin?"
Bintang memilin bibirnya. Ia menoleh ke samping dan sedikit mendongak karena tingginya hanya sebatas bahu Langit. "Selasa," sahutnya pendek.
Langit tersenyum lebar hingga giginya terlihat jelas. "Oh iya, selasa. Selasa gue ingin deket sama lo terus-terusan." Ia kemudian tertawa geli setelah mengatakan itu.
Bintang melihat Langit dengan datar. "Serasa!" koreksinya dengan nada sewot.
Langit tidak tahan untuk tidak mengacak rambut gadis itu yang tergerai bebas hingga ke punggung. Semakin hari, semakin menjadi sisi gemas Bintang. Itu baginya. Langit merasa kalau gadis itu kian semakin menggemaskan dengan sikap diam Bintang. Tetapi jika berbicara, selalu saja judes. Dan akan cerewet jika ia mengerjai gadi itu.
Hanya karena sentuhan di kepalanya, Bintang langsung meremas tali tas dengan kedua tangannya. Menahan gejolak aneh yang kini ia rasa mulai tumbuh di perut dan di dadanya. Ya ampun, ini ia kena penyakit apa?
Dengan terus berjalan, Bintang hanya diam. Gadis itu mempercepat langkahnya. Meninggalkan Langit yang sedari tadi sudah mengoceh ini-itu. Bintang bahkan tidak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Langit karena ia sibuk memikirkan gejolak yang ia rasa.
Gejolak apa sih ini? Ganggu ketenangan jantung aja! gerutunya dalam hati.
•••
"Bin, ayo ke kantin! Nggak suntuk apa di dalem kelas mulu? Ayo, manfaatin waktu di sekolah itu dengan baik. Salah satunya, ke kantin bareng-bareng, hehehe ..."
Mendengar ajakkan Caca, Bintang tersenyum tipis dan mengangguk. Menyetujui ajakkan teman kelasnya itu. Tangan Bintang kemudian ditarik oleh Caca untuk keluar kelas menuju kantin. Alani dan Fatin juga ikut ke sana.
Mereka berempat berjalan menuju kantin yang ada di lantai dua. Yang berada di sana, kebanyakan anak tingkat XI karena itu wilayah mereka. Mungkin ada anak tingkat X dan XII yang di sana, tapi hanya beberapa.
Caca memeluk lengan Bintang. Tidak mau jauh-jauh dari gadis kalem itu. Caca terus mengoceh, dan Bintang hanya terkekeh atau membalas seadanya. Alani dan Fatin yang berjalan di belakang Bintang dan Caca, terkadang ikut menyeletuk saat mendengar ocehan Caca yang tidak jelas.
"Berisik, Ca! Kuping gue panas denger lo ngoceh mulu!" kata Alani dengan nada tidak suka.
Caca langsung menoleh ke belakang sebentar. "Idih! Yodah sih gak usah didengerin. Lagian gue ngoceh sama Bintang, bukan sama lo. Wlek!" Menjulurkan lidahnya mengejek Alani.
Fatin tertawa. Bintang hanya terkekeh. Ia baru tahu kalau Caca dan Alani sepertinya mulai bermusuhan dan akan selalu beradu mulut. Saling protes dan sindir.
"Heh! Gimana nggak denger kalo suara lo aja kek toa mesjid? Nyadar ya, Ca, lo doang yang ngoceh. Bintang dari tadi diem aja tuh. Bahkan gue yakin, Bintang pasti sebenernya udah mabok darat karena ocehan lo." Ucapan Alani memang sarkas tiada tanding.
Caca hanya menghentakkan kakinya kesal mendengar itu. Lain kali, ia tidak akan meladeni Alani. Pasti nanti temannya itu akan berkata dengan sarkas lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bi(n)lang (SELESAI)
Ficção AdolescenteSaat latar belakang kehidupan yang sebenarnya baru ia tahu, dirinya jatuh. Memeluk lara. Mendekap kecewa yang menumpuk dalam dadanya. Menahan sesak yang menghimpit. Kian semakin sesak ... Dan dirinya, tidak bisa berdiri lagi. Jatuh ... Dalam lubang...