EMPAT

81 9 4
                                    

Perasaan gengsi yang tinggi itulah yang membuatku tidak pernah berkembang. Kesempatan yang ada di depan mata, aku sia - siakan begitu saja. Tapi jika aku berandai - andai, kalau saja kesempatan itu kugunakan. Apakah takdir itu berubah? Tunggu, perandaian seperti apa? Hanya kata 'kalau' tidak akan mengubah nasib dan takdir. Aku tahu penggunaan kata itu, kata yang membuatku ingin menjadi time travel. Berharap untuk kembali ke masa lalu, akan ku ubah jalan yang selama ini terlalu sulit di lewati gadis kecil berumur sembilan tahun. Bahkan terlalu fiksi jika di tempatkan pada kenyataan. Sesederhana itu pikiranku, setiap kali kesalahan ku buat semudah itulah ku ralat. Dimana setiap saat mengingatnya malah membuatku menjadi depresi. Tapi ingin ku ubah..

Tugas kelompok sialan yang pernah ada dalam hidupku dan tak pernah sekalipun ku kerjakan. Terima kasih, pelajaran yang sangatlah berharga telah mereka selesaikan. Dan tugas kelompok tanpa ada namaku di dalamnya. Mereka terlalu baik - teman sekelompokku - sampai dengan senang hati memberiku sebuah masukkan yang tiada guna. Bukan masalah juga buatku, tapi adilkah mereka berlaku seperti itu? Disisi lain kita semua adalah bocah dengan pikiran naifnya. Bukan begitu, aku sudah sering tidak mengerjakan tugas jadi sudah biasa dan bukan hal aneh buatku. Saking terbiasanya itu bukan menjadi masalah yang besar. Aku salah. Aku akui, tapi aku tidak mau meminta maaf. Dimana ini bukan sepenuhnya salahku. Bukannya sudah untung namaku tidak dimasukkan, harusnya mereka berterima kasih nilai mereka tidak dibagikan kepada beban sepertiku. Walau ini bukan menjadi perundungan pertamaku, tapi menjadi salah satu yang membekas diingatanku. 

Setelah aku tahu namaku tidak dimasukkan ke dalam kelompok, aku hanya bilang, "oke gapapa." Hanya itu saja. Apakah kalian tersinggung jika aku berada di kelompok kalian dan tidak mengerjakan apa - apa dan namaku tidak di tulis dalam kelompok kalian? Coba beritahu letak kesalahannya ada dimana? Separuh dari siswa di kelas mengibarkan bendera permusuhan denganku, separuhnya lagi anak laki - laki yang tidak tahu duduk perkaranya dan tidak ada masalah denganku yang membuat mereka memusuhiku. Aku tak apa. Memang aku itu cengeng, tapi entah kenapa aku tidak menangis saat itu. Walaupun cacian menghujaniku, mata - mata yang seakan melucuti pakaianku di depan umum hingga perasaan gelisah bagai besi yang menjadi alas kakiku untuk melangkah terasa begitu berat. Mungkin kalau bukan sebagai anak kecil kala itu, aku tidak tahu apa yang lebih buruk dari itu.

Apa yang mereka lakukan padaku adalah tepat untukku. Tidak ditulis dalam kelompok, karena aku memang tak mengerjakan adalah sebuah konsekuensi yang kudapatkan. Entah itu ide siapa pula aku tidak pernah tahu sampai sekarang. Sebenarnya tugas kelompok itu pada semester satu kelas tiga. Untuk tugas akhir tahun sebelum libur semester. Kalau dipikir kembali, dari sebuah tugas kelompok aku bisa menyatukan setengah dari seluruh siswa yang ada di kelasku untuk merundungku. Aku hebatkan? Menurutku itu adalah hal terhebat, bahkan ku kira jika menjadi seorang musuh tanpa sebuah kekuatan super, bagaimana menurut kalian?

***

Oke kembali lagi dengan pokok pembahasan sebelumnnya. Aku tidak naik kelas sudah kukatakan juga sebelumnya, aku tak masalah dengan itu dan aku tidak menyesalinya (mungkin). Tidak naik bukan karena tidak pintar hanya.. itu namanya bodoh. Bagi kalian yang pernah tidak naik, kalian bodoh. Tapi lebih bodoh lagi, jika setelah tidak naik kelas bukannya menjadi lebih baik malah semakin sewenang - wenang. Misalnya saja, merasa lebih tua setahun dua tahun boleh bertindak semaunya. Membangkang dengan guru, berkelahi atau berlagak senioritas. Hei, kalau bodoh ya bodoh saja! Jangan semuanya di klaim, kamu mau jadi bodoh kuadrat atau refleksi dari Lucifer. Mungkin aku juga salah, setelah tidak naik kelas malah menjadi sangat ambisius agar mendapat peringkat pertama. Sampai harus mengorbankan waktuku untuk mencari teman.

Tuhan itu punya cara buat umat-Nya bahagia. Ada rasa malu waktu aku nggak naik kelas, bahkan sampai sekarang juga. Gimana sih rasanya? Belum tahu aku perumpamaan yang pas untuk rasa malu ku karena tidak naik kelas.

Mungkin yang pernah nggak naik kelas bisa menjelaskannya. Kalau aku terlalu rumit. Paling mudah itu, merasakan sendiri aja. Info aja ya aku nggak naik kelas cuma sekali saja ya. Gila apa sampai berkali-kali. Saat nggak naik kelas aku langsung sadar dan tobat untuk belajar. Ceilehh gaya banget, hahaha..

Kalau ketemu teman yang dulunya sekelas bareng agak gimana. Rasanya itu aneh. Bahkan aku berpikir atau lebih tepatnya berangan agar bisa menyusul mereka. Tahu dengan pintar dan bisa ikut ke kelas percepatan. Itu kalau di SD ku ada, realita yang ada itu sama sekali nggak ada. Mungkin di SMP, tapi itu juga nggak ada. Waktu di SMA pun, walaupun dulu ada di SMA 1, tapi bukan di SMAku yang sama-sama SMA 1, ada lah yang SMA 1 peringkat satu sekabupaten,  tapi waktu tahunku pendaftaran untuk kelas percepatan sudah di tutup. Kalau masih adapun aku juga nggak mungkin lolos karena nilaiku UN yang tidak sesuai harapan.

***

Aku dan Bully [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang