DELAPAN

44 6 2
                                    

Setelah beberapa hari melamun di jalan dan berhasil membuat dengkul nyium aspal, di tambah hampir ngerusak pagar tanaman punya orang akhirnya aku menemukan sebuah titik terang. Cara paling mudah alias cara paling tolol, aku bertaruh ini bakal berhasil tapi aku tidak menaruh seratus persen akan berhasil juga karena persentase kegagalan dan keberhasilannya tergantung orangnya. Seperti yang kubilang kemarin ada waktu dimana siswi di kelasku akan bekerjasama denganku jika ada sangkut pautnya dengan Reza. Beberapa dari mereka akan setuju membuat Reza bungkam walaupun hanya sehari saja, maka dari itu kita memutuskan untuk rembuk deso di kelas saat Reza tidak ada.

Tiba saatnya hari yang kutunggu - tunggu, pada jam istirahat. Hampir seluruh siswi berkumpul di taman depan kelas, tak lupa dengan sang tokoh utama. Aku sebagai tokoh utama wanita dan Reza sebagai tokoh utama prianya, sekaligus beberapa pemeran pendukung. Secarik kertas bergaris dengan beberapa kalimat ku ambil dari saku bajuku dan kuperlihatkan ke beberapa siswi yang berdiri disamping kiri dan kananku.

"Eh, beneran ini saja syaratnya?" tanya Atik memastikan.

"Kayaknya sudah ini saja. Belum tentu juga bisa dilakuin semua dan kalau terlalu banyak terkesan aku mengada - ngada. Cuma bikin dia diam saja sih, enggak sampai hilang dari muka bumi juga," kataku. Walaupun aku juga menginginkannya benar - benar menghilang.

Wajah cengengesannya itu kadang terlihat menggemaskan tapi tak ayal juga bikin naik darah. Sering sekali aku bertanya - tanya semangatnya itu datangnya darimana? Kenapa bisa hepi terus. Sebuah keusilan yang selalu ia lakukan padaku seperti mencolek lenganku, mencubit pipiku, mengelus kepalaku dan aku hanya bisa menghela nafas ketika itu terjadi. Sepersekian detik aku tidak sadar saat itu terjadi. Aku tahu memang sangat mengganggu, sebagai pembelaan diriku cuma bisa mengelak dan menghindar secepat reflekku bekerja.

"Za, seperti yang sudah aku katakan kemarin. Aku harap kamu sudah siap untuk menerima syaratnya. Pokoknya kamu nggak boleh dekat - dekat aku kalau kamu nggak bisa nyelesain syarat dariku mengerti!"

"Tahu aku. Apa syaratnya cepat!" katanya tak sabaran.

"Syaratnya.." aku ambil kembali kertas yang kuperlihatkan tadi dan kubacakan satu persatu kepadanya sampai selesai. Syaratnya yaitu :

1. Aku nggak suka cowok jelek (Reza gak jelek, tapi menurutku lumayanlah dan syarat pertama sudah terpenuhi),

2. Harus alim (aku tidak menganggap diriku juga alim, bahkan jauh dari dari kata itu. Setidaknya aku lebih suka dekat dengan laki - laki yang mengerti norma),

3. Aku benci rokok (aku tidak kuat asap rokok, apalagi aku harus dekat - dekat anak yang suka merokok. Agak aneh juga aku membahas soal rokok, sebenarnya ada rumor yang mengatakan bahwa siswa di kelasku ada yang merokok walau diam - diam tapi lebih baik aku mengantisipasi),

4. Harus tahan banting (dia sudah sering kubanting),

5. Jangan sentuh-sentuh aku dan jaga bicaramu (sudah sering kukatakan bukan, kalau mulutnya Reza cukup kotor),

6. Nggak boleh buka-buka (ini gimana ya jelasinnya, dia orang yang super duper mesum eh.. jorok. Masa di sekolah buka celana dan ngeliatin celana dalamnya ke semua siswi terutama aku. Apa dia kaga punya rasa malu?)

"Gimana sanggup enggak?" tanyaku, sebelum aku berubah pikiran dan menambah lebih banyak lagi persyaratannya.

Inti dari dibuatnya syarat itu adalah ya memang beneren nggak suka sama tuh orang. Dan pengen bebas dari gangguannya. Dan untuk selanjutnya aku punya kejutan buat dia. Setelah selesai membacakan syarat-syarat itu. Menurut kalian aku kelewatan nggak sih? Kalau aku biasa saja sih.

"Jawab kalau sanggup!"

"Oke, cuma itu. Gampanglah," jawabnya. Cara dia menggampangkan dengan tampang tengilnya itu sungguh membuatku jengkel. Seakan dia bisa melewati semua syarat dariku.

"Gampang ya? Oke kalau begitu." Aku melirik ke arah Atik, "Tik kamu bawa kan yang kemarin aku minta kan?"

"Selalu siap, bentar aku ambil dulu." Atik masuk kelas dan mengambil apa yang aku suruh bawa kemarin.

"Anggap ini sebagai bonus dariku, sebuah hadiah," sambil tersenyum sinis padanya.

Atik datang dan memberikan barangnya kepadaku, "kalau kurang aku ambilin lagi di rumah masih banyak." Dalam buntelan plastik bening yang berisi cabai rawit yang pastinya sangat pedas.

"Oke makasih, Tik."

"Ini hadiah buat kamu!" sambil menunjukan plastik yang berisi cabai rawit padanya. "Siap atau tidak?" tanyaku.

"Oke, aku kasih sepuluh cabai dulu dan kamu harus siap ngabisin tanpa minum, pokoknya jangan dimuntahin ngerti! Harus di telan!"

"An, kebanyakan deh. Lima saja, dia belum tentu bisa kok," kata Atik.

Aku agak menimang - nimang usul Atik, ya tapi kalau 10 biji itu terlalu berlebihan toh kita semua tahu dia nggak suka pedes jadi. "Oke 5 cabai bisa?"

"Ini kasih satu dulu, dimakan di depan kita semua. Ayo!" kuberikan cabainya.

Dia langsung melahapnya, oke ini membuatku takut ya. Antara apakah dia bisa melakukannya atau tidak. Aku sangat-sangat berharap agar dia nggak bisa, soalnya ini menyangkut nama baikku.

"Ayo kunyah jangan di taruh dipangkal lidah apalagi di sembunyiin di bawah lidah!" ujar Atik.

Aku deg-degan parah. Satu cabai berhasil dihabiskan olehnya dengan menyisakan wajah merah kepedesan. Cabai yang keduapun mulai di habiskan tanpa sisa, wajahnya semakin merah semerah tomat matang. Dan cabai yang ketiga hanya dimakan setengahnya dan dia menyerah. Asik.. senang sekali aku. Dia gagal, dia gagal. Horayy!

Aku melihat ke arah Atik. Wajahnya memerah bibirnya juga ikut memerah, "kenapa Tik?" tanyaku.

"Enggak, aku cuma ikut nyoba makan cabainya ternyata pedes banget, padahal cuma separuh lo."

Setengah tak percaya apa yang barusan Atik lakukan. "Ngapain dimakan, kan udah tau cabainya pasti pedes." Aku yang masih terheran.

"Ya gimana lihat Reza makan bikin penasaran. Ya mana tahu bakal sepedes ini."

"Haduh terserah kamulah. Nah gimana syaratnya nggak berhasil kan?"

Ekspresi wajah teman-teman berubah, mereka sedang berfikir. Kalau aku bilang sih itu gagal. Bahkan menghabiskan lima cabai saja nggak bisa, sudah pasti gagal.

"Hem gimana ya?" tanya mereka penuh pertimbangan. Padahal sudah jelas Reza gagal.

"Ya gimana?" tanyaku balik.

"Berhasil menurutku dia sudah berani makan itu dan sampai kepedesan juga. Kalau aku makan pasti nggak bisa nggak kuat, kamu tadi lihatkan aku makan setengah saja sudah kepedesen banget apa lagi sampai hampir tiga gitu. Kalau menurutku berhasil." Pendapat Atik. Dari sepuluh buah menjadi lima dan bahkan setengahnya. Apa sih maunya, yah walaupun awalnya bukan termasuk syarat. Aku cuma mau mengerjainya saja, soalnya perlulah sekali  - kali harus di buat kapok.

"Iya, iya berhasil," kata teman-teman yang lain.

"Loh kok gitu?" aku agak meninggikan suaraku.

"Ya nggak apa-apa, anggap saja berhasil kan syaratnya masih banyak juga. Toh nggak mungkin bisa ngelakuin semuanya juga."

"Ya udah berhasil deh." Akhirnya aku mengalah. Tapi entah kenapa, kok malah mereka jadi kaya membela si Reza. Apa mungkin memang mereka sebenernya maunya begitu. Walaupun awalnya sudah seneng tapi pada akhirnya niat merekm menjatuhkanku juga kalau begini jadinya aku mah bisa apa?

***

Aku dan Bully [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang