Jam kosong di kelasku. Aku bosan yang lain enak bisa ngobrol-ngobrol aku aja nggak ada yang ngajak ngobrol gini. Masa di suruh ngobrol sendiri di kiranya ke sambet aku. Kalau kosong gini, kelasku jadi gaduh banget nggak karuan. Seingatku aku duduk sendiri di deret yang ada meja guru bagian kanan sendiri urutan nomer dua dari depan.
Waktu itu aku teramat bosan dan kalau bosan gini, aku selalu membuka buku tulis bagian belakang dan mencoret-coretnya. Kali ini sih isinya curhatanku, aku menulis kecil-kecil biar nggak ada yang baca. Pokoknya jangan sampai ada yang baca gitu. Aku nulisnya juga kudekatkan dengan wajahku, pokoknya nulisnya bungkuk-bungkuk gitu.
Aku nulis apa ya? Agak lupa sih. Yang ku ingat itu aku nulis gini 'aku benci, benci. Semua selalu jahat padaku.' Terus kalau nggak salah aku juga nulis 'aku nggak suka semuanya, mereka tidak suka aku.' Ya bisa di bilang itu yang ku ingat. Tapi masih ada kayaknya yang aku tulis tidak cuma itu saja. Masalahnya bukunya masih ada atau nggak itu aku nggak tahu.
Tanpa kusadari Riri ada di belakangku dan berdiri sambil membaca coretan dibukuku. Aku sama sekali tidak tahu kapan Riri datang dan ada di belakngku begitu. Kayaknya aku nulis tadi nggak ada siapa-siapa. Mungkin saking asiknya aku nulis sampai-sampai tidak tahu ada orang yang mendekat.
Aku tahu ada Riri itu saat aku berhenti menulis dan melihat sekitar dan boom aku menoleh ke belakang dan melihat wajah Riri yang sedang membaca tulisanku. Saat dia tahu aku melihatnya dia langsung memalingkan wajahnya. Aku kesal karena kelakuan Riri yang menyebalkan. Yah sebenarnya aku belum menyadari kalau Riri itu membaca tulisanku sampai dia memberi tahu ke teman-teman yang lain.
Karena ku tahu Riri tidak membaca tulisanku aku lanjut nulis lagi. Aku semakin rapat dengan meja dan buku. Sampai-sampai aku nggak sadar mejaku telah di kelilingi oleh teman perempuanku. Aku nggak sadar sama sekali nggak sadar keberadaan mereka yang ku tahu tadi mereka sibuk mengobrol.
Tiba-tiba Riri membaca tulisanku yang baru saja ku tulis dengan suara yang cukup lirih tapi aku bisa mendengarnya. Aku terkejut dan reflek langsung menutup bukuku. Aku marah sangat marah. Marahku juga bukan cuma Riri membaca tulisanku tapi teman-teman lainnya juga membacanya juga waktu aku nggak sadar mereka ada.
Aku diam dan memasang wajah kesal sekaligus marah. Aku berdiri dan berhadap-hadapan dengan Riri. Entahlah aku tidak bisa meluapkannya. Setelah saling berhadapan dan saling bertatapan. Aku merasa waktu telah berhenti saat aku sedang berhadapan dengan Riri. Yang kalian pikirkan pasti aku akan memarahinya, ya aku ingin tapi bukan itu.
Wajahku berubah merah, ya marah juga mau nangis. Tapi aku nggak bisa menahan untuk tidak menangis dan aku langsung memalingkan wajahku. Aku langsung duduk dan menelungkupkan badan serta wajahku dan menangis. Aku juga nggak tahu tapi yang terjadi aku malah nangis. Yang lain bingung kenapa aku tiba-tiba menangis. Tapi seharusnya mereka tahu tanpa perlu aku beritahu.
"Kenapa Anna kog nangis?" tanya Atik pada Riri.
"Nggak tahu tiba-tiba nangis gitu."
"An, kenapa?" tanya Tara.
Aku menangis, dan aku nggak mau menjawab pertanyaannya Tara. Entahlah, yang ku ingin cuma menangis saat itu. Tapi Tara tetap bertanya terus padaku, kenapa aku menangis.
"An, jangan nangis. Kamu kenapa?" sambil mengelus-elus punggungku.
"Udah nangisnya. Kenapa An ceritalah!"
"Ri-ri jaha-t." jawabku sambil menangis.
"Riri? Riri ngapain?" tanyanya lagi.
Aku tetap diam dan melanjutkan menangisku.
"Ri, kamu apain sih?" tanya Atik.
"Nggak ngapa-ngapain juga, nangis sendiri gitu."
Aku menarik nafas panjang, "kamu tadi baca tulisanku kan?"
"Iya emangnya kenapa?'
"Nggak boleh!"
"Lah yang baca juga bukan cuma aku aja. Yang lain juga pada baca."
"Jahat kamu!"
"Jahat kenapa coba?"
"Nggak boleh baca, pokoknya nggak boleh ya nggak boleh."
"Kan tadi juga aku lihat ya sekalian baca kenapa sih?"
"Jahat! Kamu baca juga dan kamu bilang sama yang lain kan?"
"Ya nggak apa-apa kan!"
"Nggak boleh, ini kan privasiku."
"Ya udah, aku minta maaf!"
Enak banget ya! Bisa langsung ngomong seperti itu. Yah menurut Riri ini cuma masalah sepele. Ya namanya juga anak-anak bukan. Saat Riri minta maaf ke aku, aku tidak langsung memaafkannya. Aku menenangkan diri dan menghapus air mataku yang tersisa di mataku menggunakan lengan bajuku. Aku memperbaiki posisi dudukku dan menyamping ke kiri menghadap Riri.
Aku menatapnya dengan pandangan yang tidak mengenakan. Intinya masih sakit hati dengannya. Riri tahu aku menatapnya seperti itu wajahnya mulai ketakutan. Dan benar saja dia langsung mengulurkan tangannya ke aku dalam posisi ingin jabat tangan, "maaf!"
Aku langsung membalas jabat tangannya tanpa bicara sepatah katapun kepadanya dan melepas jabat tangan itu. Aku kembali ke posisi dudukku yang tadi dan memasukkan bukuku ke dalam tas. Malas sekali memaafkan Riri, tapi aku bukanlah orang yang mudah memaafkan orang lain tapi harus walaupun berat.
Tara yang masih duduk di bangku depanku memerhatikanku dia mencoba menghiburku setelah Riri meninggalkan bangku. "Udah ya. Sekarang nggak usah nangis lagi. Sudah maaf-maafkan, kan teman sekelas juga."
Aku tak membalas perkataan Tara aku cuma mendengarkan saja apa yang Tara katakan padaku. Untuk saat ini aku tak mau bicara dulu. Aku berdiri dan pergi meninggalkan kelas. Karena masih jam kosong dan guru juga tidak akan datang sampai bel istirahat kedua jadi aku pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahku yang habis nangis ini. Setiap habis nangis selalu saja meninggalkan sembab di wajahku dan warna merah tomat.
Sampai kamar mandi kubuka keran air dan ku basuh wajahku dengan air itu. Dingin dan menyegarkan saat wajahku terkena air. Rasanya lega, tapi entah kenapa malah air mataku mulai keluar lagi. Kupikir semua bisa kuatasi, tapi nyatanya baru segini aku sudah cengeng. Aku kuat aku kuat, kuambil air lagi dan ku basuh cepat di wajahku sampai sudah tidak kelihatan kalau aku habis menangis. Setelah itu kembali ke kelas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Bully [SELESAI]
Teen FictionSiapa sih yang suka dibully? Yang jelas semua orang tidak mau dibully. Tapi kita hidup di circle, bahwa bully itu wajar. Wajar kalo kelebihan dan kekurangan seseorang pantas untuk dirundung. Perundungan yang amat menaikkan derajat si perundung, sert...