TUJUH

55 7 3
                                    

Kapan lagi bisa pinter akademi tapi goblok soal nalar dan logika. Lucu juga kalau aku harus tahu endingnya sebelum tahu jalan ceritanya. Walaupun sudah tahu endingnya masih saja masuk dalam ceritanya. Lama - lama jalan ini terus belok ketikungan yang lebih curam lagi, sehingga tak ada celah untuk berbalik. Sama halnya berkendara di jalan satu arah, kamu tidak akan pernah bisa putar arah jika tidak ada tandanya. Jika nekat, mungkin terjadi kecelakaan atau membuat macet berkepanjangan sekaligus kena semprot pengemudi di belakang.

Riri oh Riri, kuakui dia sangat jenius dalam memanipulasi pikiran seseorang. Terlebih lagi membuat orang berpihak padanya, padahal dia yang salah. Kita berdua tidak selalu bermusuhan, ada kalanya kita juga bisa saling bertukar pikiran. Berdasarkan penerawangan mata batin Pak Soleh yang sebenarnya aku juga tidak tahu Pak Soleh itu siapa, menceritakan masalah pribadimu ke musuhmu adalah tindakan paling ceroboh yang pernah ada. Kecuali musuhmu itu tidak menganggapmu sebagai musuh.

Kukira anak pendiam itu tidak ada musuhnya. Ternyata musuh dalam selimut itu nyata, dari teman paling akrab dari tempat curhat paling aman, ada saja kelakuan durjana yang menyimpan dendam pribadi kepada sosok yang paling mempercayainya. Sudah sangat lama aku tidak banyak bicara dengan Riri, lebih tepatnya Riri yang banyak bicara. Mungkin ini pertama kalinya Riri curhat denganku tanpa ragu dan tanpa waspada. Celah yang begitu jelas, sehingga mungkin saja aku bisa memanfaatkanya. Insting hewan adalah waspada ketika ada yang mendekatinya dengan niat memburu, juga merasa aman ketika mendekatinya dengan membawa makanan. Kamu tidak akan tahu itu sebuah obat atau racun, bisa saja kamu tertipu dengan keduanya. Oke lanjut, si Riri sedang sebal dengan Tara entah apa masalahnya akupun tidak tahu. Orang mah gitu ya, yang lain pada nyelesain masalah, dia malah nyari masalah.

Aku dan Riri duduk diundak - undakan yang menghadap lapangan utama, diantara taman kecil depan kelas, hanya berdua. Ini akan menjadi pembicaraan paling intern dimana sosok yang selama ini terlihat netral dijadikan tokoh antagonis oleh pelakon antagonis itu sendiri. Suasana sekitar terlihat ramai, hanya saja adek kelas yang seliweran ke sana kemari dengan suara porak pendukung kakak kelas yang latih tanding sepak bola. Mendadak atmosfir di antara kita menjadi tegang. Dimulai dengan topik ringan dan basa basi layaknya cengrama anak SD pada umumnya. Lantas saat tokoh netral itu di sebut hal yang basa - basi menjadi intens nyaris ruwet. Aku nggak ada masalah apapun dengan Tara tapi entah kenapa Riri sangat antusias banget membicarakannya.


Sambil memandang ke arah kakak kelas yang melakukan seleberasi paling absurd sampai membuat perut tergelitik, "An, Tara tuh orangnya emang gitu. Dia mah enak ada kakaknya. Waktu kelas dua dia selalu duduk paling depan. Ya karena kakaknya yang minta agar Tara bisa duduk di bangku depan. Kakaknya Tara minta ke aku, agar Tara bisa duduk di depan gantian sama aku. Coba saja kalau nggak ada kakaknya, mana mungkinlah Tara berani. Apa - apa kakaknya, terus kalau ada apa gitu langsung ngadu sama kakaknya yang kena juga aku. Pokoknya nyebelin banget."

Seingatku Riri berani omongin Tara karena Tara sedang tidak berangkat ke sekolah. Oke inti permasalahannya Riri iri sama Tara karena Tara selalu diperhatikan sama kakaknya. Mungkin juga bukan? Dimana Riri dan aku sama - sama anak sulung, tapi aku mencoba berada di posisi Riri. Misal aku duduk di depan lalu tiba -tiba ada orang asing masuk mengusirku dari tempat dudukku. Sebal.. akupun sebal jika itu terjadi padaku, jika seperti itu. Sayangnya saat kelas dua kita tidak sekelas, jadi aku tidak tahu yang benar siapa? Apalagi ini baru opini dari satu sisi, kita hanya bisa menyimpulkan jika kedua belah pihak sudah beropini. Pada masa itu anak - anak pada berebut agar bisa duduk di depan. Anak yang duduk di bangku paling depan di simbolkan sebagai anak teladan. Dan aku selalu mendambakan agar bisa duduk di bangku paling depan. Hal paling aneh yang terjadi ketika aku duduk di bangku paling depan adalah setiap pergerakanku akan selalu terlihat oleh guru, dan itu sangat membuatku risih. Duduk di bangku paling belakang itu asik, walaupun pandanganku selalu tertutup dengan anak yang ada di depanku. Setidaknya aku bisa tidur tanpa harus ragu. Mungkin hobiku adalah tidur di kelas dalam keadaan terjaga. Keuntungan duduk di depan adalah kamu akan lebih fokus. Semestinya sebagai anak teladan.

Sebenarnya jika di pecah lagi, apakah kakaknya Tara melakukan itu karena kemauannya sendiri melihat Tara selalu duduk di belakang. Atau memang Tara meminta bantuan kakaknya agar ia bisa duduk depan. Cuma masalah tempat duduk. Aku intinya belum bisa membela di sisi mana tapi kalau jadinya akan menimbulkan permusuhan aku angkat tangan. Walaupun begitu aku kemakan omongan Riri, ya masih labil banget dimasukin ini itu ikut aja.

"Iya apa? Masak sih kelihatannya orangnya itu pendiam gitu!" dan aku mulai terpancing.

"Halah kamu itu nggak tahu saja, dia tukang ngadu. Tapi jangan ngomong sama siapa-siapa ya!"

"Oh, oke."

Kejadian itu meracuni pikiranku, memang habis itu terjadi jarak anatara aku dan Tara. Ya tidak lain kemakan racun omongan si Riri. Entah itu cewek mulutnya ada bisanya kali. Tapi ngomong ke aku gitu, tapi orangnya bisa-bisa bersikap biasa kalau ketemu Tara. Emang ada yang salah dengan bocah ini.

Aku nggak mau menuduh tapi saat Riri dengan Tara aku merasa sedang dijelek-jelekkan olehnya. Pantas saja semakin ada jarak, orang kok sukanya ngadu domba. Mulut nggak bisa dijaga, omongan nggak bisa dipegang. Oke dan aku sadarnya sekarang dulu, aku nggak tahu itu. Terlalu polos itu membuatku mudah untuk dimasuki sesuatu yang menyebalkan.

Aku kembali ke diriku yang biasa saja, hidup mencari teman dan terus mengejar ketertinggalanku dalam pelajaran. Lambat laun semua kembali nomal lagi, aku dan Tara sudah seperti biasa. Tapi tetap saja pengganggu satu yang nggak pernah bisa berhenti mengganggu hidupku. Ya si Reza, maunya apa sih ngejar-ngejar aku terus. Papan tulis penuh dengan namaku dan namanya, bukan hanya itu meja, buku, penggaris sampai kursi juga. Tolonglah aku bisa apa, setiap kali aku membuat pembalasan dia semakin pantang menyerah.

Oke sudah kuputuskan, waktu itu pada main egrang. Dan aku nggak bisa main, iri aku. Hem ya sudah tak apa, tiba-tiba si Reza ngasih bunga sepatu sama buka buegenville yang ia petik dari taman depan kelas. Dan aku terlalu capek meladeninya.

"Jadi pacarku!" sambil ngasih bunga ke aku. Aku nggak jahat kok, dan kuterima bunga itu dan langsung kubuang ke tempat sampah dengan memberi seringai.

"Kamu itu nyebelin, mbok sudah to! Aku itu nggak suka sama kamu. Jangan ganggu aku lagi. Kamu itu terlalu banyak membuat keributan di sini. Aku risih tahu," sambil marah-marah.

"Enggak. Pokoknya aku suka kamu, aku bakal ngelakuin apa saja agar bisa jadi pacarmu!"

Duh dek, ini orang nggak bakal ada menyerahnya. Sekelebat aku teringat Atik pernah bilang kalau si Reza nggak suka pedes. Ehehehe aku punya ide.

"Oke. Kalau kamu suka sama aku, aku punya syarat buat kamu dan syaratnya nggak cuma satu."

"Oke aku bersedia. Demi Anna apa sih yang enggak." Fix langsung muntah berjamaah. Jijik banget anak kelas tiga SD yang berani nyatain perasaannya. Gedenya kecepeten tuh anak. "Apa syaratnya?" tanyanya antusias.

"Bentar lagi mikir. Pokoknya ada syaratnya dan kalau kamu nggak bisa nglakuin itu semua. Jangan pernah ganggu aku lagi!"

"Oke."



Aku dan Bully [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang