DUA BELAS

29 6 0
                                    

Kesalahan yang belum aku ketahui membuatku tertekan. Beberapa hari setelah kejadian itu, aku jadi sering menyendiri dan tidak mau berkomunikasi dengan mereka. Waktu istirahat pun juga begitu. Aku juga tidak ke kantin ataupun cuma di kelas saja . Melainkan aku mengasingkan diri, aku pergi menjauh dari mereka. Aku pergi di bawah pohon beringin yang letaknya di pinggir benteng sekolah. Di sana aku bisa menikmati semilir angin yang menenangkan walaupun terasa kosong dan hampa. Ingin istirahat. Butuh sandaran. Rasanya dikucilkan ini perlahan menggerogoti kewarasanku perlahan - lahan saat sepi. Namun dikelilingi orang yang naif malah lebih buruk bagi kejiwaanku.

Sejak saat itu aku membenci keramaian. Walaupun kadang kakak kelas juga datang menemuiku di tempat yang sudah biasa aku gunakan menenangkan diri. Aku juga kadang berbicara dengan beberapa kakak kelas yang menghampiriku di bawah pohon beringin. Walaupun aku nggak pernah menceritakan masalahku kepada mereka. Aku tahu kalau aku ceritapun akan memperburuk keadaan juga. Sesekali aku menimang - nimang, apakah boleh aku menceritakan masalahku kepada mereka. Apa untung rugi yang kudapatkan jika misal aku cerita. Ini hanya akan memperburuk suasana hati dan kebencian mereka semakin meninggi padaku.

"Ann!" panggil kakak kelas yang tiba - tiba membangunkanku yang setengah tidur bersandar di pohon beringin.

Sontak aku terkejut tiba-tiba ada yang manggil.

"Jangan tidur di sini sendirian! Kalau engga bangun gimana?"

"Ehehe.. nggak kok. Di sini enak, sejuk kena angin makanya gak kerasa ketiduran."

"Cerita saja! Enggak bakal aku kasih tahu yang lain kok," ujarnya. Tapi dia ke sini ramai - ramai. Bagaimana aku bisa mempercayai perkataannya itu. Jelas - jelas Mbak Momo sengaja menempatkanku di ujung jurang keputusan yang mana meleset sedikit atau mulutku mengatakan semua yang ingin kukatakan dengan sekali jentikan aku bisa terjun bebas dan mati dengan penuh penyesalan. Karena bukan cahaya yang tercepat melainkan gosip yang telah dibumbui dengan cabai terpedas di dunia melalui dalih, 'aku tidak akan cerita ke siapa - siapa?'

"Cerita apa? Enggak ada yang mau diceritakan kok Mbak Mo. Cuma seneng saja di sini , daripada di kelas sumpek. Biasa lelah dengan pelajaran yang seabrek banyaknya hehe.."

"Iya deh. Terserah. Jangan ngelamun lo nanti kesambet, kan ini dulu bekas kuburan."

"Ahaha, iya nggak ngelamun kok." Bagaimanapun semua setan yang berniat untuk merasukiku sudah duluan singgah di tubuh orang yang setiap hari membuatku depresi.

Namanya Mbak Momo dia..? Ah ya kami dulu pernah satu TK bareng. Tapi dia kelas VI. Dia juga teman ngajiku, kita akrab ya walaupun baru - baru ini sih. Untuk kepribadian orangnya cukup baik, dia berperawakan kecil dan lebih pendek dariku. Orangnya juga menyenangkan kalau diajak ngobrol. Walaupun sifatnya rada sengak kalau lagi bermasalah sama orang, apalagi temennya sendiri. Bisa-bisa adu mulut dan bermusuhan sampai berhari-hari dan juga bisa saling sindir-sindiran yang pedes banget. Aku tidak mau itu terjadi padaku.

Aku bisa akrab dengan kakak kelas ini ada untungnya dan ada ruginya juga. Untungnya itu aku nggak sendiri-sendiri amat. Ruginya itu, temen sekelasku pada ngeliatin dengan  tatapan tidak suka begitu kakak kelas menemaniku. Yang pasti akan beredar gosip aku tukang ngadu yang enggak-enggak, semakin jelas aku ditempatkan sebagai tokoh antagonis yang halal untuk disingkirkan. Kalau boleh jujur bergaul dengan kakak kelas lebih banyak ruginya daripada keuntungan yang kudapat. Walaupun respo anak cowok pada biasa, cuma masalahnya anak perempuan yang membenciku tidak akan tinggal diam jika hidupku tenang. Apa - apa jadi masalah, semua jadi masakah dan tidak ada yang mau mengalah kecuali aku sendiri. Padahal aku juga ingin normal dalam kehidupan bersosialisasi dengan teman, kalau aku nggak bisa berteman dengan anak yang satu kelas denganku ya bukan berarti aku tidak bisa berteman dengan anak beda kelas.

Bukan berarti aku menyerah memiliki teman sekelas ya. Sejujurnya aku memilikinya tapi tidak ada yang tahu, karena aku bilang ke mereka supaya kita temenannya sembunyi - sembunyi bahkan jangan sampai ada yang tahu, alasannya sederhana saja karena aku ingin mereka bisa berteman bebas dengan siapa saja tanpa harus memperdulikanku yang bisa jadi penghambat mereka dalam berteman. Kalau ketahuan mereka pasti akan dimusuhi sama sepertiku. Aku tidak mau ada orang lain juga yang mengalami hal sama sepertiku. Walaupun menyakitkan dan sangat menyiksa sih, mengorbankan pertemanan yang seharusnya bisa dijalin dengan melakukan hal bersama tanpa harus ditutup - tutupi. Aku maunya begitu, tetapi keadaan berkata lain. Aku tidak bisa meminta mereka juga untuk bisa berteman dengan aku saja. Artinya jika aku melakukannya untuk diriku sendiri aku tidak ada bedanya dengan mereka yang memusuhiku.

Rasanya itu sakit banget, harus melakukannya. Sakit, sakit banget. Rasanya itu seperti dadaku tersayat, entah kenapa seperti ada yang menusuk - nusuk. Mungkin jika aku lebih egois aku akan lebih mudah punya teman, tapi kebanyakan bukan pertemanan yang tulus. Aku tidak mau yang seperti itu. Setidaknya aku bisa merasakannya walaupun pertemanan yang tidak diumbar di publik apalagi sampai diketahui anak - anak yang sekelas denganku. Aku sering main ke rumahnya ya untuk sekadar bercerita dan main-main aja. Temanku cuma sedikit tapi aku merasakan kebahagiaan waktu kita bisa main bersama, untuk itu aku tidak akan mensia - siakan kesempatan kali ini. Akan kugunakan sampai tidak bisa digunakan kembali.


***

Saking aku terbiasanya saat istirahat pergi ke bawah pohon beringin. Aku jadi seperti penunggunya. Aku kadang suka ngomong sendiri di sana sambil berimajinasi yang indah - indah. Membayangkan sebuah pertemanan yang saling berbagi tawa dan tangis bersama. Saat aku bisa punya teman banyak yang baik - baik dan perhatian denganku. Kadang entah kenapa saat aku teringat kejadian yang menimpaku saat itu, aku tiba - tiba menitihkan air mata. Padahal aku yakin, ini bukan sesuatu yang membuatku dengan mudah untuk menangis, tapi dengan sesegera kuhapus. Aku tidak mau terlihat lemah, karena aku yakin aku orang yang kuat dan bisa melewatinya dengan caraku sendiri. Jika aku tahu masa depan lebih awal, mungkin saja aku bisa mengantisipasinya dan membuat solusi - solusi atas dasar ketidaktahuanku dalam menyelesaikan masalah hidupku ini.

Jika waktu bisa kembali dimana aku belum berada di tempat ini aku menginginkan aku tidak dilahirkan di tempat ini dan aku bukan orang asli sini. Aku malahan berharap bisa lahir dan tinggal di tempat kelahiran ibuku. Mungkin ceritanya akan berbeda. Tapi walaupun begitu kemungkinan yang sama akan terjadi padaku itu akan terjadi juga. Di manapun aku berada kalau aku ditakdirkan dengan jalan seperti ini mau kemanapun aku pergi akan terus menemuinya. Rasa tidak adil bukan. Mau lahir dimanapun pasti juga akan merasakannya juga.

Menurutku egois jika aku menyalahi takdir Tuhan. Jadi biarlah seperti ini saja, terus nikmati apa menjadi jalanku walaupun setiap langkah selalu tertusuk duri. Berjalan dengan rasa sakit akan membuatku kebal dengan rasa sakit ini dan membuatku terbiasa menghadapinya. Mungkin itu saja yang bisa kulakukan untuk saat ini.

Aku tidak bisa bilang aku menikmatinya tapi bagaimanapun itulah yang terjadi. Aku tidak bisa melakukan lebih dan lebih di luar batas kemampuanku. Apakah aku terlalu melebih - lebihkan apa yang terjadi padaku. Aku sempat ingin mengakhiri hidupku karena aku merasa sudah tidak tahan lagi dan sia - sia saja bertahan sampai disini. Tapi itu hanya ada di pikiranku saja, aku saja tak ada nyali untuk melukai diriku. Yah untunglah aku masih normal dan masih bisa menahan kehendak untuk meninggalkan dunia ini. Paling tidak untuk saat ini masih ada beberapa orang yang menganggapku ada. Itu dapat memberikan semangat agar aku tetap berada di dunia ini dan melakukan semua yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.


***

Aku dan Bully [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang