SEBELAS

31 9 0
                                    

Aku sama sekali tidak mewajarkan bullying hanya saja perlakuannya yang mungkin ada beberapa kategori dari fisik, batin maupun waktu. Loncat ke kelas empat, sebenarnya aku ingin langsung ke masa sekarang. Setelah dipikirkan kembali lebih baik diurutkan saja. Harus kuakui perjalanan dari kelas tiga ke kelas empat penuh dengan rivalitas. Tidak lain dan tidak bukan adalah perebutan peringkat kelas.

Seorang kakak kelas yang kukenal pernah berkata begini padaku, hal paling menjebak saat kenaikan kelas adalah perkataan seorang wali kelas kepada anak didiknya. Kamu tidak akan tahu saat sedang berbagai pikiran memenuhi isi kepalamu tiba - tiba wali kelasmu bertanya, "selama setahun ini apakah kalian senang di ajar oleh Bapak?"

Sebagai penghormatan murid akan menjawab dengan "senang".

Setelah mendapat jawaban bapak guru itu lantas melanjutkan pertanyaannya lagi, "apakah kalian ingin bapak tetap mengajar kalian?"

Jawabannya sudah pasti "tentu saja" bukan? Tapi sayangnya ini sebuah jebakan. Karena guru itu akan tersenyum dan bertanya lagi, "berarti kalian masih ingin tetap tinggal di kelas ini dan di ajar oleh bapak?"

Jawabnya antara "ya" atau "tidak" dan kedua jawaban itu adalah pisau bermata dua. Jika kamu menjawab "ya" berarti kamu meng-aamiini bahwa kamu akan tinggal kelas tapi jika kamu menjawab "tidak" akan ada hati yang tersakiti.

"Kamu jawab apa saat ditanya sepeti itu?" tanyaku kepada kakak kelas itu.

Dia menggeleng pelan, "dari awal aku tidak menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan pak guru. Walaupun pada awalnya aku tidak tahu bahwa itu pertanyaan menjebak. Padahal teman sekelasku pada heboh dan bersemangat saat menjawab pertanyaan di awal dan tiba - tiba hanya beberapa yang masih tetap semangat menjawab sampai akhir.

""Akupun tidak tahu, tidak menjawab adalah tindakan benar atau salah. Tapi di akhir pak guru tertawa dan diikuti para murid serta mengucapkan selamat bagi yang naik kelas dan selamat bertemu kembali bagi yang tidak naik kelas. Untungnya kelasku naik kelas semua, walaupun sehari sebelum penerimaan rapor satu kelas pada senam jantung semua kecuali anak yang otaknya encer termasuk aku hahaha.."

Dari situ aku belajar bahwa kita harus menemukan jawaban yang tidak ada dalam opsi. Atau memilih diam sampai selesai. Tidak mudah menebak isi kepala guru kita, sedang kita yang diajar oleh mereka. Maka dari itu kita harus menemukan polanya untuk menjawab atau harus berpikir seperti guru itu. Sulit memang tapi di kehidupan kalau hanya terus bergantung pada opsi yang ada kemungkinan alur dari hidup kitapun tak akan jauh berbeda dari opsi selanjutnya dan tidak ada perubahan karena kita hanya berputar - putar di tempat yang sama dengan orang sebelumnya.

Guru yang memberi pertanyaan kepada kakak kelasku sekarang menjadi wali kelasku, dan seperti yang telah terjadi pada wali kelas sebelumnya akan ada drama dalam kelasku ini. Pelajaran matematika yang diajar oleh wali kelas baru. Beliau laki-laki sama seperti wali kelas saat aku kelas III. Orangnya itu seperti apa sih? Hmm, seperti apa ya. Orangnya itu agak gendut, pendek berumur sekitar 30-an lebih soalnya beliau sering bawa anak laki-lakinya juga ke sekolah. Anaknya mirip sama bapaknya dari perawakannya juga. Katanya juga anaknya itu sepantaran dengan anak di kelasku. Tapi entah kenapa dia sering ikut ke sekolah, padahal masih jam pelajaran. Aneh nggak sih menurut kalian?

Gurunya itu seperti apa? Suka melucu tapi tegas, sering nyuruh murid beli rokok di depan dan abis itu di kasih uang. Sama kaya kelas III dulu gurunya juga begitu. Tapi beliau lucunya sering minta tukar uang sama murid, uang receh buat nyabutin rambut di dagunya sama kumisnya. Emang aneh sih orangnya. Orangnya baik kog, tapi jeleknya suka nggodain guru. Cuma satu  guru sih yang digodain yang pasti gurunya itu perempuan, beliau biasa ngebimbing waktu pramuka.

Aku dan Bully [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang