16

31 7 10
                                    

Sore ini kuharap Mbak Momo berangkat ngaji. Tuhan semoga nanti Mbak Momo mau memaafkanku. Antara yakin dan tidak yakin aku melakukannya. Tapi harus, wajib. Harus bisa pokoknya bisa. Banyak hal yang kulalui untuk mencapai ini, mana mungkin hanya seperti ini aku menyerah.

Di luar ekspektasiku, yah bayanganku seperti ini aku dan Mbak Momo ketemu terus aku ngomong terus Mbak Momo juga ngomong sama-sama ngomong. Waktu aku mau minta maaf eh Mbak Momo yang minta maaf duluan terus selesai tamat. Tapi kenyataannya, Tuhan tolong aku, mau deketin Mbak Momo aja susah apalagi mau minta maaf.

Untungnya Mbak Momo berangkat kalau enggak kan harus nunggu lagi dan nggak selesai-selesai. Dan akhirnya kita bisa baikan. Loh kog bisa? Kalian pada kepo ya? Kog bisa langsung baikan. Ceritanya gimana ya, awkward banget deh pokoknya. Hemm gimana ya ceritainnya. Tapi kalau nggak diceritain nanti bakalan lebih aneh lagi.

Ceritanya dimulai waktu itu aku beli cilok di masjid. Ada yang jualan pedagang keliling gitu, kalau sekarang nggak tahu ada apa nggak. Nah aku beli Rp500 jangan kira ya Rp500 cuma dapat satu gelundung, nggak kalau sekarang emang iya kalau zamanku itu dapet 6 gelundung cilok. Aku kasih kecap, sambal kacang dan saos aku bayakin. Entah lupa atau gimana aku nggak minta penjualnya biat ngiket itu cilok di plastik, ya maklumlah banyak yang beli. Hemm kenapa ceritanya berubah soal cilok? Ini itu alur ceritanya sabar, sabar ini ujian bagi kalian yang penasaran.

Aku itu sebenarnya bingung banget mau minta maaf duluan atau beli cilok dulu. Dan akhirnya aku beli cilok dulu deh. Hahaha entar kehabisan kaya kemarin kalau nanti-nanti belinya. Setelah aku beli cilok, aku menghampiri Mbak Momo dia ada di utara masjid dan biasanya tempat itu emang sepi sih cuma duduk-duduk di emperannya aja. Kesempatan dong buat ngomong.

Deg-degan dan gemeteran banget rasanya, “Mba-Mbak, anu itu aku pengen ngomong!”

Mbak Momo yang memandangku begitu membuatku jadi semakin gugup banget, tapi aku harus bisa. “Ya.”

“Itu loh yang kemarin..” sambil lihat ke kanan kiri, soalnya nggak berani natap matanya langsung. “Aku minta maaf ya kalau aku punya salah!” dan set aku langsung menatap Mbak Momo.

Haduh jawabannya apa ya, apa ya? Saat itu waktu terasa lama banget. Jangan-jangan, huuuuhhh pikiranku sudah kemana-mana. Gimana nih dimaafin atau enggak, walaupun aku sudah memantapkan diri kalau sewaktu-waktu jawaban Mbak Momo itu nggak maafin aku, tapi setidaknya aku sudah berani ngomong ini buat minta maaf. Cepat dong, cepat dong.

Dia membuang muka padaku, “e.. soal itu..”
Mbak jangan lama-lama dong penasaran nih dimaafin enggak, batinku.

Masih posisi sama, “ya aku maafin!”

“Eeh,-” terkejut sekaligus senang aku mendengarnya.

“Aku juga minta maaf ya, kalau aku juga punya salah?” menunduk.

“Beneran Mbak aku dimaafin?” kurang percaya, sampai-sampai aku rasa minta diulang kembali.

Mbak Momo mengangguk dan menatapku dengan wajah senang serta memberikan senyuman padaku. Dan itu aku anggap jawabannya. Akhirnya setelah beberapa hari atau minggu ya!? Aku berhasil buat minta maaf. Pernah dengar istilah memaafkan itu lebih mudah dari pada minta maaf. Mungkin istilah itu juga ada benarnya, tapi nggak seratus persen benar loh ya.

Lalu kita bersalaman tanda kita sudah baikan dan menjadi teman kembali. Seperti sudah jadi kebiasaan ya kalau minta maaf pasti bersalaman. Jabat tangan ini terasa hangat dan penuh makna, ini sebuah ketulusan seperti ada getaran yang mengalir lewat tanganku. Kita yang posisinya sedari tadi berdiri dan aku juga masih membawa cilokku di tangan kiri.

Entah kenapa kesedenganku muncul, “Mbak bisa tolong ikatin nggak ini!” suruhku tapi dalam kondisi kegirangan.

“Boleh.” Dia ambil cilok yang berada di tanganku dan mengikatnya.

Plaakkk, cilokku jatuh. Haduh nyesek kali hidupku. Mungkin plastiknya kekecilan atau emang ciloknya yang masih panas jadi sulit untuk di ikat atau memang aku terlalu banyak ngasih saos. Lantainya jadi kotor dan mubazir itu ciloknya.

“Eh, bentar. Aku ganti aja ya?” tawarnya.

“Nggak usah Mbak nggak apa-apa.” Aku ngomong gitu soalnya jaim banget kalau mau ngomong,  iya Mbak, tolong ya digantiin aku dah nggak bawa uang lagi ini, huhu..

“Udah nggak apa kog.” Dia langsung berlari ambil uang di tas dan membelikan aku cilok. Sembari Mbak Momo pergi beli cilok aku membersihkan cilokku yang jatuh dan meratapinya.

Untung penjualnya belum pergi. Aku ambil gayung yang berisi  air di kamar mandi dan kusiram biar tidak dikerubungi semut dan lalat. Aku juga mengambil pel sekalian juga toh, kalau disiram aja nanti malah bikin kepleset anak-anak yang lari di sini.

Mbak Momo kembali dengan membawa cilok yang sudah diikan dan diberikan padaku satu. Yah Mbak Momo juga beli dong. “Maaf ya?”

“Udah nggak apa-apa. Makasih lho udah dibelikan!”

“Iya. Aku nggak tahu kamu sukanya gimana jadi aku pedesin deh.”

“Aku suka pedes kog, hhuaaahh.” Sambil makan cilok yang masih panas.

“Hahaha, ditiup dulu!”

“Udah terlanjur, hehe..”

Setelah aku minta maaf dengan Mbak Mo, teror-teror itu sudah tidak ada lagi. Tapi aku nggak boleh negatif thinking mungkin cuma kebetulan aja. Waktu aku minta maaf dan orang yang neror aku juga udah bosan karena cuma aku cuekin saja. Satu persatu masalahku mulai berkurang. Dan bebanku juga semakin ringan.


***

Aku dan Bully [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang