21

24 4 1
                                    

Kejadian kemarin membuatku kesal tapi, sudah terlanjur juga. Aku menjadi sepertiku yang kemarin-marin lagi. Ya tidak perlu tahu lagi akan bagaimana, sudah pasti begitu jadinya. Aku sudah tidak apa-apa lagi, sudah lupakan saja.

Aku cuma teman sedikit yang mau mengakui menjadi benar-benar temanku tapi, aku tak punya kesempatan untuk main bersama di sekolah. Aku hampir takkan pernah. Jadi aku suka kasih surat ke Atik. Ya kita cuma ngobrol lewat surat-suratan itu yang selalu kukasih waktu jam istirahat waktu kelas sepi kalau nggak, waktu pulang sekolah. Kadang aku suka was-was kalau ada yang tahu aku kasih surat ke Atik dan di bacanya. Aku nggak mau berprasangka buruk tapi anak-anak di kelasku itu suka buka-buka isi tas orang tanpa izin gitu. Makanya aku takut banget kalau sampai ada yang baca.

Isi suratnya itu ya curhatan kita gitu. Kadang juga kita suka janjian main bareng sehabis pulang sekolah. Waktu itu memang yang paling ditunggu-tunggu olehku dan Atik. Kenapa? Karena saat itu kita bisa main bareng.

Kita main surat-suratan bisa dibilang lumayan lama waktu kelas IV. Ya sampai akhirnya kita surat-suratan begini diketahui oleh mereka. Sebenarnya aku tidak hanya main surat-suratan dengan Atik saja tapi, juga dengan Tara walaupun tidak sesering dengan Atik.

Bisa dibilang aku surat-suratan dengan Atik itu hampir setiap hari, ya sekarang aku kasih surat besok Atik kasih balasan gitu terus. Kalau sama Tara itu cuma seminggu sekali kayaknya soalnya Tara balesnya suka lama gitu maklum dia orangnya sibuk banget.

Biasanya kalau kita janjian main, kita tidak akan surat-suratan dulu. Atik dan aku biasanya main kalau nggak di rumahku, di rumah Atik kalau nggak di danau. Bukan danau yang besar gitu yang kecil, menurutku juga itu tidak bisa disebut danau juga. Yang benar mungkin kubangan bekas galian lama, tapi sudah tidak digunakan lagi sehingga banyak ditumbuhi rumput dan lumut.

Kita ke sananya naik sepeda. Bukan sepedaku tapi sepedanya Atik aku ikut bonceng dia. Soalnya aku juga nggak bisa boncengin orang pakai sepeda. Mungkin di sana kita cukup lama mainnya sampai sore. Tidak ada yang mencariku juga soalnya juga sudah kenal orantuaku sama Atik.

Hari ini aku ada janji main ke rumah Atik. Jadi kita ketemu di bok penceng sudah jadi kebiasaan kalau main begini kita janjian duu di sana. Biasanya kita mainnya itu dari jam dua siang dan itu saat tidak ada jadwal mengaji di masjid juga. Kalau ada jadwal mengaji aku tidak main sama Atik.

Kita memang janjiannya jam dua tapi, aku nggak pernah berangkatnya jam dua. Kurang lebih, dari rumah itu kurang 15 menit dari jam yang dijanjikan. Tapi setiap aku sampai Atik belum ada di sana jadi aku mondar mandir gitu. Bisa di bilang aku orangnya sangat on time sampai sekarang juga sih. Beruntungnya diriku memiliki sifat yang on time walaupun kadang terlalu on time tapi, bukan masalah juga buatku. Lebih baik menunggu daripada harus terlambat.

“Mak aku ke rumah Atik ya!” aku berpamitan dengan Mamak.

Mamak yang sedang di pawon membuat emping melinjo, “Ya. Ati-ati!”

“Aku berangkat!”

Jangan kira kita mainnya tidak benar, bisa dibilang kita mainnya berfaedah tahu. Setiap main aku selalu membawa PR dan buku buat belajar. Tapi buku yang sering kubawa adalah matematika. Waktu SD pelajaran yang paling kusukai itu matematika tapi sekarang jangan tanya lagi mayoritas saja.

Siang ini aku bawa buku matematika dan PR juga yang diberikan tadi. Aku tidak pernah bawa tas saat main ke rumah Atik dan biasanya cuma bawa kresek hitam buat bawa buku. Bukan masalah buatku yang penting itu isinya, bukan luarnya.

Sampai di tempat janjian Atik belum juga muncul. Atik kog belum kesini, apa aku yang kecepetan datang. Tadi lari sih dari rumah hess.. batinku.

Aku dan Bully [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang