Cukup lama aku menunggu Atik dan saat itu aku sudah mau pulang dan naik ke sepedaku. Terlihat Atik yang malah berjalan santai, aku sudah cukup kesal bisa dibilang begitu tapi, tetap ku tunggu sampai Atik di sini dan akan ku omeli dia. Sampai sepi juga jalanan Cuma nunggu Atik yang lama banget.
Atik menghampiriku langsung saja aku mengeluarkan kekesalanku kepadanya, “Tik kamu tuh ngapain aja sih lama banget. Sudah mau kutinggal lo. Malah santai-santai, kamu tuh ditunggu malah kaya aku yang ditunggui tahu. Tempe Tik!”
“Halah aku juga pulang ya cuma ganti terus makan siang. Kek gitu marah-marah.” Atik juga tidak kalah mengomeliku.
“Ya udah ayok!” ajakku, soalnya sudah kesiangan juga ini. Dan biasanya aku tidak pulang sesiang ini.
“Naik sekarang!”
“Besok Tik, ayo cepetan sih!” aku mulai emosi.
Atik naik berboncengan denganku, tasku ku taruh di keranjang. Saat dijalan turunan stang sepedaku oleng-oleng dan saat mau menabrak temanku yang dari arah berlawanan dengan kami. Mereka 2 anak laki-laki dan mereka menyebalkan.
“Tik jangan goyang-goyang kenapa sih?” aku marah saat aku berhenti di tengah jalan setapak dan dua teman sekelasku masih di depan kita.
“Aku diam aja tahu, siapa yang goyang-goyang juga.” bela Atik.
“Pada mau kemana sih? Kamu juga An belum ganti baju juga. Hahahaha..” Tanya salah satu temanku dia masih menaiki sepedanya dan mengenakan celana denim pendek dan kaos oblong bimbel.
“Tanya-tanya. Aku aja belum pulang mana bisa ganti. Kaya begitu kog ditanyain. Sana minggir kita buru-buru nih!” jawabku judes karena sedari tadi aku sudah emosi.
Dan saat aku menggayuh sepadaku dan melesat cepat, kita berada diturunan lagi setelah turunan yang aku lewati dengan Atik. Sepedaku goyang-goyang lagi.
Saat angin terhempas dimukaku aku menyempatkan memperingatkan Atik, “Tik jangan goyang-goyang!” bahkan dia tidak membalasku.
BRAKKK.. GLODHAK-GLODHAK, begitulah suaranya yang sangat keras. Dan saat ada tikungan kita terjatuh. Bisa dibilang dengan sangat cepat bahkan rem sepedaku tidak berfungsi dengan baik saat kita jatuh. Aku beruntung jatuh ditumpukan bekas pohon kelapa. Aku terlindungi walaupun jelas badanku lecet-lecet parah. Tapi tidak separah Atik dia terpental dan jatuh dibawah pohon jambu yang dibawah pohon jambu itu semua batu.
Dan saat itu orang yang punya rumah didekat kita jatuh langsung menolong kita sambil membawa obat merah. Atik mengalami luka dipelipisnya yang waktu itu jerawat dipelipisnya itu sedang matang-matang malah kena batu ataupun apalah itu dan jerawatnya jadi pecah. Kakinya lecet dibagian tulang keringnya dua-duanya lengannya juga lecet parah.
Dibanding aku yang sama-sama lecet. Aku juga termaksud parah kedua lenganku lecet semua dari jari kelingking sampai sikuku. Lututku juga lecet dan lecet dibagian tulang kering.
Aku masih sempat untuk bendiri dan mendirikan sepeda. Langsung aku diobati dengan obat merah walaupun aku sempat menolak untum diobati karena aku takut akan sangat perih. Dan ternyata tidak ada sakit-sakitnya.
“Kalau obat merahnya habis bisa beli lagi.” Dambil menaruh obat merah keluka dengan banyaknya sampai menetes dimana-mana.
“Nanti pulangnya diantar ya!” sarannya padaku.
Aku menggelengkan kepala, “aku pulang sendiri, masih kuat kog!”
“Temanmu itu gimana?” tanyanya. “Punya nomor orang rumah kan? Kalau punya tolong kasih nomornya tak telponkan biar kamu bawa pulang atau dibawa ke rumah sakit!” katanya.
Deg, waktu itu jantung berhenti berdetak sepersekian detik karena mendengar mau di bawa ke rumah sakit Atik. Kesalahanku yang membuat Atik celaka. Aku langsung menghampiri Atik, “Tik kamu nggak kuat! Ya sudah nanti aku bilang ke mereka. Aku mau pulang dulu, maaf ya Tik!”
“Ya, nggakpapa kog. Nanti ada yang jemput aku.”
Aku langsung mengambil sepedaku yang bagian depan dan belakang ringsek karena bekas jatuh.
“Beneran nggak mau diantar pulang aja?” memastikan sekali lagi ibuk yang menolong aku dan Atik.
“Iya.” Aku langsung menggoes sepeda dan menuju ke rumah. Saat itu hanya deg-degan yang tersisa dan aku sangat takut untuk pulang dan pastinya sampai di rumah aku akan dimarahi habis-habisan. Pakaian merah putihku juga ikut kotor terkena debu bekas aku jatuh. Rambutku juga bisa-bisanya ikut berantakan.
Menahan rasa sakit dan darah yang masih bisa keluar walaupun sudah diberi obat merah. Aku bukan orang yang cengeng kalau terjatuh tapi ini lain karena aku jatuh bareng Atik. Nanti pasti aku juga kena marah orangtuanya juga.
Sampai di rumah aku memarkirkan sepedaku di bawah pohon sawo dan sebisa mungkin memperbaiki yang bisa diperbaiki. Rusaknya cukup parah tapi masih bisa dipakai. Rem tangan semua rusak, keranjang tempaku menaruh tas bautnya pada hilang, lampu sepeda dibelakang pecah. Pokoknya hancur banget. Ditambah lagi ban sepeda jadi pentor karena jatuh juga, entah terkena batu atau apapun itu.
Mamak entah darimana menghampiriku entah sudah tahu atau tidak, “kog baru pulang?” sambil melihat bonyok yang kudapat. “Habis jatuh lagi!” seperti sudah terbiasa saat tahu aku pulang penuh bonyok padahal dulu aku sering menutupi kalau habis jatuh jadi tahunya lukanya sudah kering. Mungkin aku terlalu sering jatuh sampai orang tua juga terbiasa.
“Tadi nunggu Atik!”
“Terus Atik mana?” tanyanya.
“Pas mau ke sini jatoh. Terus Atik nggak jadi ke sini!”
“Jatuh bareng Atik?” tanyanya lagi.
“Hooh.”
“Ya udah. Sana ganti terus makan!” suruhnya padaku, “sudah diobati belum lukamu?”
“Udah!” aku langsung mengambil tas selempang dan bergegas masuk ke dalam untuk ganti pakaian.
Saat melepas baju aku sangat berhati-hati jangan sampai terkena luka bisa sangat sakit kalau terkena. Semua luka terasa ngilu, bahkan aku tak sampai hati untuk membasuhnya, walaupun tetap saja kubasuh. Setelah aku selesai ganti pakaian dan saat mau mengambil makan tiba-tiba Riri datang dengan sepeda merahnya.
“Anna! Anna! Anna!” Riri memanggilku dari luar rumah.
“Iya!” aku sambil membuka pintu. “Kog sendiri?” tanyaku karena tadi dia katanya mau bareng Tara.
“Tadi Tara SMS kalau dia nggak bisa datang. Mau ngerjain di rumah katanya.”
“Oh ya udah nggak papa.” Aku sebenarnya kesal Tara juga nggak datang.
“Atik mana? Tadi bareng kamu kan?”
“Tadi jatuh bareng aku terus orangnya nggak jadi datang!”
“Jadi Cuma berdua ini?”
“Iya. Mau ngerjain di dalem ato di luar?”
“Di luar aja yang adem.”
“Oke bentar tak ambil buku.” Aku masuk ke dalam dan mengambil buku dan beberapa cemilan dan minum.
Kita! Iya aku dan Riri mengerjakan semua dari jam setengah 3 sampai jam setengah 4. Semua selesai dan hampir semuanya aku yang mengerjakan Riri dia hanya mengerjakan soal yang mudah-mudah saja. Aku cuma pura-pura tidak tahu saja, karena yang kuinginkan Riri cepat pulang dan aku bisa makan dan istirahat. Setelah Riri pulang aku membereskan semua dan sampai tidak makan. Dan memperbaiki sepeda yang bisa aku perbaiki.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Bully [SELESAI]
Ficção AdolescenteSiapa sih yang suka dibully? Yang jelas semua orang tidak mau dibully. Tapi kita hidup di circle, bahwa bully itu wajar. Wajar kalo kelebihan dan kekurangan seseorang pantas untuk dirundung. Perundungan yang amat menaikkan derajat si perundung, sert...