TIGA

96 8 4
                                    

Namanya Aya anaknya nggak bisa ngomong ‘R’ atau bisa di bilang dia itu cadel, dia teman sebangkuku dulu. Aku nggak mau ngomongin soal kekurangannya, yang ingin aku sampaikan ialah, Aya ini termasuk salah satu faktor kenapa aku tidak naik kelas. Walaupun penyebab utama aku tidak naik kelas adalah sering tidak mengerjakan tugas dan pekerjan rumah. Bukan tanpa alasan aku tak mengerjakannya, hanya saja setiap ada PR yang diberikan oleh guru, yang sebenarnya kalau aku punya teman sebangku yang dekat rumah bukanlah masalah besar. Bukankah aku sudah pernah bilang kalau ada beberapa buku yang satunya untuk dua anak. Dan beberapa buku itu, termasuk buku penting yang biasanya yang mempengaruhi nilai rapor jika tidak mengerjakannya. Selalu saja aku dibodohi sama Aya, dia memberikan bukunya kepadaku saat besoknya nggak ada pelajarannya. Dan selalu saja saat ada PR bukunya selalu ada sama dia. Kenapa aku nggak nyalin saja soalnya? Karena aku waktu itu mana kepikiran, anak kelas tiga SD, hei...

Yah, itu menjadi pelajaran bagiku. Untuk selalu tidak percaya dengan orang yang di luarnya terihat baik bukan berarti orangnya baik juga. Aku marah, aku kesal dengannya, tapi aku tidak membencinya. Aya dulu juga sering membantuku, meskipun lebih banyak menjerumuskanku.

Usut punya usut, kasus seperti bukan cuma aku seorang yang mengalami. Sebut saja Atik temanku yang sama-sama nggak naik kelas. Dia juga begitu, menjadi korban yang dibodohi oleh teman sebangkunya dulu -- namanya tidaklah penting teman sebangkunya Atik. Biar saja begitu, bukan maksud menyalahkan, hanya saja dulu anak kecil tuh cuma tahunya bersaing. Padahal kalau dipikir lagi, tujuan buku paket satu untuk berdua itu agar dapat digunakan untuk belajar bersama. Salahnya siswa yang punya power di kelas akan sealu menang. Persaingan yang bodoh dan merugikan pihak lainnya, bahkan menuruku tidak bisa dikategorikan sebagai simbiosis. Itu adalah faktor yang pertama, faktor yang kedua memang aku yang otaknya yang tidak pernah sampai. Bahkan nilai NOL itu bisa dibilang makanan sehari - hariku. Tapi biasanya nilai nol itu juga disebabkan oleh faktor pertama.  Seingatku hanya mapel yang buku paket satu untuk berdua yang sering mendapat nilai paling tidak manusiawi itu. Di mapel lain walaupun nilaiku termasuk standar, tapi nilai nol itu sangat jarang ku dapat di mapel yang bukunya sendiri - sendiri.

Aku dulu bukan termasuk anak yang ambisius, bahkan apa itu ambisius? Yang kutahu pulang sekolah setelah pelajaran yang melelahkan ya bersantai, belajar di rumah saja jarang. Palingan kalau di rumah itu main, ya main sama tetangga, kalau nggak malamnya itu nonton TV. Sungguh nikmat ya waktu itu. Kenikmatan yang semu, sampai - sampai melupakan kewajiban sebagai pelajar. Saking nyamannya, tidak terasa bahwa kenyaman inilah yang mendorongku masuk ke dalam jurang gelap tanpa dasar. Dan faktor yang terakhir, sedikit berbumbu drama. Di tugas akhir semester mereka tidak memasukkan namaku dalam tugas kelompok, kenapa? Karena aku nggak datang waktu tugas kelompok itu. Bukan seratus persen menjadi kesalahku juga waktu itu kenapa aku nggak datang, aku sebenarnya datang.

Jadi ceritanya begini, sehari sebelum kita mengerjakan tugas kelompok itu, kita sudah sepakat janjiannya itu di sekolahan. Tapi entah kenapa, tahu-tahu jadi dirumahnya Anggi. Bahkan tidak ada yang memberitahuku. Waktu sampai di sekolahan aku nunggu sama kakak sepupuku di depan sekolah, soalnya aku minta dianterin. Terus setelah beberapa lama menunggu yang cukup melelahkan dan panas.

“Gimana, sudah nunggu tapi nggak ada orangnya. Apa janjiannya nggak jadi di sekolahan? Apa malah di rumah temanmu?” kata kakak sepupuku.

“Lha tadi katanya janjiannya di sekolahan kok,” aku yang masih tetap positif kalau bakal ada orang yang datang.

“Apa tak anter di rumah temanmu aja, kalau-kalau janjiannya dirumah temanmu.” Usul kakak sepupuku.

“Nggak usah Kang, pulang aja!” seketika aku langsung putus asa dan kecewa, dan langsung minta antar pulang.

“Beneran lho ya pulang?” tanya sepupuku memastikan. Akupun sudah lemas, bahkan mereka sampai tega tidak memberitahuku jika ada perubahan tempat.

“Iya pulang saja. Palingan juga nggak jadi,” terkaku waktu itu.

Mungkin kalian pikir aku cuma tidak niat dan menjadikan itu sebagai alasan. Bukan, sebenarnya aku juga sudah membawa barang yang di suruh mereka. Sebelum berangkat ku obrak-abrik itu kardus yang berisi majalah, koran dan buku lainnya yang tidak terpakai. Di lain sisi aku juga menyampingkan bahwa mereka juga tidak menyukaiku. Itu terlihat saat kerja kelompok di kelas, aku sering mendapat kelompok buangan bahkan tidak dapat kelompok. Jika bukan karena guru yang membagi kelompok, mana bisa aku medapat kelompok.

Keesokkan harinya waktu di sekolah mereka memarahiku. Karena menurutku itu bukan sepenuhnya kesalahanku. Aku membela diri dengan berkata, "katanya di sekolah janjiannya, kok aku dateng nggak ada orang?"

Kesalahanku terlalu menantang binatang yang berkelompok, terus mereka agak memojokanku, bahkan Aya yang teman sebangkuku juga ikut memojokanku. Seharusnya Aya cukup diam, apa aku seengga bergunanya di kelas. Tak ada satupun yang membelaku, dan itu menyakitkan.

“Kemarin juga aku nunggu di sekolah sama Aya, terus aku sama Aya sudah nunggu lama. Langsung kita inisiatif ke rumah Anggi," kata Ima dengan nada yang mengintimidasi.

“Kan aku nggak tahu juga kalau jadinya di rumah Anggi,” balasku. Mana kepikiran bakal di pindah di rumah Anggi. Dikira aku bakal berpikir sejauh itu, padahal kemarin saat membahas mau di kerjakan di tempat siapa tidak ada opsi kedua ketiga apalagi keempat. Apa aku salah jika berpikir begitu?

“Aya yang rumahnya jauh aja dateng kok, sampai nunggu juga, kenapa kamu enggak?”

Dalam hati, kok tanya saya? Memangnya saya peduli rumah Aya ada di mana? Mau di dasar laut juga bukan urusan saya. Kalau mau membandingkan orang itu nggak gitu caranya. Aku lupa itu celetuk siapa, tapi benar - benar bikin gondok.

Dan sangat terlihat kalau mereka tidak suka denganku, saat membandingkanku dengan Aya. Aku hanya bisa dia saja waktu itu. Mau bicara apapun tetap percuma, mereka itu egois, pikirku. Mereka berangkatnya bareng-bareng lah aku cuma sendiri. Ya Allah, kalau ada barengan buat berangkat pasti aku kesana. Dan aku baru sadar kalau mereka itu bergeng, dari dulu sampai sekarang aku tak pernah punya geng di kelas. Memang beberapa aku tidak menyukai geng alasannya simple, jika geng itu menyebalkan aku tak mau medekatinya.

“Ya sudah, nanti masih ada kerja kelompok lagi. Soalnya belum selesai juga. Kita nanti kumpulnya sama ngerjainnya di rumahku aja. Jangan lupa lho nanti dateng!” Ajak Elsa menengahi keributan yang ada. Walaupun itu tidak membuat perasaaku lebih baik, tapi untung cepat selesai.

“Iya,” gumamku.

Karena aku sudah bilang akan datang, siangnya aku ke rumah Elsa. Tapi.. waktu di tengah perjalan aku berfikir nanti ada orang nggak ya di rumah Elsa, terus tadi siang juga aku sudah di pojokkan seperti itu. Aku berhenti, terus mondar-mandir terus sambil ngomong kesana enggak, kesana enggak, terus gitu berkali-kali. Dan akhirnya aku putuskan untuk pulang, biarlah besok mereka mau bilang apa. Aku sudah lelah tidak di anggap, sekalian saja aku menampakkan keogahanku, sekaligus membuka jalan agar mereka terus memperlihatkan ketidaksukaannya kepadaku.

Sebenernya aku maunya diantar, karena sepupuku nggak ada di rumah jadi aku jalan kaki. Tahu aku pulang nggak jadi ikut kerja kelompok, lucunya sorenya aku pergi ngaji.

Terus waktu di masjid ada temanku cowok yang sekelas tanya sama aku, “eh kamu kog nggak ikut kerja kelompok?"

"Padahal aku lihat temen-temen yang cewek pada kerja kelompok di rumah Anggi kemarin,” lanjutnya.

“Lah kemarin katanya kerja kelompoknya di sekolahan, tapi di sekolahan sepi nggak ada orang jadinya aku pulang deh.”

“Terus katanya tadi kerja kelompok lagi?” tanyanya lagi.

“Iya, tapi aku nggak dateng,” jawabku penuh percaya diri. karena aku sudah siap menanggung konsekuensi yang akan aku dapatkan.

“Kenapa?”

“Biarlah. Mending berangkat ngaji aja,” kataku.

***

Aku dan Bully [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang