Aku berjalan dari kaki mencari mushola untuk sholat ashar. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 16.30. Ini sudah terlalu sore untuk menjalankan ibadah sholat ashar. Tapi tak apa, setidaknya aku tidak meninggalkan sholat meskipun tidak sholat di awal waktu.
Tidak terlalu lama untukku menemukan mushola di sektar sini. Aku masuk, mushola ini sangat sepi. Aku hanya melihat satu marbut sedang menyikat kamar mandi. Aku melihatnya saat sedang berwudhu di sana. Ia menatapku dan tersenyum, aku membalasnya.
"Misi ya, Pak." Kataku sebelum membuka keran."
"Iyaa, Dek. Silahkan."
Aku segera sholat di dalam, dan menghabiskan beberapa menit untuk duduk-duduk santai beristirahat. Entah kenapa, mushola selalu terasa menyejukkan dibanding tempat lainnya. Walaupun tanpa kipas, dan tanpa pendingin ruangan. Mushola selalu menjadi tempat yang nyaman utuk istirahat. Mungkin karena desainnyayang banyak lubang dan jendela, atau mungkin karena ini rumah ibadah, rumah yang mendamaikan.
Aku beranjak dari tidurku, dan melangkah keluar mushola untuk segera pulang. Di luar, kudapati sepatuku sudah menghilang. Aku mencari di sekeliling mushola, takut aku yang lupa meletakannya di mana. Tetapi, setelah mengelilingi mushola, aku tidak juga mendapatkan sepatuku.
Terdengar suara sekelompok orang yang sedang tertawa tertawa. Aku melihatnya, kupikir mereka adalah segerombolan remaja yang tinggal di dekat situ. Sepertinya mereka mengerjaiku, aku mendekatinya, berniat untuk meminta sepatuku. Bagaimana mungkin aku pulang dengan kaki yang tanpa alas?
Sebelum aku bicara dengan mereka, aku melihat sepatuku sudah tergantung di pohon. Aku kesal, namun mereka terus tertawa meledekku. Aku melotot ke arah mereka. Tapi mereka seperti tidak ada takut-takutnya padaku.
Aku berusaha menimpuk sepatuku dengan batu-batu kec il yang kutemui di tanah, namun sulit sekali mengenainya. Aku melihat-lihat keadaan sekitar, namun tidak menemukan apapun yang dapat kugunakan untuk menyodok sepatuku agar terjatuh.
Marbut tadi keluar, ia berjalan ke arahku.
"Kalian ini, sudah berapa kali kubilang? Jangan iseng!" Kata Marbut itu. Anak-anak remaja itu tidak lari, ia hanya duduk di tangga masuk masjid, menunduk dan terdiam. "Saya kan udah sering bilang, kalian bisa kena karma! Memangnya kalian enggak takut? Doa orang yang terzolimi itu tidak ada yang menghalangi. Doanya lebih tajam daripada pedang! Kalian jangan macam-macam!" Bentaknya pada remaja itu.
Mereka seperti ketakutan, satu orang bangkit dari duduknya dan berlari pergi, teman-temannya mengikutinya dari belakang. Marbut mushola mengikuti mereka. Kini aku hanya sendiri di lingkungan mushola ini. Aku hanya terdiam memandang sepatuku yang tersangkut di atas pohon, dan berharap sepatu itu terjatuh.
Aku menendang-nenang pohon itu agar bergerak dan menjatuhkan sepatuku. Tidak berhasil. Aku melompat untuk menggapai ranting pohon agar bisa menariknya. Sudah berkali-kali melompat tidak juga membuahkan hasil "YaTuhan, jatoh kek sepatunya. Gue mau pulang." Benakku.
Aku menyerah, dan duduk di pagar mushola. Menengok kiri dan kanan, tidak ada orang di sekitar sini. Tidak ada orang yang bisa kumintai pertolongan. Tak lama angin bertiup dengan sangat kencang. Hembusannya kencang sekali mengibarkan rambutku, memaksaku memejamkan mata. Pohon-pohon bergerak-gerak diterpa angin, daun-daun berguguran. Termasuk sepatuku. Keduanya jatuh secara bersamaan ke dekatku.
"Alhamdulillah." Kataku spontan. Tidak bertele-tele lagi. Aku mengambil sepatu itu. Memasangnya pada kedua kakiku. Mengikatnya satu persatu. Dan berjalan pulang dengan perasaan lega. Aku senang sekali, Angin bertiup kecang tepat pada waktunya. Pada waktu aku membutuhkan terpaan untuk menghantam pohon itu. membuat daun-daun itu berjatuh, membuat sepatuku ikut terjatuh. Membuat aku bisa segera pulang dan beristirahat di rumah.
--
Support saya dengan vote, dan share cerita ini.Jangan lupa untuk Follow saya juga ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...