30

294 18 0
                                    

Aku panik, kebingungan. Aku enggak tahu apa yang baru saja kuperbuat. Aku melihat kedua tanganku, melihat kedua telapak tanganku. Apa yang baru saja kuperbuat?

Raka berlari mendekati Thomi dan Nabila. Ia membantu Nabila untuk bangun. "Kamu gapapa?" Tanya Raka pelan. Nabila hanya terdiam memandangku. Ia terlihat marah, matanya berkaca. Seolah menggambarkan kekecewaan.

"Goblok lu!" Raka membentakku.

Thomi sangat emosi, ia segera beranjak dan berlari ke arahku, aku mendengar Nabila teriak agar Thomi berhenti melakukan itu. Namun Thomi justru menonjokku. Lagi-lagi kini aku bertumpu pada meja. Thomi menghantam wajahku lagi, berkali-kali. Hingga akhirnya aku menepisnya, lalu menonjok wajahnya. Secepatnya aku bangkit dan menendang tubuhnya sekali lagi. Ia terjatuh lagi.

Suasana di kantin sangat kacau, banyak sekali siswa di sana, banyak sekali pedagang makanan di sana. Namun tidak ada satu pun yang melerai kami.

Aku segera mendekati Thomi, menduduki perutnya, mencekik lehernya dengan tangan kiriku, sedang tanganku bersiap menonjoknya lagi.

"Udah, Rama! Udah!" Teriak Nabila. Ia tampak ingin mendekati aku dan Thomi, namun Raka menahannya. Tapi, aku belum sempat menonjok Thomi sekali lagi, gadis itu melarangku. Aku terdiam beberapa detik.

Tidak. Kali ini, aku harus membalas perbuatan Thomi.

Brugg

Aku menonjok wajah Thomi sekali lagi. Ia terkulai.

"Udah, woy!" Raka menarik tubuhku hingga aku terjatuh. Lalu kutengok Nabila. Ia tampak sangat kecewa. Air matanya terjatuh. Lalu berlari pergi meninggalkan kantin. Aku memandangnya pergi.

"Bil." Teriakku. Namun Nabila tidak berhenti berlari.

Seseorang membantuku untuk bangun, Icha yang melakukannya. Ia membantuku bangun lalu mengajak duduk di kursi kantin bersama Imam dan Dita yang sudah lebih dulu duduk di sana. Kulihat Thomi sedang dibantu berjalan oleh Raka. Ia meninggalkan kantin. Teman-temannya mengikutinya.

Untungnya, tidak ada satupun guru yang melihat kami adu jotos. Sepertinya tidak ada juga siswa yang melaporkan. Suasana kantin kembali seperti semula, namun beberapa siswa masih saja ada yang menatapku. Perasaanku sangat kacau. Aku malu, aku juga memikirkan Nabila. Ia marah padaku. Ini kali kedua aku melihatnya menangis. Tapi berbeda dengan sebelumnya. Kali ini, air matanya terjatuh karenaku.

"Lu gapapa?" Tanya Icha. Aku menatapnya, lalu mengangguk mengiyakan. "Tapi mata lu memar, Ram." Lanjut Icha.

Aku menyentuh bagian sudut mata kananku, terasa sakit. Aku melihat tanganku, untungnya tidak ada darah. "Gapapa, Cha." Balasku pelan.

Icha berdiri, lalu pergi sebentar membeli sesuatu.

"Nih, Ram." Icha memberikanku sebotol air mineral.

"Makasih, Cha."

"Lu hebat, Ram. Tadi Thomi sampe enggak gerak." Imam mencoba menghiburku. Aku hanya memandangnya sebentar, lalu menunduk. Aku tidak ingin banyak bicara. Pikiranku sangat kacau kali ini.

--

Di kelas, suasana tidak senyaman biasanya. Sesekali aku memandang Nabila. Namun sepertinya ia sama sekali enggan untuk melihat ke arahku. Aku harus meminta maaf padanya nanti, sepulang sekolah.

Thomi juga tidak menggangguku. Ia hanya duduk dengan teman-temannya di kursi bagian belakang. Kondisi kelas benar-benar berbeda. Seolah-olah aku tidak ada di kelas ini. Guru datang, lalu kami memulai kegiatan belajar mengajar.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku menunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Nabila. Aku membiarkan orang-orang di kelas ini pergi lebih dulu, termasuk Thomi dan teman-temannya.

Saat suasana kurasa sudah tepat, Aku melihat Nabila sedang merapihkan barang-barangnya ke dalam tas. Dengan segera aku duduk di kursi samping Nabila.

"Bil." Kataku.

Nabila terlihat marah, ia sama sekali tidak melirikku. Ia buru-buru memasukkan barang-barangnya, lalu berdiri dan pergi meninggalkanku.

"Bil." Aku memanggilnya sekali lagi. Namun ia tidak berhenti. Tapi tidak cukup di situ, aku tidak akan menyerah, aku harus bicara dan meminta maaf. Buru-buru aku berlari mengejarnya, lalu menghentikannya dengan cara berdiri persis di depannya.

"Nabila, gue minta maaf" Kataku cepat. Nabila menundukkan pandangannya, sepertinya ia tidak ingin memandangku.

"Bil... Gue minta maaf, ya." Kataku sekali lagi. "Tadi gue emosi, gue enggak bisa nahan." Kataku menjelaskan.

Nabila mengangkat kepalanya, memandangku, ia menangis. "Gue juga lagi emosi. Gue juga enggak bisa nahan untuk marah sama lu." Katanya sedu.

"Maaf, Bil."

"Lu tuh sama aja kayak abang gue. Bikin ribut! Lu seneng berantem? Hah?! Lu seneng diliatin semua orang di kantin?! Terus lu bangga?!"

"Enggak, Bil. Gue enggak niat begitu."

"Gue udah minta lu berenti, ya, tadi?! Terus lu anggap apa omongan gue?! Lu sadar enggak siapa yang lu pukulin tadi?!" Ia memakiku lagi. Aku hanya terdiam. Aku tidak bisa melihatnya menangis seperti itu. Hatiku sakit melihatnya.

"Baru kemaren ya, Ram! Baru kemaren gue bilang sama lu kenapa gue seneng jadi temen lu! Karena lu beda dengan mereka! Lu beda sama Thomi dan temen-temennya! Tapi apa?! Lu enggak ada bedanya sama mereka! Lu liat muka lu! Bengep! Lu seneng?!" Makinya. Aku benar-benar tidak bisa menjawab.

"Bener kata abang gue." Ia berhenti bicara sejenak. "Seharusnya gue enggak usah deket-deket sama orang kayak lu!" Bentaknya. Setelah itu ia pergi, berlari meninggalkanku.

Pikiranku kacau sekali. Aku tidak bisa lagimengejarnya. Tubuhku lemas, lagipula sepertinya ia tidak mau bicara denganku. Iasangat marah denganku. Aku duduk di kursi depan kelas. Merenungi apa yang sudahkuperbuat hari ini. Sial sekali aku hari ini.

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang