27

317 21 0
                                    

Hari berlalu, kondisi sekolah semakin membaik. Keadaan sekolah kini jauh lebih nyaman, semakin jarang aku melihat tingkah-tingkah konyol siswa-siswi di sekolah ini. Aku semakin jarang melihat orang-orang dijahili, semakin jarang juga melihat pedagang yang dicurangi. Aku yakin ini karena doa-doa yang kuselipkan saat aku merasa dizolimi.

Nabila juga semakin dekat denganku. Terlebih setelah kami menyelesaikan tugas kelompok berdua di rumahnya. Nabila selalu menyapaku jika kami bertemu, hari-hari terasa semakin indah. Tugas kesenian kami mendapat nilai yang memuaskan. Aku ingat betul saat nilai kami disebutkan oleh Bu Fenny di kelas, Nabila langsung menatapku, ia tersenyum senang. Aku juga sangat senang. Bukan hanya karena nilai kami yang bagus, aku senang karena melihat ia tersenyum padaku. Manis sekali.

"Kalo enggak ada lu, mungkin gue enggak bakalan dapet nilai bagus, Ram." Kata Nabila. Saat itu, di jam istirahat, kami sedang duduk berdua di kelas.

"Ah, enggak juga. Kalo lu enggak sekelompok sama gue, pasti temen sekelompok lu ada aja yang bisa bikin."

"Sok tau banget. Buktinya, banyak tuh kelompok lain yang hasilnya berantakan banget. Hahaha." Nabila tertawa. Aku juga tertawa. Memang kenyataannya ada beberapa kelompok yang hasil karya seninya tidak terlalu bagus. Bahkan bisa dikatakan sangat berantakan. Bentuknya tidak terlalu jelas, tapi mereka menyebutnya itu taplak meja.

"Berduaan mulu, pacaran lu?!" Bentak Thomi dari luar kelas. Lalu ia masuk mendekati kami berdua. Untungnya kelas sedang sepi, tidak terlalu banyak yang mengetahui kejadian ini.

Thomi mendekatiku, menarik kerah bajuku. Lagi-lagi aku hanya terdiam. Sama sekali tidak menjawab. "Jawab lu!" Makinya.

"Apaan sih, lu, Thom!" Nabila balas membentak. Abangnya terdiam karenanya. "Gue aja enggak pernah ngatur-ngatur lu main sama siapa, ngapain sekarang lu ngatur-ngatur gue?!" Lanjut Nabila. Ia mencoba melepaskan tangan Thomi yang sedang memegang kerah bajuku. Akhirnya terlepas.

"Lu enggak usah ikut campur urusan gue!" Kata Nabila. Ia menarik tanganku, dan berjalan ke luar kelas. Kulihat, matanya berkaca-kaca. Ia menangis. Aku mengikuti kemana langkahnya pergi dengan pikiran yang campur aduk. Nabila menangis, aku tidak bisa melihatnya menangis, tapi aku terlalu payah untuk melawan Thomi.

Kami berhenti di taman sekolah, Nabila duduk di kursi, ia menunduk, kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Aku berlari ke koperasi sekolah, membeli tisu dan sekotak susu coklat. Lalu kembali dengan sangat buru-buru. Kulihat, Nabila masih menangis, ia seperti mencoba untuk menyudahinya, namun tidak mampu.

Aku memberikan tisu, lalu meletakkan susu coklat persis di sampingnya. Aku yakin, ia belum mau minum, yang ia butuhkan adalah tisu untuk menyeka air matanya.

"Nabila, jangan nangis." Kataku pelan. Aku berusaha menenangkannya. Melihatnya menangis, hatiku sedikit kacau. Aku tidak ingin ia terus menangis. Kuberanikan diri mengusap kepalanya. "Udah ya, enggak usah dipikirin." Kataku lembut dengan harapan Nabila menghentikan tangisnya.

Butuh beberapa detik untuk Nabila berhenti sesenggukan hingga akhirnya tangisnya berhenti. Aku turunkan tanganku. Ia mengangkat sedikit kepalanya. Menatapku. Kulihat, matanya memerah. Akhirnya tangisnya reda, cukup membuatku lega.

"Gue cengeng banget, ya?" Tanyanya.

"Eh?" Aku sedikit terkejut. "Engga kok. Wajar kalo lu nangis. Namanya juga berantem sama abang sendiri." Jawabku. "Lu itu tegar. Buktinya lu bisa ngelawan abang lu yang tiba-tiba dateng marah-marah enggak jelas."

Nabila tersenyum, sedang tangannya mengusap pipinya dengan tisu.

"Udah, jangan nangis lagi. Nanti cantiknya ilang." Godaku. Ia tertawa kecil. "Kalo ilang, susah nyarinya." Lanjutku. Nabila tertawa lagi.

Bel tanda masuk berbunyi, aku segera mengajaknya kembali ke kelas. Kebetulan sekali aku tidak mau membahas soal keributan tadi lebih lama lagi.

Setelah kejadian itu, justru aku dan Nabila semakin dekat. Aku rasa, Nabila mulai merasakan hal yang sama sepertiku. Aku rasa, Nabila mencintaiku.

Hingga suatu waktu, saat jam istirahat, di kelas, aku mengajaknya untuk jalan-jalan sepulang sekolah.

"Pulang sekolah ada acara, enggak, Bil?" Aku yang sudah duduk di sampingnya nanya.

"Hmm..." Ia berpikir sebentar. "Enggak ada. Kenapa, Ram?" Jawabnya.

"Kita ke pondok indah mall, yuk?" Tanyaku sekali lagi.

"Hari ini?"

"Iya hari ini. Pulang sekolah."

Nabila berpikir sebentar. "Oke deh."

"Yaudah, nanti pulang sekolah, kita langsung ke halte bareng, ya." Kataku sebelum meninggalkannya untuk ke kantin.

"Okee." Jawabnya, ia mengeluarkan kotak makannya. Seperti biasa, ia membawa bekal dari rumah.

Meski tidak dengan kendaraan roda dua, untungnya Nabila tetap mau ikut denganku menaiki bus. Aku mengajaknya berjalan-jalan ke sebuah mal. Memang, tidak ada hal yang istimewa di dalam mal, tapi setidaknya aku bisa menghabiskan waktu berdua dengannya.

"Lu kemana-mana naik bus?" Katanya saat kami berdua sedang duduk bersebelahan di dalam bus.

Aku menengoknya. Ia sedang memandangku. "Iyaa." Kataku singkat. "Dulu, gue selalu naik mobil. Tapi setelah ayah gue enggak ada, ibu gue enggak bisa ngelola usaha yang dikerjain ayah gue. Jadinya, lama-lama barang-barang di rumah dijual. Sekarang, harus naik bus, deh." Lanjutku dengan tetap menatap wajahnya.

Nabila menunduk sebentar, lalu menatapku lagi. "Gue turut berduka, ya, Ram." Ucapnya pelan.

Aku tersenyum, lalu mengangguk mengiyakan. "Enggak apa-apa."

Aku menikmati waktu bersamanya di bus, menikmati beberapa lagu yang dinyanyikan oleh pengamen jalanan, dan terkadang, aku dan Nabila ikut bernyanyi pelan. Aku sadar suaraku tidak cukup bagus.

Sesampainya di mal, aku mengajaknya berkeliling. Tidak tahu ke mana tujuanku, yang jelas, berada di dalam mal saja, sepertinya sudah cukup menyenangkan. Kami berjalan santai, berkeliling.

"Lu mau beli apa, Ram?" Nabila nanya.

"Enggak mau beli apa-apa. Gue cuma mau jalan-jalan."

"Hahaha. Cuci mata aja ya?" Balasnya. "Yaudah ke sana, yuk." Nabila menarik tanganku, hingga kami kini saling bergandengan, aku mengikuti ke mana ia melangkah. Sebuah toko baju, ia melihat-lihat, memilih, lalu menarikku lagi untuk pindah ke toko yang lainnya. Aku tidak bereaksi apa-apa. Mungkin karena sedikit gugup, bagaimana tidak? Sedari tadi ia menggandengku.

Sudah lebih dari tiga toko, Nabila masih menggandengku. "Emangnya mau beli apa, Bil?" Tanyaku sedikit penasaran.

"Liat-liat aja." Jawabnya "Tapi kalo ternyata ada yang lucu, gue beli kok." Lanjutnya. Nabila menarikku lagi memasuki toko boneka, ia melihat-lihat sebentar. Aku mengambil salah satu boneka.

"Lucu enggak?" Aku memegang boneka Patrick Star, tokoh dalam kartun sponebob squarepants.

"ih, Lucu! Gue juga sering nonton spongebob."

"Wah sama!" Hahaha. "Gue selalu ketawa ngeliat tingkah patrick."

"Sama, gue juga. Dia out of the box banget pikirannya. Hahaha." Katanya. Ia melihat-lihat lagi beberapa boneka yang saat itu dipajang.

"Bil, makan yuk." Ajakku yang sudah mulai lapar.

"Makan apa?" Tanyanya.

"Lu maunya apa, Bil?"

"Terserah lu aja." Jawabnya singkat. Sial. Benar kata orang-orang. Perempuan tidak mau memilih, ia ingin diarahkan. Tapi aku agak ragu, bagaimana jika tempat makan yang kupilih, tidak sesuai dengan apa yang ia mau? Bagaimana jika ia tidak suka?

"Lu suka sushi?" Tanyaku.

"Suka!" Jawabnya dengan sangat riang. Aku lega mendengarnya. Hanya dengan satu pertanyaan, aku bisa menentukan untuk ke mana. Tidak berlama-lama, kami segera berjalan menuju tempat biasa aku makan sushi bersama keluargaku.

Kami duduk semeja, berhadapan, memesan apa yang ingin kami makan. Aku sudah menyiapkan uang untuk mentraktirnya. Kebetulan, setelah ayahku tidak ada, aku belajar untuk berhemat. Tidak membelanjakan uangku untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Kini, aku akan pergunakan uangku untuk membuat Nabila senang.

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang