Sial sekali kemarin. Pikiranku kacau sekali. Aku benar-benar melakukan kesalahan. Bukan hanya karena aku bertengkar dengan abangnya, tapi aku juga melukainya. Ia terjatuh karenaku, aku menyakitinya. Aku juga menyakiti perasaannya karena tidak mendengarkan ucapannya. Seharusnya kuhentikan saja saat itu, dan langsung meminta maaf pada Nabila. Tapi, aku malah memukuli abangnya beberapa kali.
Aku menyesali perbuatan kemarin, aku harus memperbaikinya. Meski kemarin, sepulang sekolah Nabila tidak ingin memaafkanku, aku harus bisa mendapatkan maafnya hari ini.
Setelah tiba di sekolah, nyatanya tidak jauh berbeda seperti kemarin. Orang-orang di kelas ini seperti tidak menganggap kehadiranku. Nabila sibuk dengan Anggun, teman sebangkunya. Aku menoleh ke arahnya, wajahnya tidak seperti biasanya, tidak cerita, tidak ada senyum. Ia sama sekali tidak melirikku.
Aku ingat, mengapa aku tidak berdoa saja?
Aku harus mencari waktu untuk berdoa. Berdoa agar Nabila kembali seperti sedia kala. Wanita cantik yang tidak memiliki masalah apapun denganku, yang selalu ceria dan selalu ramah padaku. Aku harus berdoa agar hubunganku dengan Nabila baik-baik saja, bahkan lebih dari sebelumnya. Aku mencintainya, aku ingin Nabila menjadi milikku.
Di jam istirahat, aku pergi ke kantin. Berharap aku mendapat kesempatan berdoa di sana. Aku memesan siomay dan es teh manis, lalu duduk di kursi kantin.
Di sudut kantin, aku melihat Thomi, Raka, dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Ia membahas kejadian-kejadian di tongkrongannya. Aku tidak terlalu paham bagian mana yang lucu, yang jelas mereka hanya tertawa, dan tidak ada yang menggangguku.
Selalu seperti itu.
Aku berharap Thomi dan Raka menjahiliku, namun nyatanya mereka seperti tidak menganggap kehadiranku.
Waktu terus berlalu, beberapa hari seperti itu.
Di sekolah, aku bermain dengan Icha, Imam, dan Dita. Hanya mereka yang sepertinya ada untukku. Aku makan bersamanya di kantin, terkadang, ke perpustakaan bersama Icha. Entah kenapa, perempuan ini selalu saja ke perpustakaan. Entah sudah berapa banyak buku yang ia baca, sepertinya tidak habis-habis.
"Cha, semenjak gue ribut, gue udah enggak pernah diisengin lagi sama mereka." Kataku saat kami berdua sedang berada di perpustakaan.
Icha yang sedang membaca buku langsung menoleh ke arahku. "Wah? Bagus dong?" Katanya girang.
Ia memang tidak mengerti bahwa diam-diam aku ingin dijahili mereka agar aku bisa mendapatkan apa yang aku mau dengan berdoa. Responnya juga tidak salah, jika teman sudah tidak lagi dijahili orang, sudah sepatutnya untuk berbahagia.
"Haha, iyaa." Aku tertawa kecil.
Semenjak bertengkar dengan Thomi dan Raka, aku jadi lebih dekat dengan teman-temanku ini. Icha, Dita, dan Imam untungnya selalu mau menemaniku. Apalagi Icha, ia yang selalu mengajakku pergi di waktu istirahat sekolah.
Hingga pada suatu hari, aku sedang makan di kantin bersama Icha. Kami berdua memesan bakso dan es teh manis.
"Banyak banget sambelnya?" Kataku sedikit heran saat melihat icha menyendok empat sendok sambal ke dalam mangkok baksonya.
"Gue suka pedes." Katanya. "Lu emang enggak suka pedes?" Tanyanya.
"Ya, suka, sih, tapi enggak sebanyak itu juga."
"Ini juga masih belum pedes." Ia menambah satu sendok sambal lagi.
"Ya Allah, Cha. Enggak takut sakit perut, lu?"
"Hahaha. Santai aja kali, gue udah sering."
--
Sesaat setelah makan, apa yang kukatakan benar. Icha lemas, mual, perutnya sakit, dan berkeringat. Ia tidak terlalu kuat untuk berjalan ke UKS. Aku mencoba menggopongnya menuju UKS.
"Kan udah gue bilang, Cha."
"Iyaa, gue nyesel." Katanya pelan sambil berusaha berjalan.
Kami berjalan melewati lorong sekolah, melewati banyak siswa-siswi yang melihat ke arah kami. Termasuk Nabila. Aku sedikit terkejut saat mendapati Nabila sedang bersama Raka di lorong sekolah, sedang duduk berdua di kursi depan kelas.
Aku memandangnya, kami saling memandang dalam beberapa detik, namun ia segera memalingkan wajahnya dan bicara dengan Raka. Aku melewati mereka yang seolah-olah tidak melihatku.
Menyebalkan. Aku susah payah membawa Icha ke UKS, namun disuguhkan pemandangan yang tidak enak kupandang. Nabila duduk berdua dengan Raka. Apa maksudnya itu? Apa jangan-jangan mereka sedang dekat?
Kami memasuki UKS, lalu aku membantu Icha untuk merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang disediakan di sana. Seorang guru mendekati kami, menanyakan kondisi Icha, aku ke luar sebentar, tidak ingin mengganggu mereka.
Di luar UKS, aku memikirkan lagi apa yang aku lihat tadi. Raka dan Nabila duduk berdua di depan kelas. Aku kesal melihat itu. Kecemburuanku tidak bisa dikendalikan. Padahal belum tentu ada apa-apa di antara mereka, siapa tahu hanya membicarakan hal-hal yang tidak penting.
Setelah guruku keluar, aku segera masuk untuk menemani Icha di dalam.
"Gimana, Cha?"
"Udah mendingan, nih. Udah dikasih obat."
"Alhamdulillah... Syukur, deh."
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...