Aku sampai rumah dengan perasaan yang senang. Hari ini, aku memenangkan sebuah perlombaan olahraga. Lalu berjalan-jalan bersama Nabila. Aku ingin memberikan kabar bahagia ini pada Ibuku.
"Assalamu'alaikum." Kataku sambil membuka pintu rumah. Terdengar jawaban dari ruang tengah.
Aku masuk, membuka sepatuku, meletakkannya di atas rak, masuk ke ruang tengah, dan bertemu Ibuku yang sedang duduk bersama Sarah di sofa sambil menonton TV.
"Gimana? Menang?" Ibu langsung bertanya seperti itu. Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Serius?" Tanyanya lagi dengan ekspresi terkejut bahagia. "Alhamdulillah." Sarah juga terlihat senang saat mengetahui abangnya memenangkan perlombaan. Sarah tepuk tangan sebentar.
Aku segera duduk di tengah-tengah mereka. "Pialanya dibawa guru aku, katanya mau dipajang di sekolah." Kataku.
"Ibu masih enggak percaya, kok kamu bisa tiba-tiba jago main bulu tangkis, sih?" Tanya Ibuku.
"Aku juga masih enggak percaya, Bu." Jawabku. Aku menengok ke arah Sarah, dan mengelus rambutnya. "Semua ini kan atas izin Allah. Atas doa ibu juga." Lanjutku.
"Iyaa, pasti, itu." Balasnya. "Tadi lawannya susah enggak?"
"Enggak terlalu, Bu."
"Hebat, anak ibu!"
"Iyaa, dong! Siapa dulu Ibunya?"
"Hahahaha." Ibu hanya tertawa, Sarah juga ikut tertawa.
"Oh iya, Ram. Ibu belum cerita."
"Cerita apaan?"
"Mas Dedi, Temen kantor ibu ngajakin bisnis, buka kafe."
"Serius, Bu? Kafe? Dimana?"
"Tempatnya udah ada, di daerah panglima polim. Kafe kecil-kecilan. Dia ngajaknya udah lama, ibu juga udah setuju sejak awal dia ngajak ibu. Kafenya sebentar lagi buka, beberapa hari ini ibu sibuk seleksi karyawan yang baru gabung. Terus beli alat-alat untuk kafe juga. Makanya Ibu telat pulang."
"Terus? Kapan mulai buka?"
"In syaa Allah minggu depan udah mulai buka. Doain, ya. Supaya Ibu bisa ngehasilin duit dari sini, dan enggak usah kerja di kantor ibu lagi. Mulai minggu depan, abis dari kantor, ibu langsung ke kafe. Ibu yang ngelola kafe. Kayaknya Ibu pulang agak malem."
"Alhamdulillah. Iyaa, Bu. Pasti Rama doain." Kataku. "Menunya ada apa aja, Bu?"
"Banyak. Ada salad, ada cake sama roti, ada steak, ada kopi-kopi, ada minuman dingin yang enak-enak. Kalo kamu sempet, kamu mampir aja, ke sana."
"Oke deh, nanti Rama kapan-kapan ke sana." Kataku. Alhamdulillah. Ibuku memiliki usaha sampingan yang mulai besok sudah berjalan. Semoga itu menjadi jalan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluargaku. Untuk memperbaiki hidup Sarah yang kini masa kecilnya seolah terampas dengan keharusan mengikuti Ibu bekerja. Aku tidak bisa menyalahkan ibu untuk masalah Sarah. Tapi, aku juga tidak bisa memaksakan agar Sarah tetap di rumah dan bisa bermain dengan teman-temannya.
"Ajak temen kamu, ya."
"Iya, Bu."
Aku masuk ke dalam kamar untuk mandi dan ganti baju. Lalu merebahkan tubuhku di atas kasur yang empuk.
Aku masih tidak percaya hari ini begitu indah. Aku sangat senang, ini sangat membanggakan. Dari dulu, aku enggak pernah ikut lomba seperti ini. Ditonton banyak orang, di tepuk tangani banyak orang seperti ini. Ini benar-benar membanggakan.
Aku masih tidak percaya bisa sedekat itu dengan Nabila. Ia datang hanya untuk menontonku, lalu bersamaku berjalan mencari sampah plastik untuk tugas seni budaya. Nabila begitu cantik, meskipun terlihat lelah berjalan kaki cukup lama denganku, tapi justru kelelahannya itu tidak mengurangi kecantikannya. Ia tetap cantik, senyumnya sangat manis. Aku mengingat-ingat lagi momen bersamanya sore tadi.
Sebenarnya, aku lelah sekali hari ini. Tapi lelahku sudah terbayarkan dengan seharian tadi melihat Nabila yang entah berapa kali tersenyum kepadaku.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...