26

319 21 0
                                    

Sore ini, sepulang sekolah, Nabila mengajakku dan Anggun untuk mengerjakan tugas seni budaya di rumahnya. Sebenarnya aku cukup ragu untuk pergi ke rumah Nabila, karena bisa jadi Thomi mengusirku karena tidak terima aku menginjakkan kaki di rumahnya. Tapi, Nabila sendiri yang mengajakku untuk ke rumahnya. Dari awal, ia yang meminta untuk mengerjakan tugas ini di rumahnya. Aku ikuti saja maunya, bagaimanapun juga, Nabila sama seperti Thomi, dia adalah orang yang memiliki kuasa atas rumahnya.

Sebelum berjalan menuju rumah Nabila, kami keliling dulu ke beberapa warung kopi dan warung tegal yang sempat kudatangi untuk meminta bungkus kopi bekas. Dari beberapa warung kopi dan warung tegal itu, kami mendapat banyak sekali bungkus kopi, sehingga itu mempermudahkan kami mengerjakan tugas karena tidak perlu takut kekurangan bahan.

Tidak butuh waktu lama untuk akhirnya kami sampai di rumah Nabila. Aku dan Anggun dipersilahkan masuk sesaat setelah Nabila membuka kunci pintu rumahnya.

"Ayo masuk, anggep aja rumah sendiri." Katanya sambil ia melangkahkan kakinya ke dalam rumahnya.

Aku mencerna perkataannya yang meminta aku untuk menganggap rumah ini adalah rumahku sendiri. Itu perkataan biasa yang diucapkan pemilik rumah terhadap tamunya. Namun, kali ini berbeda. Aku mengamini perkataannya, aku mau memiliki rumah yang juga dimiliki oleh Nabila juga. Satu rumah, milik kami berdua. Di masa depan.

"Enggak ada siapa-siapa, Bil?" Anggun nanya. Lalu ia menduduki sofa yang tersedia di ruang tengah.

"Enggak ada, bokap-nyokap pulangnya sore." Jawabnya sambil menyalakan tv yang berada di ruang tengah.

"Kemana emang?" Tanyaku.

"Kerja." Jawabnya singkat. "Sebentar, ya?" Ia meninggalkan aku dan Anggun yang sedang duduk di sofa di ruang tengah. Tak lama, Nabila kembali membawa tiga gelas es sirup rasa melon, lalu meletakkannya di atas meja. "Minum, ya." Katanya sambil meletakkan gelas-gelas itu. Lalu pergi lagi meninggalkan ruang tamu

"Iyaa, makasih." Kataku sambil mengambil gelas itu dan meminumnya, Anggun juga demikian.

Aku melihat-lihat keadaan rumah Nabila. Banyak foto-foto yang dipajang di dinding rumahnya. Fotonya, foto kakaknya, foto kedua orang tuanya. Aku memandang foto-foto itu, memperhatikan wajah Nabila saat masih kecil. Ia sudah imut sejak kecil. Pantas saja kini ia terlihat sangat cantik.

"Ayo buat, gue enggak boleh pulang malem-malem." Anggun yang memecah keheningan. Aku yang mendengar perkataan Anggun, segera mengambil bungkus kopi yang kusimpan di tasku, mengeluarkan semua.

"Jadi, kita mau bikin apa?" Ucap Nabila yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Ia sudah mengganti pakaiannya, kini ia menggunakan celana training panjang dan kaos lengan pendek berwarna hitam. Tidak perlu baju bagus-bagus, pakai apa saja, sepertinya ia akan tetap terlihat cantik.

"Iya, Ram. Bikin apa?" Anggun menambahkan.

Aku menengok mereka berdua bergantian, berpikir sejenak. Sebenarnya aku juga belum tahu mau buat apa. Aku tidak mau terlalu repot membuat kerajinan tangan yang super bagus. Yang penting, tugas ini bisa dikerjakan dengan baik, dan selesai dengan cepat.

"Kita bikin keranjang belanja aja." Jawabku. "Keranjang belanja kan bermanfaat, bisa dipake belanja ke pasar, jadi hemat kantong plastik."

"Emang lu bisa?" Anggun nanya.

"In syaa Allah." Kataku.

Nabila tidak merespon, sepertinya ia setuju saja dengan keputusanku. Aku merapihkan bungkus kopi yang berhamburan di meja agar bisa segera kupakai untuk membuat kerajinan tangan.

"Bil, gunting sama lemnya, ada?"

"Oh iya, sebentar." Nabila bangkit dari duduknya lalu masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil gunting dan lem. Lalu kembali dan memberikannya padaku. Aku menerimanya, dan meletakkannya di atas meja.

Aku yang sudah pernah melihat proses pembuatan keranjang dengan plastik sampah, mulai mencontohkan bagaimana cara melipat-lipat bungkus kopi dan memasangnya satu per satu. Lalu membiarkan Nabila dan Anggun mulai membantu melipat bungkus kopi persis seperti apa yang aku contohkan. Pengerjaan itu memakan waktu agak lama. Baru setengah jalan proses pembuatan keranjang, Anggun terpaksa pulang duluan, karena ia memang tidak boleh pulang terlalu malam. Aku tidak keberatan dengan kepulangan Anggun, justru semakin senang karena mendapat waktu berduaan dengan Nabila.

Sambil melipat, kami berdua ngobrol banyak. Membicarakan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Seperti apa permainan anak-anak yang paling kami senangi, apa makanan yang paling kami senangi, dan lain-lain.

"Gue, dulu sering banget main petak umpet." Katanya sambil membantuku menyusun bungkus kopi.

"Gue juga sering main itu. Dulu, sama temen-temen di rumah." Balasku.

"Hahaha. Seru, kan?!" Nabila nanya.

"Iyaa, saking serunya, temen gue ada yang ngumpet di tempat sampah. Hahaha."

"Hahaha, ada-ada aja temen lu. Sampe segitunya"

Waktu terasa berjalan dengan cepat. Enggak terasa, keranjang belanjaan itu sudah jadi.

"Keren ya, dari sampah bisa jadi kayak gini?" Katanya.

"Iyaa, Bil, keren."

"Padahal, ini, kan, sampah, ya, Ram? Bagi sebagian orang enggak guna, tapi ternyata bisa berguna bagi orang lain."

"Dari sampah ini kita bisa belajar, Bil. Untuk ngehargai segala hal. Termasuk sampah." Kataku tegas. "Hehe."

"Hahaha, sok bijak ah lu, Ram." Nabila menepuk pundakku pelan sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa melihatnya. Walaupun hanya tepukan biasa, yang kurasa, Nabila pun tidak sadar melakukannya. Tapi aku merasa senang ia bertingkah seperti itu.

Nabila tiduran di sofa yang lain, Aku tetap duduk di sofa yang sejak awal aku datang, aku duduki, sofa tempat di mana kami membuat kerajinan tangan itu.

"Selama ini, jarang ada yang main ke rumah gue. Kadang gue ngerasa sepi."

"Masa iya?"

"Iyaa."

"Enggak pernah ngerjain tugas bareng, gitu?" Tanyaku.

"Enggak pernah. Dulu, kalo ada tugas, ngerjainnya di sekolah." Jawabnya.

Aku sedikit heran, Nabila tidak perah bermain dengan teman-temannya di rumah, seorang Nabila merasa sepi. Bagaimana bisa? Padahal, sepengetahuanku ia cukup populer di sekolah.

"Makasih, ya, Ram. Udah mau ngerjain tugas kelompok di rumah gue."

Aku tesenyum. "Iyaa, Bil. Gue seneng kok bisa ngerjain tugas bareng lu."

Hari ini, di rumahnya. Aku merasa semakin dekat dengannya, kami terus bicara banyak hal. Hingga tidak sadar waktu sudah malam, dan aku harus segera pulang.

"Kayanya, gue udah harus pulang." Kataku mengakhiri pembicaraan.

Nabila menengok ke arah jam yang menempel di dinding. "Oh, yaudah. Makasih ya, Ram." Katanya pelan.

"Iyaa, sama-sama." Aku merapikan barang-barangku, memasukkannya ke dalam tas. Lalu bersiap untuk pulang. Nabila mengantarku sampai teras.

"Besok main-main lagi ya, ke rumah gue." Katanya saat aku sedang memakai sepatu di teras.

Aku menatapnya, melihat wajahnya yang sepertinyamengharapkan kehadiranku lebih lama di rumah ini. Aku tersenyum. "Gue pastisering-sering main, kok, Bil." Balasku. Nabila tersenyum mendengar ucapanku.

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang