"Ram." Nabila memanggilku saat aku hendak berjalan masuk ke dalam kelas. Saat itu, Nabila sedang duduk di kursi depan kelas. Aku berhenti melangkah, memandangnya. "Sini." Ia menepuk-nepuk kursi sebelahnya sebagai bentuk perintah agar aku duduk di sampingnya. Aku tersenyum tiba-tiba saat itu.
"Gimana, buat tugas seni budaya?" Tanyanya.
"Hmm... Emangnya mau ngerjain kapan?" Aku berbalik tanya.
"Kalo lu udah siap, sih, mendingan kerjain secepatnya aja." Jawabnya.
"Gue sih siap kapan aja, asal jangan sore ini, gue harus latihan bulu tangkis."
"Oh iyaya, lu kan mau lomba. Emang lombanya hari apa?"
"Hari Selasa, Rabu, Kamis, sama Sabtu. Tapi kalo dari hari pertama, udah kalah, ya gue gugur." Kataku menjelaskannya.
"Jangan gitu, dong, ngomongnya. Harus optimis menang. Lu pasti bisa."
"Bukannya enggak mau optimis, tapi gue enggak yakin bisa menang lomba itu. Soalnya ini pertama kalinya." Balasku. "Omong-omong, emang, lu udah kepikiran, Bil. Mau buat apa?"
Nabila hanya menggeleng. Mengartikan ia belum tahu mau membuat karya apa.
"Yaudah, kita pikirin dulu aja mau bikin apa, nanti kalo udah tau, baru kita buat." Aku memberikannya solusi agar nanti, saat mulai mengerjakan, kami tidak kebingungan mau membuat apa.
"Iya, jugaan, kita, kan, harus punya barang-barangnya dulu, baru bisa dibuat jadi satu kerajinan tangan."
"Yaudah, nanti itu sekalian gue pikirin juga." Kataku. "Gue dari tadi di kantin, enggak ngeliat lu, Bil. Lu enggak makan?"
"Gue bawa bekel, tadi makan di kelas."
"Tapi, Thomi tadi gue liat makan di kantin."
"Dia emang begitu, males bawa bekel. Maunya jajan mulu di kantin. Di rumah juga begitu, kalo malem maunya makan di luar, padahal di rumah banyak makanan. Haha, emang kebiasaan!" ia menekankan pada kata kebiasaan dengan sedikit berseru. Sepertinya ia kesal juga dengan sikap Thomi.
"Kalo, lu?"
"Gue lebih sering makan di rumah. Males beli-beli. Apalagi kalo siang-siang harus desek-desekkan di kantin. Gue males banget."
"Hahaha, iyaa kantin kalo awal-awal emang rame banget, tapi beberapa menit setelahnya udah mulai sepi lagi. Gue liat-liat, banyak yang bawa makanannya ke kelas. Mereka makan di kelas."
"Iyaa, makan di kelas lebih enak. Adem, ada AC. Daripada di kantin." Balasnya.
Kringgg
Bel masuk jam sekolah sudah berbunyi, waktu berharga antara aku dan Nabila sudah habis, padahal aku masih ingin banyak bicara dengannya, ingin mencari tahu tentang dirinya. Tapi apa boleh buat? Kami berdua segera masuk ke dalam kelas.
Setidaknya aku mengetahui bahwa Nabila tidak terlalu suka makan di luar, ia juga tidak terlalu senang jajan di kantin.
--
"Rama, semangat latihan bulu tangkisnya!" Kata Nabila saat ia tiba-tiba duduk di sampingku. Kondisi kelas cukup sepi, karena bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Sehingga murid lain langsung bergegas ke luar kelas untuk pulang, atau mungkin untuk bermain.
Aku menengoknya, menatap wajah cantiknya yang jaraknya sangat dekat. "Hehe, Makasih, Bil." Ucapan semangat darinya benar-benar masuk ke dalam tubuhku. Aku kini siap untuk latihan, dan bertekad memenangkan pertandingan. Nabila ini membuat perasaanku yang tadinya malas, menjadi bersungguh-sungguh. Ia membantuku melewati perlombaan ini.
"Yaudah, gue pulang duluan, ya." Ia beranjak dari duduknya.
"Lu enggak pulang bareng sama abang lu?"
"Enggak, dia mah, pulang sekolah main dulu sama temen-temennya."
"Main dimana?"
"Ada tempat tongkrongannya, enggak jauh dari sini."
"Ooh gitu." Sebenarnya aku ingin sekali mengantarnya sampai rumah. Walaupun tidak menaiki sepeda motor, setidaknya ia aman berjalan kaki sampai rumahnya. Aku tidak bisa menawarinya untuk mengantarnya pulang, karena selain aku yang malu mengatakannya, aku pun harus latihan saat ini.
"Yaudah, duluan, ya. Bye" Katanya sambil pergi meninggalkanku. Aku memperhatikannya yang perlahan menjauh menghilang dari pandanganku. Lalu bergegas dan menghabiskan waktu untuk latihan.
--
Support saya dengan vote, dan share cerita ini. Jangan lupa untuk Follow saya juga ya!
Ig: Rizardila
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...