22

369 23 0
                                    

Setelah mendatangi beberapa warteg dan warung kopi, aku yang sudah cukup lelah karena dari pagi tadi lomba bulu tangkis, dan berjalan kaki bersama Nabila memutuskan untuk istirahat di warkop yang terakhir.

"Duduk dulu, yuk, Bil." Kataku di Warung Kopi Merah Hati. Nabila langsung duduk di kursi yang tersedia di warkop, dan aku mengikutinya. "Mau minum apa?"

Nabila, Ia melihat-lihat sachet-sachet yang tergantung di warung kopi itu. "Itu aja, susu coklat." Katanya sambil menunjuk salah satu sachet. Aku langsung memesankannya, dan memesan es cappuccino untukku juga.

"Capek, enggak?" Tanyaku.

"Lumayan, sih. Tapi, kayaknya capekan lu, deh. Kan tadi lomba, terus sekarang keliling-keliling."

"Haha, iya, gue emang capek. Makanya ngajakin lu duduk di sini."

Tak lama minuman kami datang. Kami segera meminumnya.

"Enak enggak?" Tanyaku. Ia hanya mengangguk.

"Lu tau enggak, bil. Kopi apa yang paling gampang di buat?"

"Kopi sachet?"

"Salah."

"Terus apa?"

"Kopi paste. hahaha." Aku tertawa.

"Hahaha. iya gampang tinggal ctrl+c terus ctrl+v." Nabila tertawa.

"Tugasnya kan dikumpulin beberapa hari lagi, lu emang bisa ngerjain dalam waktu sebentar?" Tanyanya.

"Semoga aja, kayaknya bikinnya enggak terlalu susah, deh."

"Iyaa, sih. Tinggal disambung-sambungin terus di lem."

"Iyaa, yang penting sih, bahannya ada. kalo enggak ada, kita pusing bikinnya, Bil."

"Kalo enggak ada, nanti gue beli aja kopi sachetan, terus kita gunting-guntingin untuk bikin tas."

"Jangan, Bil. Tujuan tugas ini kan untuk mendaur ulang sampah. Kalo kita beli dulu, terus kita buat kerajinan pake bahan yang kita beli, itu namanya kita bukan mendaur ulang sampah yang ada. kita bikin sampah, terus kita daur ulang. Emang sih, sama-sama baik. Tapi, kayaknya lebih baik kita pakai sampah yang udah ada aja. Jangan beli."

"Iyaa, sih. Kalo beli, kita enggak ngurangin sampah, kita bikin sampah dari apa yang kita beli aja."

"Iyaa, ngerjain tugas emang penting, tapi ngejaga lingkungan dengan mengurangi sampah yang ada, itu juga penting." Kataku. Ia hanya mengangguk-angguk menandakan setuju dengan perkataanku.

"Kemarenan, di sekolah banyak keributan." Katanya tiba-tiba.

"Keributan?" Tanyaku heran.

"Biasa, banyak orang-orang yang dikerjain lagi sama gengnya Thomi." Jawabnya. Aku terdiam. Ia membahas kakaknya. Aku bingun harus berbuat apa. Tidak mungkin aku menjelek-jelekkan Thomi di hadapannya. Tidak mungkin juga aku membela Thomi atas perbuatannya.

"Terus gimana?"

"Gue kesel sama Thomi. Masa ada orang yang lagi di kamar mandi, di siram dari atas. Jadi basah kuyup, dia." Katanya. Kamar mandi sekolah memang seperti itu, temboknya tidak penuh menutupi kamar mandi, tersisa sedikit. Entah atas tujuan apa, mungkin supaya udara kamar mandi tidak terlalu panas.

"Ada-ada aja, ya?" Kataku. Aku tidak mau terlalu banyak berkomentar soal itu. Aku sering merasakan dijahili oleh Thomi, tapi, mungkin tidak separah orang itu.

"Di rumah, gue udah coba negur dia. Tapi dia itu enggak pernah bisa dinasihatin."

"Gapapa, tegur aja, terus, Bil. Siapa tahu lama-lama dia nurut." Kataku. Sepertinya ia tidak tahu kalau aku sering sekali menjadi orang yang dijahili Thomi. Atau mungkin, sebenarnya ia tahu, tapi hanya tahu beberapa saja. Seperti saat tas ku dipindahkan ke tengah lapangan, dan foto-fotoku di pajang di mading sekolah. Mungkin hanya itu, ia tidak menyadari kalau saat aku mengerjakan tugas, Thomi pernah merebut bukuku, ia juga tidak tahu kalau saat aku bermain bulu tangkis bersamanya, itu karena ulahnya. Bukan karena aku mengajukan diri untuk bermain melawannya. Sepertinya Nabila tidak menyadari itu.

Aku agak kesal mendengar cerita itu, tapi aku tidak tahu siapa orang yang dijahili Thomi. Aku tidak mau perbuatan seperti itu terus terjadi. Aku harus berbuat sesuatu, aku harus mendoakan mereka, jangan sampai ada korban seperti itu lagi. Aku harus memperhatikan lingkungan sekolah, dan membantu orang-orang yang masih ditindas seperti itu.

Aku merasa lapar saat duduk sambil ngobrol dengan Nabila di warung kopi ini, maka kuputuskan untuk memesan dua mie rebus telur untukku dan untuk Nabila.

"Kok mesennya dua?" Tanya Nabila

"Buat lu, satu."

"Hahaha, bukannya nanya dulu. Emang gue doyan mie rebus?"

"Hah? Lu enggak doyan?"

"Doyan."

"Yeee. Terus ngapain gue harus nanya dulu." Kataku dengan wajah yang datar.

"Hahaha." Ia hanya tertawa.

Kami memakan mie rebus telur itu.

"Mau kuning telurnya, enggak?" Tanyanya.

"Emang lu enggak suka?" Aku bertanya balik. Ia hanya menggeleng. "Yaudah." Lanjutku.

Nabila memberikan kuning telurnya untukku. Ini terlihat biasa saja. Namun sangat berarti bagiku. Menerima apapun yang ia miliki, akan selalu menjadi sesuatu hal yang menyenangkan untukku. Bukan soal harganya, bukan perkara hanya sebutir kuning telur. Tapi soal siapa yang memberikannya. Nabila, perempuan cantik yang sejak awal melihatnya, aku pikir, aku sudah jatuh cinta.

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang