Hidupku di Bandung tidak seindah yang kupikirkan. Biasa saja. Tidak berbeda jauh dengan kehidupan di Jakarta. Macetnya sama, terkadang panasnya sama, dan ramainya sama. Jauh sekali dengan ekspektasiku yang tinggal di tempat yang sejuk, dengan suasana yang berbeda dengan Jakarta.
Hidupku jauh lebih hampa. Rasanya, aku ingin kembali ke Jakarta saja. Kuliah di sana bersama Nabila. Namun semua sesal adalah kesia-siaan. Tidak ada yang bisa diubah dari masa lalu. Hanya saja, itu bisa dijadikan pelajaran untukku.
Semenjak itu, aku tidak lagi mau menanggung sebuah harapan. Aku tidak dekat-dekat dengan perempuan di Bandung. Hanya berteman dengan sedikit orang, dan aku selalu berusaha membatasi porsi bertemanku. TIdak mau terlalu dekat sebab takut membuatnya menaruh harapan padaku, dan aku bisa jadi mengecewakannya.
Cukup kejadianku dengan Nabila yang seperti itu. Aku tidak mau ada lagi perempuan yang tersakiti karena tingkah lakuku.
"Malem minggu, kemana lu, Ram?" Tanya Erik, salah satu teman sekelasku di kampus.
"Di kostan aja."
"Cewek kan banyak, Ram. Junior juga banyak tuh yang suka ngelirik lu. Kenapa lu cuekin terus, sih?"
"Iyaa, cewek banyak. Tapi laki-laki kan juga banyak, Rik. Kenapa harus gue yang ladenin mereka."
"Emangnya enggak jenuh apa setiap hari sendirian?"
"Dari dulu juga gue udah biasa sendirian."
"Yaa maksudnya sekarang usia lu udah bertambah. Udah enggak kaya dulu lagi. Gue rasa di umur-umur segini, setiap manusia udah butuh yang namanya pasangan. Buat bikin lu seneng ngejalanin hari-hari lu. Buat nemenin kehidupan lu juga. Jadi, enggak cuma diem di kostan doang."
"Iyaa, gue juga udah mikirin itu. Tapi kalo cewek-ceweknya enggak bisa bikin gue nyaman, buat apa dipaksain, sih, Rik?"
"Gimana bisa nyaman kalo lu nutup diri terus." Jawabnya sekali lagi. Aku terdiam mendengar perkataannya.
"Sorry ya, Ram gue bahas ini tiba-tiba. Soalnya gue kadang kasihan sama lu, kaya kesepian gitu. Terus temen-temen gue ada beberapa yang nanyain lu, tertarik sama lu, tapi lu kaya enggak pernah tertarik sama cewek-cewek di kampus ini."
"Gapapa, Rik. Santai."
Memang, kenyataannya aku menutup diri dengan perempuan-perempuan di Bandung. Tapi bukan tanpa alasan aku menulakukan hal itu. Aku masih belum bisa melupakan perempuan yang kukenal di SMA dulu.
Bertahun-tahun kuliah, aku tidak menemukan perempuan semenarik Nabila. Rasa sulit sekali mengusirnya dari perasaanku. Bertahun-tahun lamanya, masih saja dia yang aku harapkan.
Aku memang masih terus berdoa agar bisa kembali dekat dengannya, kembali menghabiskan waktu dengannya, dan tertawa berdua. Aku juga menyelipkan doa agar bisa hidup bersamanya, merencanakan hari tua, dan menua bersamanya. Tapi itu adalah doa, dikabulkan atau tidaknya, aku yakin Tuhan memiliki rencana.
Selama kuliah, aku hanya sekali bertemu dengan Nabila. Satu tahun menjalani kuliah, masing-masing dari mahasiswa diundang oleh sekolah untuk mensosialisasikan kampusnya. Aku ke sekolah mengenakan almamaterku, bertemu dengan teman-teman yang sama-sama diterima di perguruan tinggi negeri.
Sudah lama aku menunggu hari sosialisasi kampus. Harapan bertemu lagi dengan Nabila begitu besar. Aku pergi ke jakarta beberapa hari sebelum sosialisasi kampus dilakukan agar tidak ada halangan yang tidak diinginkan mengganggu kedatanganku ke sekolah.
Di hari sosialisasi kampu, Aku bertemu Nabila, yang sedang berkumpul dengan teman-teman yang satu kampus dengannya. Senang sekali rasanya bisa melihat wajahnya lagi. Memandanginya dari jauh saja, senyum di bibirku secara otomatis terbentuk. Aku merindukannya, benar-benar merindukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...