Pagi ini aku mendapat surat izin keluar kelas yang sudah disiapkan oleh guru olahragaku. Aku memberikannya pada guru yang sedang mengajar di kelasku, lalu bergegas berangkat untuk mengikuti perlombaan bulu tangkis di hari pertama.
Teman-teman di kelas cukup heboh saat aku izin pada guruku untuk pergi lomba. Banyak diantara mereka yang menyemangatiku, namun ada juga juga yang mencemooh.
"Semangat, Rama!" Kata Anggun saat aku hendak pergi.
"Cieee Rama Lomba." Kata salah satu teman perempuan di kelasku.
"Hahaha, Palingan hari pertama langsung kalah." Sahut Raka dari kursi bagian belakang. Aku tidak menghiraukannya. Tidak penting, akan kubuktikan bahwa aku bisa memenangkan pertandingan hari ini. Aku melihat ke arah Nabila. Ia sedang menatapku.
Nabila mengepalkan tangannya, dan bicara "Semangat!" Tanpa bersuara, lalu diakhiri dengan senyuman. Aku mengetahui perkataannya itu dari gerak bibirnya. Aku tersenyum ke arahnya, lalu pergi.
"Udah siap?" Tanya guruku saat aku bertemunya di parkiran mobil sekolah. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Perjalanan menuju lokasi perlombaan tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Aku cukup deg-degan saat di perjalanan. Tidak mengerti bagaimana rasanya lomba bulu tangkis dan ditonton banyak orang. Aku tahu, berkat doaku, aku memiliki kemampuan bermain bulu tangkis yang baik, tapi aku tidak tahu bagaimana kehebatan lawan mainku nanti.
Sampai di sana, setelah ganti baju, aku langsung duduk di kursi pinggir lapangan, lomba sudah dimulai, beberapa orang sedang bermain. Aku hanya duduk menonton mereka. Guruku bilang setelah orang itu selesai, giliranku. Nasib baik kami tiba tepat waktu.
Aku mulai pemanasan, meregangkan otot-otot tubuh, dan berlari-lari kecil, dan berlompat-lompat. Tak lama giliranku mulai.
Ternyata tidak sesulit yang kubayangkan, aku bermain dengan tenang karena melihat lawanku yang susah payah menghadapiku. Aku pikir, aku bermain dengan cukup baik. Tidak sulit menyelesaikan pertandingan dengan kemenangan kelak.
Guru olahragaku tertawa memandangku saat aku menyelesaikan pertandingan.
"Minum dulu." Ia memberikanku minuman isotonik. Aku mengambilnya dan segera meminumnya. "Bagus, lawan kamu kelabakan." Katanya. Aku hanya tertawa saat ia berkata seperti itu.
"Gimana? Susah enggak, tadi?"
"Enggak, Pak. Biasa aja."
Aku heran mengapa guruku bertanya seperti itu, padahal jelas sekali aku mengalahkannya dengan telak di pertandingan tadi.
"Inget, untuk besok-besok, jangan ngerendahin kemampuan lawan kamu. Harus tetap fokus."
"Iya, Pak. In syaa Allah." Jawabku. Masih ada beberapa pertandingan lagi yang harus kulewati, aku harus tetap fokus, tidak boleh meremehkan siapapun lawanku. Aku melihat ke lapangan, melihat orang-orang lain yang sedang bertanding. Mereka hebat-hebat, aku tidak menyangka bisa bersaing dengan mereka.
Pertandingan bulu tangkis berlangsung beberapa hari, sehingga aku harus bolos pelajaran demi mengikuti lomba ini. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan perlombaan, tapi apa boleh buat? Guru olahragaku yang meminta ini, dan, Nabila yang menyemangatiku agar bisa memenangkannya. Aku berlomba bukan demi nama sekolah, namun demi mendapatkan senyum Nabila lebih sering lagi.
--
Hari ini hari sabtu pagi, aku sedang pemanasan di pinggir lapangan. Ini adalah babak final, aku melihat beberapa orang sedang bermain di lapangan, memperebutkan gelar juara lomba bulu tangkis dari tim ganda putra. Mereka hebat-hebat, aku masih tidak menyangka bisa bersaing dengan orang yang memiliki kemampuan bermain yang sehebat itu.
Kini giliranku bermain, Aku melawan salah seorang dari SMA Tunas Jaya. Aku tidak bisa meremehkannya. Karena bagaimanapun juga, ia bisa sampai ke babak final, itu artinya cara bermainnya bagus.
Aku meperhatikan cara memukulnya saat sedang pemanasan. Dia bermain dengan sangat santai. Tapi aku yakin aku bisa melawannya.
Aku melihat ke arah guruku, dia menatapku dengan tatapan bangga. Kemarin, saat di semi final, ia bilang: Sudah sampai di final saja, kamu sudah hebat, apalagi bisa menang? Bapak enggak tau deh sebangga apa sama kamu.
Aku senang mendengar perkataannya, meskipun pertandingan bulu tangkis ini menyita waktuku, aku kini merasa cukup senang melakukannya. Ini memang benar-benar mengganggu aktivitasku yang lain. Aku jadi tidak belajar, aku tidak bersekolah dengan penuh, aku tidak bisa bermain dengan teman-temanku, Icha, Dita, dan Imam. Aku juga tidak bisa bertemu Nabila.
"Rama, Bisa!" Teriak salah seorang wanita di bangku penonton. Aku melihatnya, itu Icha. Ia datang untuk menyemangatiku, ia datang untuk menonton dan mendukungku. Bukan hanya dia, aku juga melihat Imam di sana, dan ada Anggun, juga Nabila.
Nabila?
Aku menengok ke arah sana lagi, memastikan wanita cantik itu benar Nabila. Ia melambai padaku, Aku membalasnya dengan sedikit ragu. Ia datang. Aku ditonton olehnya. Dia membakar semangatku untuk memenangkan pertandingan ini. Aku tersenyum, lalu bersiap untuk memulai pertandingan.
Tidak butuh waktu lama untuk memenangkan pertandingan, aku memenangkan pertandingan dengan skor yang baik. Guru olahragaku berlari memelukku dengan senyumnya yang meriah, penonton bersorak-sorak. Tepuk tangan penonton terdengar sangat meriah, aku memandang ke arah sana, Nabila juga tersenyum dengan bertepuk tangan. Aku membalas senyumnya, lalu melambai ke arahnya sampai akhirnya ia membalas lambaianku dengan cepat. Baru kali ini, aku bangga dengan diriku sendiri. Walaupun bukan karena kerja kerasku, tapi karena kekuatan doa itu.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...