38

274 20 0
                                    

Hari itu, acara dimulai jam tujuh malam, sampai jam sembilan malam. Maka aka kuputuskan untuk berangkat menuju rumahnya sehabis sholat maghrib. Penampilanku sudah kupastikan begitu rapih, sehingga membantuku untuk lebih percaya diri.

Acara ulang tahun ini, bukan dirayakan hanya denganku, melainkan dengan teman-temannya yang lain. Aku harus berpenampilan bagus agar tidak memalukan diriku sendiri.

Setelah turun dari bus, aku melangkahkan kakiku menuju rumahnya, jantungku berdetak lebih cepat lagi sebab dari kejauhan, aku sudah melihat Thomi, Raka, dan teman-temannya. Langkahku terhenti karena melihat mereka. Keragu-raguan kini menghadangku.

Aku takut jika datang, mereka tidak bisa menerima kehadiranku. Aku takut ada hal-hal yang terjadi di sana. Apalagi, jika emosiku tidak terkontrol. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal yang dibenci Nabila di acara ulang tahunnya sendiri?

Aku belok ke jalan yang dekat denganku untuk menghindar dan memikirkan apa yang harus aku lakukan. Pikiranku begitu kacau. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika aku tetap datang ke rumahnya menghantuiku.

Bagaimana jika Thomi mengusirku di depan banyak orang? Bagaimana jika Raka dan teman-temannya yang lain melakukan hal yang tidak aku senang? Bagaimana jika Raka marah sebab kehadiranku? Aku tidak tenang. Pikiranku begitu tidak karuan.

Aku mencoba berdiam diri untuk menenangkan pikiranku. Nabila pernah bilang bahwa, Thomi tidak akan melakukan hal yang pernah ia lakukan padaku waktu itu. Meski aku tetap ragu soal Thomi, namun aku harus berusaha percaya dengan Nabila. Abangnya mungkin bisa menerima kehadiranku, karena aku adalah teman dekat dari adiknya.

Setelah menyiapkan mental, aku mencoba untuk beranikan diri berjalan menuju rumahnya. Perlahan aku melangkah mendekati rumah itu. Aku melihat banyak orang di teras rumahnya. Beberapa di antaranya tidak kukenal, namun tidak sedikit yang kukenal.

Saat sedang berjalan, aku melihat Nabila dan Raka sedang duduk bersebelahan sambil. Ia bicara berdua dengan asyiknya. Entah apa yang sedang ia bicarakan, namun pemandangan itu berhasil melukai perasaanku malam ini.

Keragu-raguanku untuk datang ke rumahnya, lagi-lagi menghentikan langkahku. Apalagi setelah melihat Raka memberikan sekotak hadiah pada Nabila. Apapun isinya, aku rasa itu jauh lebih baik daripada sekedar boneka tokoh kartun yang sedang kubawa.

Dari perlakuannya, Raka terlihat seperti laki-laki yang begitu mencintai Nabila. Aku bisa merasakan perbedaannya jika ia sedang bicara dengan Nabila, dan saat ia sedang bicara pada orang lain, termasuk aku. Perbedaannya begitu jelas. Ia menjadi sosok pria yang begitu lembut saat dekat dengan Nabila.

Aku balik badan dan dengan cepat berjalan menjauh dari rumah Nabila. Aku rasa, ini keputusan yang tepat. Lebih baik aku tidak datang dan mengganggu acara mereka. Lebih baik wajah ini tidak kutunjukan pada mereka, daripada merusak acara yang sudah Nabila siapkan jauh-jauh hari.

Aku tidak ingin ada keributan antara aku dan Thomi, antara aku dan Raka. Aku sudah lelah untuk menghadapi mereka. Maka aku rasa, keputusanku untuk tidak hadir, adalah keputusan yang bulat. Nanti, di lain waktu aku akan menemuinya untuk mengajak bicara dan untuk memberikan apa yang sudah kusiapkan untuknya.

Hati ini bertanya-tanya, apakah Nabila akan marah saat aku tidak datang di acara ulang tahunnya. Atau mungkin, ia sudah mengerti alasanku tidak datang karena tidak ingin ada keributan di rumahnya saat acara itu. Entahlah, dua kemungkinan itu berlari-lari di dalam kepalaku. Aku berharap Nabila mengerti dan memaafkanku, lalu mau kuajak bertemu di kemudian hari untuk memberikan hadiah yang sudah kusiapkan.

Keesokan harinya, aku mencoba menelepon rumahnya, namun tidak ada yang mengangkat telepon itu. Selang lima menit, aku mencoba menelepon untuk yang kedua kalinya, namun tetap saja tidak ada yang mengangkat telepon dariku. Sepertinya sedang tidak ada orang di rumah.

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang