"Ram, ayo main sama gue." Kata seseorang saat aku baru saja memberikan raket pada guru olahragaku. Saat itu, sebenarnya aku sudah ingin ke kelas untuk mengambil seragam dan mengganti bajuku. Tapi orang itu tiba-tiba berkata seperti itu. Saat aku menengoknya, ia memegang dua buah raket. Teman-temannya sudah berjalan menuju kelas untuk istirahat di dinginnya ruangan kelas yang ber-ac. Atau mungkin mereka ingin istirahat. Terserahlah, aku tak peduli. Yang jelas, saat ini, di hadapanku ada Nabila. Wanita cantik yang sejak pertama kali aku sekolah sudah mencuri perhatianku.
Aku terkejut saat menyadari bahwa suara itu berasal dari mulut Nabila, ini akan benar-benar menyenangkan. Aku berdoa untuk didekatkan dengannya, dan pagi ini benar-benar kejadian.
"Ma- main apa?" Tanyaku pelan.
"Main perasaan." Balasnya. Apa maksudnya itu? Dia ingin bermain perasaan denganku? Apa tujuannya berkata seperti itu? "Ya main raket, lah!" Lanjutnya.
"Ohh. Raket? Ayo." Aku melangkah mendekatinya.
"Tapi main santai aja, enggak usah pake skor." Ia memberikan satu raketnya padaku, aku mengambilnya. Aku memandangnya saat mengambil raket itu. Dari dekat, ia terlihat lebih cantik. Padahal rambutnya sedikit lepek saat itu karena dia baru saja menyelesaikan pertandingan bulu tangkis bersama teman-temannya.
"Okee." Kataku.
"Ini raket siapa?" Aku nanya.
"Raket Kakak gue."
Astaga. Ini raket kakaknya. Raket orang yang selama ini terlihat sangat membenciku. Entahlah, ia membenciku atau memang memiliki hobi menjahili orang lain. Dia ini seperti jagoan. Aku kesal setiap kali melihatnya bertingkah macam-macam. Tapi aku tidak peduli siapa pemilik raket ini, yang jelas, kini, aku mulai bermain dengan wanita yang kuharap akan semakin dekat denganku.
Aku mulai memukul kok ke arahnya, ia membalasnya. Permainan ini sangat santai, karena aku hanya ingin berbalas pukulan raket dengannya. Tidak ada poin, tidak ada peraturan, yang penting bermain, dan berkeringat.
"Lu kok jago banget main bulu tangkisnya?" Tanyanya di saat kami masih bermain.
"Hahaha. Biasa aja ah."
"Serius. Thomi waktu SD pernah sekolah bulu tangkis. Dia sering ikut perlombaan." Katanya. Saat itu kok tidak terpukul olehnya. Dia mengambilnya dan mulai memukulnya padaku. "Waktu SD, temen-temennya pada berebutan untuk main bareng dia."
"Wah, keren dong, dijadiin rebutan."
"Iyaa, keren. Tadi pas lu babak pertama, lu kalah sama Thomi sampe lima belas – satu. Gue mikir Thomi emang masih jago main raketnya. Eh tenyata, di babak kedua sama babak ketiga dia sama sekali enggak dapet poin. Lu sengaja di babak pertama ngalah dulu?" Tanyanya.
Ini memang aneh. Kalau di pikir logika, pertandingan ku melawan Thomi tadi memang aneh. Tapi apa boleh buat, Tuhan menjawab doaku. "Enggak sengaja. Di babak pertama gue emang kurang konsentrasi."
Kok jatuh lagi di areanya karena ia tidak berhasil memukul kok itu dengan raketnya. "Lu kenapa pindah ke sekolah ini? SMA Merdeka kan sekolah bagus?"
"Iyaa, emang bagus. Tapi, mahal."
"Gue juga dulu pengen sekolah di sana, tapi karena mahal, yaudah akhirnya sekolah di sini. Soalnya deket dari rumah." Balasnya. Ia tidak menanyakan mengenai perpindahanku lebih lanjut. Padahal, jika ia bertanya mengenai kenapa sempat sekolah di sana, akan sangat sulit untukku menjelaskan kepergian ayahku dan bermasalahnya kondisi keuangan keluargaku.
"Emang rumah lu di mana?"
"Di sana." Dia menunjuk suatu arah. Aku menengok apa yang ia tunjuk.
"Di toilet?"
"Hahaha. Bukan, di gang, di belakang sekolah."
"Oh. Hahaha. Abisan lu nunjuk toilet." Kataku. Dia ikut tertawa.
"Udahan ah, capek." Katanya sambil berjalan ke tempat duduk di pinggir lapangan. Ia duduk di sana. Aku mengambil kok yang terjatuh di areanya, lalu duduk di sampingnya.
"Iyaa. Mendingan sekolah di sini, daripada sekolah di SMA Merdeka. Udah mahal, jauh pula."
"Iyaa. Makanya gue sama Thomi sekolah di sini." Katanya.
"Sebentar ya." Aku bangkit dari dudukku, lalu pergi menuju kantin untuk membeli air mineral. Lalu kembali lagi untuk duduk lagi di sampingnya. "Minum dulu." Aku menyodorkan air mineral botol itu padanya. Ia melihat ke botol mineral itu, lalu memandangku sebelum akhirnya mengambilnya. Sial. Dia tetap sangat cantik walau terlihat agak kelelahan.
"Gue jarang olahraga. Gue juga seneng main raket gara-gara Thomi pernah sekolah bulu tangkis. Makanya mumpung lagi pelajaran bulu tangkis, gue puas-puasin main. Hahaha." Ia tersenyum tipis.
"Gue juga sebenernya jarang olahraga." Kataku. "Tapi gue setiap hari naik bus, jalan kaki jauh, kadang juga lari-lari ngejar bus. Jadi rasanya kayak olahraga."
"Hahaha. Itu bukan olahraga, lari-lari ngejar bus mah namanya kepepet." Katanya. Aku tertawa mendengarnya. Aku senang sekali bisa dekat dengannya. Mendengar tertawanya dengan jarak sedekat ini membuatku ingin berlama-lama duduk di sini bersamanya.
Sejak pagi itu, sekolah ini terasa berubah menjadi tempat yang sangat indah. Tidak ada taman bunga, tidak ada taman bermain, tapi bagiku, tempat ini sudah lebih menyenangkan dibanding taman-taman itu.
--
Support saya dengan vote, dan share cerita ini. Jangan lupa untuk Follow saya juga ya!
Ig: Rizardila
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...