Di sekolah, kehidupanku mulai membaik. Tumben Thomi dan teman-temannya tidak menggangguku. Biasanya, tiada hari tanpa ejekannya, tiada hari tanpa kejahilannya. Aku menengok ke kursi belakang. Mereka sedang tertidur. Padahal guru sedang menerangkan pelajaran. Aku kadang suka memikirkan soal itu, kalau muridnya tidur, kenapa banyak guru yang tidak peduli? Kalau aku jadi guru, mungkin sudah kusuruh mereka keluar dari kelas. Karena tidur saat guru sedang menerangkan, itu artinya mereka tidak menghargai guru.
Aku juga melihat ke arah Nabila. Ia berbeda dengan abangnya. Aku masih tidak percaya, kok bisa Kakak beradik berada di kelas yang sama, dan memiliki kelakuan yang jauh berbeda. Thomi ini benar-benar menyebalkan. Aku tidak mau melihat wajahnya terlalu sering, karena bisa membuatku kesal setiap melihatnya, namun, adiknya, sangat berbeda. Aku justru ingin memandanginya terus, menatapnya, dan menikmati senyumnya yang manis.
Aku merasa lebih tenang sekarang. Sekolah ini memang tidak sebaik sekolahku yang dulu, tapi setidaknya kehidupanku di sini sudah mulai membaik. Aku sudah bisa menyesuaikan diri. Dan murid-murid di sini sudah tidak bertingkah seperti kemarin.
Di jam istirahat, aku menghabiskan waktu untuk makan di kantin. Di keramaian kantin, aku berpikir makanan apa yang akan kubeli. Aku tidak ingin makan nasi goreng melulu, aku ingin mencoba makanan yang lain. Tak lama, seporsi batagor sudah ku pesan.
Keramaian ini sepertinya dimanfaatkan oleh beberapa murid. Aku melihat, Pak Iping, si penjual batagor, memberikan semangkuk batagor pada salah seorang siswa, dan saat Pak Iping melayani orang lain, siswa tadi mengambil batagornya dan meletakkan di piringnya secara diam-diam. Tanpa izin, dan yang pasti tanpa membayarnya.
Apa-apaan ini? Bisa-bisanya ia memanfaatkan keramaian kantin untuk mencuri beberapa potong batagor. Aku sedikit kesal saat itu, tapi tidak berbuat apa-apa. Aku siswa baru, bila aku menghadangnya dan memintanya mengembalikan batagor itu, aku takut akan terjadi keributan di kantin, dan mungkin, aki bisa saja dipermalukan lagi.
Aku mendapatkan pesananku, membeli sebotol air mineral dingin, lalu duduk di salah satu kursi yang kosong. Menyuap sesendok demi sesendok batagor yang sudah diselimuti bumbu kacang ke dalam mulutku.
Saat aku sedang makan, duduk seseorang yang tidak kukenal di sampingku, membawa sepiring nasi goreng dan segelas es teh manis. Ia memakannya dengan cepat. Penampilannya cukup rapi, ia juga memakai kacamata.
"Wei Jon! Makan sendiri-sendirian aje." Kata salah seorang siswa yang tidak kukenal.
"Iya, Bang. Makan, Bang." Kata Jon, siswa yang duduk di sampingku.
"Mane?" Siswa itu mengambil piring makan si Jon, lalu pergi mencari meja lain.
"Bang, jangan, Bang." Kata Jon pelan. Tapi ia seperti tidak berani untuk menahan langkah orang itu.
Aku melihatnya duduk dan mulai menikmati makanan itu dari kejauhan, lalu menengok Jon yang ternyata tidak dalam kondisi yang baik. Wajahnya sungguh menyedihkan bagiku. Ini keterlaluan, orang itu seenaknya mengambil makanan orang. Ini bentuk perbuatan zalim.
Padahal, nasi goreng itu tidaklah mahal. Untuk ukuran anak SMA, nasi goreng itu sangat murah. Orang ini mengapa tidak membeli dan menikmati makanannya sendiri. Kenapa harus mengambil makanan orang lain? Aku tidak bisa menerima ini. ini perbuatan yang tidak bisa dibiarkan. Tapi aku juga tidak memiliki keberanian untuk membela Jon.
Aku memejamkan mataku, dan berdoa agar Jon segera diberikan pengganti makanannya. Aku berharap agar Jon tidak duduk meminum es tehnya dengan wajahnya yang murung lagi, ia harus mendapatkan haknya. Aku berharap Jon segera mendapatkan nasi goreng yang baru.
Aku membuka mata. Tidak terjadi apa-apa. John bangkit dari duduknya lalu berjalan ke luar kantin. Sepertinya ia ingin ke kelas. Entahlah. Doaku ternyata tidak segera di jawab. Apa yang salah?
Aku mengingat-ingat lagi. Bahwa, saat ini aku sedang tidak dalam kondisi dizalimi. Bukan hakku yang diambil, melainkan hak Jon. Bukan aku yang disakiti, melainkan Jon.
Aku berpikir, hari ini aku sama sekali tidak diganggu oleh siapapun murid yang sekolah di sini. Ini pasti berkat doaku kemarin, doaku yang meminta kehidupanku di sekolah berubah jadi baik-baik saja. Doa yang meminta agar tidak ada teman-temanku di sekolah ini yang mengerjaiku lagi, tidak ada yang menghinaku lagi, tidak ada yang mentertawakanku lagi, tidak ada yang jahat padaku.
Jika doaku segera dikabulkan oleh Tuhan ketika dizalimi, seharusnya aku tidak berdoa seperti itu. seharusnya aku berharap agar diberikan kesempatan berdoa lebih banyak. Bukan hanya untukku, bukan hanya untuk kelancaran pendidikanku, melainkan untuk orang-orang yang dirampas haknya, orang-orang yang disakiti hatainya, orang-orang yang disebarkan aibnya, orang-orang yang tidak mendapatkan ketenangan dalam hidupnya. Aku harus melakukan itu, memakai kekuatan doaku untuk membantu orang-orang di sekitarku.
--
Support saya dengan vote, dan share cerita ini. Jangan lupa untuk Follow saya juga ya!
Ig: Rizardila
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...