Saat bel istirahat, aku pergi ke perpustakaan untuk mengetahui mengenai apa yang dikatakan marbut mushola untuk memastikan kebenarannya. Di perpustakaan aku mendekati rak buku-buku agama, dan membuka satu per satu daftar isi dari buku agama Islam.
Setelah beberapa buku, aku menemukannya. Bab mengenai perbuatan zalim. Di sana tertera bahwa Allah berfirman Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang telah berbuat zalim kepada manusia dan telah melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka akan mendapat azab yang pedih. (QS. Asy-Syura :42)
Selain itu, Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa Takutlah kepada doa kaum yang dizolimi, sebab tidak ada hijab antaranya dengan Allah (untuk mengabulkan). (HR Bukhari)
"Sstt."
Aku membaca dengan seksama. Bahwa banyak sekali perilaku zalim. Seperti menyakiti perasaan orang, mengambil hak orang, memfitnah, dan sebagainya.
"Ssst!"
Aku mendengar suara itu. Ternyata suara itu bersumber dari mulut Icha. Ia sedang duduk di kursi perpustakaan. Aku segera mendekatinya.
Icha itu sebenarnya cantik, tapi ia sama sepertiku. Berpenampilan sangat rapi. Rambutnya poni rata, ia menggunakan kacamata hitam bulat. Kulitnya putih, matanya agak sipit. Mungkin gayanya itulah yang membuatnya, dulu, sering dibully oleh murid-murid di sekolah ini.
"Ngapain lu di sini?" Katanya saat aku mendekatinya.
Aku duduk di kursi di sampingnya. "Beli rujak."
"Hah? Emang ada?"
"Ya lu pikir aja sendiri. Mana ada tukang rujak di perpustakaan?" Kataku sedikit sebal.
Icha bertanya pada salah seorang yang sedang duduk juga di kursi sebelah kirinya. "Di perpustakaan ada rujak?" Tanyanya.
"Heh. Gue bercanda." Aku memotong pebicaraan mereka.
"Hahaha. Gue juga bercanda."
"Gue mau nanya." Kataku. "Tadi kenapa lu tiba-tiba bantuin gue?"
"Gue dulu sering dikerjain sama mereka. Awalnya gue enggak berani ngelawan, gue cuma diem aja, terus nangis. Tapi lama-lama gue gerah, gue ngelawan. Eh ternyata mereka kalo dilawan bukannya makin galak, malah diem. Gue juga udah sering bantuin orang yang lagi dibully. Imam sama Dita juga dulu sama kaya lu. Dia dikerjain mulu."
"Kok lu ngelawan, mereka malah diem?"
"Kayaknya mereka enggak mau ribut sama perempuan, deh. Soalnya waktu itu gue bilang ke Imam, kalo dikerjain, lawan aja. Eh pas Imam ngelawan, malah besoknya semakin jadi dikerjain terus. Orang-orang sering banget isengin dia. Akhirnya mau enggak mau, gue yang turun tangan. Setiap Imam dikerjain orang, gue beraniin diri untuk marahin mereka.
"Wih, kok lu berani?"
"Sebenernya sih takut. Tapi gue kasian sama Imam."
"Kalo Dita?"
"Dita enggak berani ngelawan, gue juga yang ngelawan. Sekolah di sini tuh bikin capek hati. Dikit-dikit ada yang berantem, dikit-dikit ada yang iseng, dikit-dikit ada yang nangis."
"Iya sih, untung gue enggak sampe nangis."
"Karena lu baru beberapa hari sekolah. Mereka belum ngerjain lu lebih parah lagi."
"Emangnya mereka sampe kapan berenti ngerjain orang?"
"Enggak tau. Kayaknya enggak pernah berenti deh. Kemarenan aja si Imam masih dikerjain, terus beberapa siswa di kelas lain juga masih sering ada yang isengin. Kayaknya sih mereka bakal terus ngerjain orang selama mereka sekolah di sini."
"Yaelah, ini sekolah kenapa lingkungannya surem banget." Aku mengeluh.
"Mereka itu emang sok jagoan. Mereka suka ngerjain orang yang pinter, orang yang keliatannya kutu buku, orang yang hidupnya enggak gaul, orang yang kerjaannya diem-diem aja disekolah.Tapi dia enggak ngebully orang yang gaul, orang yang asyik kalau bercanda, orang yang enggak peduli sama kegiatan belajar mengajar di sekolah, orang yang sepemikiran sama mereka deh. Dia itu ngerjain orang sesuka hati dia. Lu harus sabar-sabar aja ngadepin mereka. Intinya, lu harus sabar-sabar sekolah di sini. Gue enggak tau sih, kalo lu ngelawan, mereka akan ngapain."
"Gue kan sekolah untuk belajar, biar pinter. Bukan supaya gaul, bukan supaya asyik bercanda." Kataku. Aku memang menyadari kalau aku terlihat seperti kutu buku. Rambutku berponi ke samping, aku menggunakan kaca mata karena sejak kecil aku senang membaca, sehingga mataku rusak sejak lama. Aku juga berpenampilan rapi, baju selalu kumasukkan ke dalam celanaku, aku selalu mengenakan ikat pinggang. Bagiku, itu merupakan kewajiban. Sepertinya tampang sepertiku tidak cocok memakai baju dengan berantakan, baju dikeluarkan, tidak pakai dasi ataupun ikat pinggang. Aku pernah bercermin dengan penampilan seperti itu. Bukan terlihat lebih laki-laki, justru terlihat lebih menjijikkan.
Sebenarnya banyak orang yang mengatakan aku ini tampan, tapi karena sikapku yang terlalu tertutup, dan penampilanku yang terlalu rapih, ketampanan itu berkurang. Aku tidak terlihat sebagai laki-laki yang maskulin, aku terlihat seperti laki-laki yang lemah. Tapi aku tidak peduli, aku jalani saja apa yang aku senangi. Aku lebih senang terlihat rapi daripada terlihat jantan tapi risih dengan penampilanku sendiri.
Icha pergi ke rak buku sebentar, lalu kembali lagi. "Tukang rujaknya di sebelah mana?" Tanyanya.
--
Support saya dengan vote, dan share cerita ini. Jangan lupa untuk Follow saya juga ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...