"Gue denger-denger, tadi lu bantuin Imam pas kacamatanya diambil Thomi?" Kata Icha saat aku sedang makan siang di kantin.
"Denger dari siapa?" Aku beranjak dari dudukku, lalu melangkah menuju penjual minuman.
"Denger dari Dita." Katanya masih dengan posisi duduk di samping tempat dudukku tadi.
"Padahal pas Imam lagi dijahilin Thomi, gue enggak liat Dita." Aku duduk kembali membawa satu teh botol.
"Iyaa, Dita diceritain Imam."
"Oohh... Hahaha. Iyaa tadi gue bantuin Imam. Kasian gue ngeliat dia ngejar-ngejar Thomi buat ngambil kacamatanya. Soalnya gue kalo buka kacamata langsung buta. Bener-bener burem. Enggak bisa liat apa-apa. Gue ngebayangin rasanya jadi Imam pas kacamatanya di ambil, udah kesel, enggak bisa ngeliat pula."
"Imam masih sering digangguin sama mereka, tapi Imam sampe sekarang enggak berani ngelawan."
"Gue kalo jadi Imam mungkin juga enggak bakalan ngelawan. Karena Imam saat itu sendirian, sedangkan Thomi lagi rame-rame sama gerombolan temen-temennya. Imam pasti takut."
"Iyaa, sih. Mereka kalo ngerjain cowok, bener-bener enggak berenti. Tapi pas mereka ngerjain cewek, kalo ceweknya beranti marahin, mereka berenti."
"Lu waktu itu bisa bikin mereka berenti jahilin lu, kan?"
"Iyaa. Pas gue marah-marah, mereka langsung diem."
"Kayaknya bukan mereka yang enggak mau gangguin perempuan, tapi mereka takut sama lu. Kalo lu marah-marah kan serem. Lebih serem dari singa kelaperan. Hahaha." Aku tertawa meledeknya, ia hanya mencubit pelan lenganku.
"Nyebelin lu."
"Gue bantuin Imam, karena Imam, Dita, sama Lu, dulu pernah bantuin gue. Sebenernya gue juga enggak berani-berani amat sama mereka. Cuma saat itu gue nekat bantuin Imam."
"Kita emang harus saling tolong menolong, Ram. Kita pernah ngerasain dibully, rasanya enggak enak banget. Gue enggak mau banyak orang yang ngerasain hal yang sama dengan kita. Gue sering nemuin berita ada orang enggak mau sekolah karena saking seringnya dikerjain di sekolah, ada juga yang langsung pindah sekolah, bahkan ada yang bunuh diri." Katanya. "Hiiih, serem banget, kan?"
Aku mengangguk. "Besok-besok kalo ada yang dijahilin kita harus tolongin." Kataku tegas. Icha hanya mengangguk mengiyakanku.
"Ram, lu mau enggak? Gue kenyang." Icha menawariku beberapa tusuk sate ayam yang tidak mampu ia habiskan.
"Ada-ada aja. Makan sate ayam yang habis lontongnya duluan. Hahaha."
"Emang harusnya apanya yang habis duluan?"
"Tusuknya." Jawabku. Icha memandangku datar. " Hahaha. Ya enggak lah. Bercanda gue." Lanjutku.
"Abisan lontongnya sedikit, satenya sepuluh tusuk. Satenya kebanyakan, Ram."
"Yaudah, gue makan, ya." Aku segera mengambil tiga tusuk sate dari piringnya, lalu meletakkan di piringku. Aku tidak langsung memakannya, nanti saja. Setelah nasi gorengku habis. Rasanya, tidak cocok makan nasi goreng bersamaan dengan sate ayam.
"Perempuan emang begitu, ya? Makannya sedikit." Tanyaku.
"Enggak semuanya, sih. Tapi rata-rata emang makannya sedikit."
"Enak, dong. Kalo makan sama perempuan, makanannya jadi banyak. Dulu nih, Cha. Nyokap gue juga sering begitu. Kalo makan bakso, pasti beberapa butir bakso dioper ke mangkok gue."
"Hahaha. Nyokap gue juga suka begitu."
"Hah? Nyokap lu juga sering ngoper bakso ke mangkok gue? Kapan? Enggak pernah kayaknya?"
"Hahaha. Bukan. Maksud gue, nyokap gue juga suka ngasih makanannya ke gue."
"Oh gitu. Bisa sama gitu ya? Jangan-jangan nyokap kita sama?"
"Hahaha. Ngaco!" Ia tertawa.
Icha ini baik sekali padaku. Di awal pertemuanku ia menolongku saat aku sedang dijahili oleh orang-orang di sekolah ini. Aku sering sekali tertawa jika bicara dengannya, tingkahnya konyol, aku juga dengan santainya melucu di depannya. Tapi entah bagaimana, sulit melucu di depan Nabila. Aku ingin membuatnya tertawa, Ia pasti akan terlihat cantik.
Kini, Icha memberikanku beberapa tusuk sate agaraku bisa lebih kenyang siang ini. Aku senang dengan perempuan yang makannyasedikit dan mengoper makanannya padaku. Ini akan membuatku kenyang lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...