17

418 26 0
                                    

Setelah mandi dan sholat maghrib, aku merebahkan tubuhku di kasur. Dan mulai memikirkan kejadian di sekolah seharian tadi. Setelah aku membantu Imam, tidak ada kejadian macam-macam yang menimpaku.

Aku bicara banyak dengan Nabila pagi tadi, ia cantik, lucu, dan menyenangkan. Tidak butuh waktu lama untuk aku mulai mencintainya.

Entah hari apa, aku akan pergi ke rumahnya untuk mengerjakan tugas kelompok seni budaya. Entah apa yang akan terjadi di sana. Masalahnya, Thomi itu sepertinya sangat membenciku. Aku takut ia justru mengusirku saat aku di rumahnya.

Di sekolah saja ia memperlakukanku seperti itu, seolah-olah ia tidak ingin aku berekolah di sekolah yang sama dengannya. Apa lagi jika aku menginjakkan kaki di rumahnya?

Ibu ngetuk pintu kamarku. "Rama, makan dulu." Katanya dari balik pintu.

"Iyaa, Bu." Jawabku dengan sedikit teriak. Aku segera bangkit dari tidurku dan berjalan keluar kamar, menuju ruang makan. Di sana sudah ada Ibu dan Sarah, adik kecilku yang manis.

"Bang, tadi sarah dikasih coklat gedee." Katanya padaku.

"Siapa yang ngasih?"

"Enggak tau." Katanya. Aku sedikit terkejut mendengarnya. Ia mendapat coklat dari orang yang tidak dikenalnya. Apa itu benar-benar coklat? Atau mungkin terdapat sesuatu di coklat itu? Siapa orang yang memberikan coklat itu pada Sarah?

"Kok enggak tau?" Tanyaku.

"Temen sekantor ibu yang ngasih." Pungkas Ibuku.

"Ohh... Kirain siapa. Bahaya, Bu kalo orang enggak dikenal tiba-tiba ngasih makanan, takutnya ada apa-apanya." Kataku pada Ibu.

"Sarah, kalo orang enggak dikenal ngasih apa-apa, jangan diambil, ya? Tanya ibu dulu, ya?" Aku menasihati Sarah.

"Kan dikasih hadiah, enak. Kok jangan diambil."

"Boleh diambil, tapi harus izin dulu sama ibu." Kataku.

"Iyaa, kamu bilang ibu dulu kalo ada yang ngasih sesuatu." Tambah ibuku. Sarah hanya mengangguk mengiyakan.

"Sebenernya ibu kasian sama Sarah. Dia di sana kayak kesepian, enggak ada temennya. Teman-teman kantor ibu kan sibuk kerja, ibu juga sibuk kerja. Kalo ngeliat Sarah tidur-tiduran di sofa kantor, ibu kadang mau nangis. Kasian dia." Ibu menatapku.

"Iyaa, Bu. Aku juga kasihan ngeliat Sarah setiap hari harus ikut ibu ke kantor."

"Tapi apa boleh buat? Kalo dia ditinggal di rumah, enggak ada yang jagain." Wajah ibuku terlihat memurung.

"Yaudah, Bu. Makan dulu aja." Kataku menenangkannya.

Ibu langsung menyendok nasi untuk Sarah, untuknya juga. Sedangkan aku menunggu giliran untuk menyendok nasiku sendiri. Malam ini kami makan nasi dengan ikan lele, tempe, dan sayur brokoli. Makanan ibuku tidak pernah tidak enak bagiku. Selama ini, aku selalu lebih senang makan di rumah daripada makan di luar karena saking enaknya masakan ibuku.

Sarah menyantap makanannya, nasinya tumpah-tumpah ke meja makan. Wajar, namanya juga anak-anak.

"Habisin, Ram." Kata Ibuku .

"Iyaa, Bu." Aku segera memasukkan makananku ke dalam mulutku dan berupaya untuk menghabiskannya.

Setelahnya, aku mencuci piring, bekas makanku, ibu, dan Sarah. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk meringankan beban ibu, setidaknya aku bisa melakukan hal-hal mudah yang bertujuan meringankan pekerjaan ibuku di rumah, yaitu mencuci piring dan gelas kotor.

Ibu masuk ke kamarnya, Sarah juga masuk ke kamarnya. Setelah aku mencuci, aku juga masuk ke kamarku.

Aku duduk di kursi belajarku. Merapikan buku untuk pelajaran besok. Aku mengingat-ingat Nabila lagi, membayangkan wajahnya saat tertawa, mengingat-ingat manis senyumnya. Aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya.

Tiba-tiba Sarah masuk ke kamarku.

"Bang. Kok sekarang setiap pagi aku sama ibu pergi terus, sih, Bang." Katanya tiba-tiba. Aku sedikit terkejut. Ia masih sangat kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi.

"Bukannya seru main sama temen-temen ibu di sana?" Aku menggendongnya, mendudukannya di tepi kasur, lalu aku berlutut di lantai menatapnya.

"Enggak seru, Bang. Mereka suka cuekin aku."

"Cuekin gimana?"

"Kalo aku ngomong, mereka enggak jawab."

"Mereka kan kerja. Sibuk."

"Ibu juga di sana sibuk terus."

"Ibu kan kerja juga. Kalo enggak kerja, nanti kamu enggak bisa makan." Kataku menjelaskan kesibukkan ibunya. Sarah hanya menunduk terdiam.

"Yaudah kamu sekarang tidur aja. Besok, kan pergi lagi?" Aku mengusap-usap rambutnya.

"Iyaa, Bang." Katanya. Lalu ia pergi ke kamarnya.

Sarah membuatku kepikiran lagi dengan masalah keluarga kami. Aku membayangkan wajah ibuku yang lelah bekerja seharian, dan harus mengurus kedua anaknya. Apalagi Sarah masih sangat kecil, ia masih sangat rewel dan banyak permintaan aneh-aneh yang keluar dari mulutnya. Sarah terkadang sulit diatur, ia mau ini, mau itu, harus dituruti. Ibu sering memarahinya karena itu. Aku jadi sedih karena Sarah tadi.

Dulu, ibu memang selalu di rumah, tapi kini, keadaannya sudah berbeda. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus melakukan sesuatu.

--

Support saya dengan vote, dan share cerita ini. Jangan lupa untuk Follow saya juga ya!

Ig: Rizardila

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang