34

375 21 0
                                    

Malamnya, aku tidak fokus belajar. Seharusnya, di kelas tiga, aku harus rajin belajar agar bisa diterima di perguruan tinggi negeri yang aku mau. Tapi, malam ini rasanya sulit sekali belajar. Aku bahkan lebih memilih merebahkan tubuhku di atas kasur, daripada membaca buku-buku yang sudah tergeletak di atas mejaku.

Pikiranku kembali kepada Nabila. Aku mengingat-ingat apa saja yang sudah pernah aku lewati dengannya. Bermain dengannya, mengerjakan tugas bersama, dan bicara berdua tanpa memperhatikan keadaan sekitar.

Terkadang aku ingin sekali memutar waktu hanya untuk bisa kembali dekat dengannya. Namun, percuma menginginkan hal-hal yang mustahil dilakukan. Mungkin, jika aku tidak terlalu dekat dengan Icha dan teman-temanku yang lain, Nabila bisa lebih mudah untuk memaafkanku.

Tapi, kesalahanku bukan hanya satu. Selain mengecewakannya karena sikapku yang tidak jauh berbeda dengan kakaknya yang arogan, aku juga seperti terlalu dekat dengan Icha. Tapi apa yang harus aku lakukan? Icha adalah temanku, ia yang membantuku saat melewati masa-masa sulit saat pindah ke sekolah ini. Bagaimana mungkin aku tidak bermain dengannya?

Nabila memang cantik, tidak ada yang berubah dengannya walau ekspresi wajahnya kini lebih sering datar dan seolah marah denganku. Bagiku, kecantikannya tidak pernah berkurang. Jika ia tersenyum memang jauh lebih cantik, tapi, aku tetap bisa menikmati cantiknya walau tidak dalam kondisi tersenyum seperti itu.

Aku sangat merindukannya. Rasanya, ingin sekali bicara dengannya. Hingga akhirnya kuputuskan untuk keluar dari kamarku, mendekati meja telepon di ruang tengah. Aku berharap bisa bicara dengannya. Aku meneleponnya.

Sebenarnya, tidak terlalu berani. Jantungku berdegub lebih kencang dari sebelumnya. Aku menarik napas kencang dan mengeluarkannya secara perlahan. Aku harus bisa. Aku harus memberanikan diri.

Dengan perlahan kutekan angka-angka di teleponku, lalu mendengarkan suara saat sedang proses menelepon Nabila.

"Halo, Assalamu'alaikum." Terdengar suaranya di sebrang sana.

Mulutku tidak bersuara. Ada dua hal yang kurasakan, panik sebab kebingungan harus berkata apa, dan senang mendengar suaranya yang lembut. Suara itu yang aku sering dengar beberapa bulan lalu, suara lembut yang kuharap akan selalu kudengar sampai menua nanti.

Diamku terlalu lama, hingga ia bersuara lagi untuk memastikan ada orang yang meneleponnya. "Halo?" Katanya.

Aku masih terdiam. Rasanya sulit sekali mengeluarkan kata-kata saat itu.

"Halo? Halo? Siapa, ya?" Terdengar suaranya sekali lagi. Jantungku berdegub lebih cepat dari biasanya. Aku senang mendengar suaranya, tapi takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

Aku terus saja terdiam, memikirkan harus berkata apa. Apa yang akan terjadi jika aku bicara, dan ia menyadari yang meneleponnya malam ini adalah Rama. Apakah ia akan menyambut teleponku dengan baik? Entahlah saat ini aku penuh dengan keragu-raguan. Bagaimana jika justru ia langsung mematikan teleponnya karena tidak senang kuganggu. Aku takut itu akan terjadi. Maka kuputuskan untuk menutup teleponnya.

Tidak ada perasaan lega yang terjadi saat menutup telepon. Masih saja aku ragu diantara dua, ia kesal diganggu oleh orang tidak jelas yang salah sambung di malam hari, atau ia memikirkan siapa orang yang menelponnya namun tidak mengeluarkan suara.

Aku terdiam, tanganku masih menempel pada gagang telepon yang baru saja kututup. Bodoh sekali.

"Nelepon siapa, Bang?" Tanya Sarah yang sudah berada di sampingku. Aku tidak menyadari Sarah sudah keluar dari kamarnya.

"E- Enggak, enggak nelepon siapa-siapa."

"Abang ngapain, di situ?"

"Tadi ada telepon, salah sambung." Balasku.

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang