39

277 19 0
                                    

Sampai akhirnya beberapa hari kemudian, pengumuman penerimaan universitas jalur nasional keluar. Nyatanya apa yang kuragu-ragukan terjawab sudah. Walaupun aku sudah merencanakan untuk kuliah bersama Nabila, nyatanya, tanpa harapan yang begitu besar, aku diterima kuliah di Universitas Padjajaran Bandung.

Senang sekali rasanya saat mengetahui aku diterima kuliah di tempat yang sejak dulu kuinginkan, namun bersamaan dengan itu, aku juga sedih sebab itu artinya aku tidak bisa sering-sering bertemu dengan Nabila.

Artinya, aku akan berpisah dengannya. Benar-benar berpisah. Sebab, Jakarta- Bandung bukan jarak yang dekat. Tidak mungkin aku bisa pulang dan pergi setiap minggu hanya untuk menemuinya. Aku senang, namun sedih karena Nabila juga menginginkanku untuk kuliah di Jakarta.

Kebimbangan menghantuiku. Apa yang harus kulakukan? Mengikuti jalur seleksi berikutnnya agar bisa kuliah bersama dengan Nabila? Atau mengambil kesempatan yang sudah tersedia untuk kuliah di Bandung? Aku berpikir keras. Lalu menanyakan hal ini pada Ibuku.

Ibuku mendukung untuk aku kuliah di Bandung. Katanya, jika alasan menolak kuliah di Bandung hanya karena ingin satu kampus dengan Nabila, aku sudah egois karena mengorbankan apa yang sudah diharapkan sejak dulu.

Siangnya, aku menelepon Nabila. Aku cukup senang saat mengetahui Nabila diterima di Universitas Indonesia. Harapannya dikabulkan oleh Tuhan. Doanya selama ini didengar dan dikabulkan. Sebagaimana doa yang dulu kuucapkan, aku juga diterima di unversitas yang kuinginkan.

"Lu gimana, Ram? Keterima juga, di UI?" Tanyanya dari sebrang sana.

"Gu- Gue belum cek website-nya." Dengan terbata-bata, aku terpaksa berbohong. Aku tidak berani mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi.

"Kok belum?"

"Iya, nanti aja."

"Buruan, diliat. Siapa tau kita sekampus?"

"Iyaa nanti di cek."

"Ih, jangan nanti-nanti. Sekarang." Ia memaksaku untuk melihat pengumuman pemerimaan mahasiswa baru. "Atau enggak, coba mana nomor id pendaftaran lu, sama kata sandinya. Biar gue yang cek."

Aku memberikan nomor pendaftaran dan kata sandiku padanya. Tak lama kami berhenti menelepon. Dan setelah telepon itu dimatikan, sepertinya ia segera melihat hasil pengumumanku.

Aku menunggu telepon darinya, namun beberapa menit, tidak ada panggilan masuk. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, sampai setengah jam aku menunggu telepon darinya. Namun, teleponku tidak juga berdering. Mungkin Nabila belum melihat hasil pengumumanku.

--

Kamu tahu? Nabila marah lagi. Memang sudah sepantasnya ia marah, sebab aku seolah membohonginya. Ia tidak mau menerima telepon dariku. Kejadian beberapa minggu lalu terulang lagi. Ibunya mengangkat telepon, dan Nabila tidak mau diganggu. Aku merasa tidak enak dengan ibunya karena sudah terlalu sering mengganggu. Kuputuskan untuk berhenti menghubunginya beberapa saat.

Akhirnya aku bertemu dengannya di acara wisuda SMA. Dari jauh, kulihat ia begitu cantik. Dengan kebaya berwarna merah jambu, dengan riasan di wajahnya, dengan gaya rambut yang jarang sekali kulihat. Nabila begitu cantik dan menawan.

Lemah rasanya saat memandangiya dari jauh. Rasanya, ingin sekali menatapnya dalam-dalam di depannya, menikmati keindahan wajahnya seorang diri, tanpa berbagi pada siapapun.

Acara wisuda berlangsung, aku mencuri-curi kesempatan untuk memandang Nabila yang duduknya cukup jauh dari tempatku duduk. Dari samping, aku lihat ia bicara dengan teman-temannya, termasuk Anggun. Aku membulatkan tekad untuk mengajaknya bicara. Sebab, sejak aku diterima di kampus yang kuinginkan, aku tidak lagi mendengar suaranya.

Setelah acara wisuda selesai, seluruh peserta wisuda berkumpul dengan keluarga dan teman-temannya untuk berfoto-foto. Aku berfoto dengan Ibuku, dan Sarah adikku. Lalu berusaha mendekati Nabila yang sedang berkumpul dengan teman-temannya.

"Bil." Kataku pelan saat aku sudah berada di belakangnya.

Ia menoleh ke arahku, namun hanya terdiam sebentar. Lalu berjalan menjauh dari teman-temannya. Aku mengikutinya. Sepertinya, ia tidak mau obrolannya denganku didengar oleh teman-temannya.

"Bil, gue mau minta maaf." Kataku saat sedang berdua dengannya. Aku menatapnya yang kini menatap area panggung, seolah tak mau memandangku. Aku terus memandangi cantik wajahnya saat itu.

"Gue emang daftar di Universitas Padjajaran, tapi di jalur-jalur masuk lain, gue udah daftarin diri untuk masuk UI." Kataku sekali lagi. Nabila masih saja terdiam menatap area panggung.

"Kali ini gue enggak bisa." Katanya pelan sambil menggeleng. Raut wajahnya terlihat sangat marah. Matanya sudah berkaca-kaca sejak pertama kali mengeluarkan kata-kata.

"Maaf." Kataku pelan seperti memelas. Memohon untuk diberikan sebuah maaf olehnya.

Ia menoleh dan menatapku, masih dengan ekspresi yang begitu marah. "Lu selalu berhasil bikin gue sakit hati, Ram." Katanya tegas. "Dan gue rasa, semakin lama, gue justru semakin sakit." Lanjutnya, ia terdiam sejenak. Aku juga terdiam mendengarnya. Bibirku seolah mematung, diam tak bersuara.

"Sekarang, lu boleh pergi, enggak usah hubungi gue lagi." Katanya sebelum akhirnya ia pergi meninggalkanku. Aku mencoba mencegahnya, namun ia tidak bisa dipaksa untuk berhenti.

"Bil, Bil, Bil," Aku berusaha menahannya yang masih terus berjalan. Tanganku sudah memegang pergelangan tangannya, namun dengan keras ia mencoba melepaskan peganganku.

"Bil!" Teriakku. Berharap ia berhenti dan membalikkan badannya untukku. Tapi nyatanya ia tak melakukan itu. Ia menutupi mulutnya dengan telapak tangannya, ia menangis. Aku membuatnya menangis di hari perpisahan sekolah. Lagi-lagi aku melukainya.

Hari ini aku begitu merasa bersalah. Hidupku seolah serba salah. Melakukan ini salah, melakukan itu salah. Memang kusadari, aku begitu mengecewakannya. Apa yang ia inginkan tidak bisa kukabulkan. Padahal, tidak begitu sulit. Seperti tidak bertengkar, menghadiri undangannya, dan mengabulkan permintaannya untuk kuliah bersama. Nyatanya aku bukan laki-laki yang bisa mewujudkan keinginannya.

Bodoh sekali aku ini. Menyakiti perempuan yang benar-benar kusayangi. Bukan hanya sekali, bahkan berkali-kali air matanya terjatuh karenaku. Aku marah pada diriku sendiri, namun percuma. Tidak ada hasilnya.

Jika aku membatalkan penerimaanku untuk kuliah di Bandung, itu akan berdampak pada sekolahku. Ada kemungkinan Universitas Padjajaran enggan lagi menerima calon mahasiswa dari sekolahku karena ada yang menolaknya.

Sama halnya dengan Nabila. Aku kecewa dengan diriku. Maka kuputuskan untuk kali ini, mengabulkan keinginannya untuk tidak lagi menghubunginya. Itu adalah permintaannya yang terakhir. Jika aku tidak mengikuti permintaannya, bisa jadi ia semakin marah padaku.

Dengan perasaan yang sangat sedih, aku mendekati Icha dan teman-temanku yang lain, berfoto bersama agar memiliki sesuatu yang dapat dikenang. Lalu setelahnya aku berjalan menemui Sarah dan Ibuku, lalu berjalan ke luar gedung wisuda untuk pulang. Sambil memandangi Nabila dari jauh. Memandangi Nabila yang kini sedang berfoto bertiga dengan Raka dan Thomi, abangnya.

--

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang